BUDAYA DAN KURIKULUM
Pendidikan
secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga
dan melestarikan kebudayaan sendiri, proses mantransfer kebudayaan yang paling
efektif dengan cara pendidikan. Keduanya sangat erat sekali hubungannya karena
saling melengkapi dan mendukung antara satu sama lain.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan
pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta
didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk
pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta
nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala
karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi
pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul
manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi
justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun
kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan
harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan
perkembangan yang ada di masyakarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu,
turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan
datang.
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam
pengembangan kurikulum dengan pertimbangan bahwa individu itu lahir belum
berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan dan sebagainya. Semuanya itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar dan tentu saja
dengan sekolah.
Tujuan pendidikan
adalah melestarikan dan selalu meningkatkan kebudayaan itu sendiri, dengan
adanya pendidikanlah kita bisa mentransfer kebudayaan itu dari generasi ke
generasi selanjutnya. Dan juga kita sebagai masyarakat mencita-citakan
terwujudnya masyarakat dan kebudayaan yang lebih baik ke depannya, maka sudah
dengan sendirinya pendidikan kitapun harus lebih baik lagi.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki
sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan
antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya
adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para
warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya,
politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut
setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman
kepada para siswa dengan salah satu alat yang disebut kurikulum. Kurikulum pada
dasarnya merupakan refleksi dari cara berfikir, berasa, bercita-cita atau
kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, dalam pengembangan suatu kurikulum guru
perlu memahami kebudayaan.
Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan
karena dan melalui pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau
kelakuan dan teknologi, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Sebagai
contoh dalam penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan
kepada anak-anak untuk mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan,
bagaimana mengatakannya, dan kepada siapa mengatakannya. Contoh lain, setiap
masyarakat mempunyai persamaan dan perbedaan dalam berpakaian. Dalam kaitan
dengan pakaian, anak harus mempelajari dari anggota masyarakat yang lain
tentang cara menggunakan pakaian tertentu dan dalam peristiwa apa pakaian
tertentu dapat dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan
kemudian menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak sebagai
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, anak-anak harus diajarkan pola-pola tingkah
laku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan
kata lain, fungsi pokok setiap sistem pendidikan adalah untuk mengajarkan
anak-anak tentang pola-pola tingkah laku yang esensial tersebut.
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan
tingkah laku ke generasi baru berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada
dasarnya ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal,
nonformal, dan formal. Cara informal terjadi di dalam keluarga, nonformal dalam
masyarakat yang berkelanjutan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan cara formal melibatkan lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan
pendidikan. Pendidikan formal tersebut dirancang untuk mengarahkan perkembangan
tingkah laku anak didik. Kalau masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang
mereka miliki kepada generasi penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan. Oleh
sebab itu, anggota masyarakat tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan
yang disesuaikan dengan kondisi baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku,
nilai-nilai, dan norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, norma-norma dan nilai-nilai
baru ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan
sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan,
utamanya sekolah. Lembaga pendidikan ini berfungsi untuk mentransmisikan
kebudayaan dan mentransformasikan kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan
dan tujuan zaman.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan
keragaman latar belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan
muatan lokal di dalam kurikulum sekolah, utamanya di Sekolah Dasar (SD).
Kebijakan ini bukan hal baru, karena gagasannya telah diberlakukan sejak dulu,
umpamanya dengan pengajaran bahasa daerah dan penggunaan bahasa daerah di dalam
proses belajar mengajar. Keragaman sosial budaya tersebut terwujud dalam
keragaman adat istiadat, tata cara dan tata krama pergaulan, kesenian, bahasa
dan sastra daerah, maupun kemahiran dan keterampilan yang tumbuh dan
terpelihara di suatu daerah tertentu.
Kebudayaan yang berisi norma-norma, kebiasaan, adat dan
tradisi mempunyai pengaruh dalam dunia pendidikan bahkan pengaruh timbal
balik. Bila kebudayaan berubah maka pendidikan juga berubah dan bila
pendidikan berubah maka akan dapat mengubah kebudayaan. Disini tampak
bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan sangat besar
karena pendidikan adalah tempat manusia dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan
potensinya.
Dalam konteks
ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya serta
kepribadian suatu masyarakat betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Hal
ini dapat dilihat bahwa tradisi sebagai muatan budaya senantiasa terlestarikan
dalam setiap masyarakat, dari generasi ke generasi. Hubungan ini tentunya hanya
akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat menuliskannya
kepada generasi mudanya sebagai generasi penerus.
Menurut Hasan
Langgulung, pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan
potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Maka sudah jelas sekali
bahwa kedua hal tersebut pendidikan dan kebudayaan berkaitan erat dengan
pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing, kedua hal
tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara satu sama
lainnya.
Dikatakan
dengan pendapat Hasan Langgulung bahwa pendidikan dalam hubungan dengan
individu dan masyarakat, akan tetapi dapat dilihat bagaimana garis hubung
antara pendidikan dan sumber daya manusia. Dari sudut pandangan individu
pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi individu, sebaliknya
dari sudut pandang kemasyarakatan pendidikan adalah sebagai pewarisan
nilai-nilai budaya.
Dalam
pandangan ini, pendidikan mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi
individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai mahluk berbudaya,
pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian
meningkatkan sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah
seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan
sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional
maupun global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar