Kamis, 29 Desember 2016

Pendidikan Inklusif Umum

PENDIDIKAN INKLUSIF UMUM

A.    Pengertian Pendidikan Inklusi
Penafsiran tentang pendidikan inklusif sesungguhnya cukup beragam. Keragaman penafsiran secara tidak langsung telah menjadi cermin dari keterbukaan pendidikan bagi semua kalangan tanpa terkecuali, baik karena perbedaan latar belakang kehidupan maupun perbedaan fisik yang tidak normal. Penafsiran tentang pendidikan inklusif menjadi sangat penting karena istilah tersebut agaknya memiliki kemiripan dengan pedidikan khusus atau terpadu.
Meskipun definisi tentang pendidikan inklusif bersifat progresif dan terus berubah, tetap diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya. Sebab, banyak orang menganggap bahwa pendidikan inklusif sebagai versi lain dari pendidikan khusus / PLB (special education). Bila dicermati, konsep yang mendasari pendidikan inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendidikan khusus. Inklusi atau pendidikan inklusif bukanlah istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua dan konsep tentang perbaikan sekolah.
Konsep pendidikan inklusif merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga Negara. Pendidikan inklusif didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menampung semua anak yang berkebutuhan khusus ataupun anak yang memiliki kesulitan membaca dan menulis. Tidak heran bila konsep pendidikan inklusif dianggap bisa mewakili konsep pendidikan luar biasa yang diselenggarakan pemerintah dalam dekade terakhir ini.
Kendati pendidikan inklusif terlalu luas untuk menampung segala aspek yang berkebutuhan khusus. Namun, ia merupakan suatu strategi yang dapat mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuan dan menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik.
Sebagai konsep pendidikan terpadu, pendidikan inklusif memang mencerminkan pendidikan untuk semua tanpa terkecuali, apakah dia mengalami keterbatasan fisik atau tidak memiliki kemampuan secara financial. Tidak heran bila konsep pendidikan inklusif dikatakan sebagai konsep ideal dalam mereformasi sistem pendidikan yang cenderung diskriminatif terhadap anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas pendidikan inklusif juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap antidiskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
Luasnya cakupan pendidikan inklusif memungkinkan kita untuk membantu keterbatasan mereka dalam memperoleh kemudahan dibidang pendidikan sehingga tidak merasa terpinggirkan dari anak-anak normal lainnya. Keberadaan pendidikan inklusif bukan saja penting untuk menampung anak yang berkebutuhan khusus dalam sebuah sekolah yang terpadu, melainkan pula dimaksudkan untuk mengembangkan potensi dan menyelamatkan masa depan mereka dari diskriminasi pendidikan yang cenderung mengabaikan anak-anak berkelainan. Menyelamatkan masa depan anak Indonesia adalah kewajiban kita bersama untuk membaktikan diri demi membantu cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita sering kali beranggapan bahwa yang harus dicerdaskan adalah mereka yang terlahir normal dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Padahal, anak berkelainan atau penyandang cacat juga memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dengan fasilitas yang memadai pula.
Dalam konteks pendidikan luar biasa di Indonesia, pendidikan inklusif bukanlah satu-satunya cara mendidik disabled children dengan maksud untuk menggantikan pendidikan segregasi yang sebelumnya dipakai sebagai konsep pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, suatu alternatif, pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan baru disamping pendidikan segregasi yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini disebabkan setting pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa di Indonesia yang menganut pendekatan multi-track Approuch. Eksistensi sekolah luar biasa hanya saja yang seharusnya mampu berperan sebagai pusat sumber dalam mendukung inklusi, belum diberdayakan secara maksimal. Akibatnya, anak-anak penyandang cacat kurang mendapatkan perhatian penuh dan sering kali terabaikan dalam lingkungan dan sekolah mereka.
Secara formal, pendidikan inklusif di Indonesia baru dilaksanakan dalam satu dasa warsa terakhir. Namun, diyakini bahwa secara ilmiah pendidikan inklusif sudah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor filosofi, sosial, maupun budaya Indonesia, yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kebhinekaan atau keberagaman. Faktor-faktor ini tentu dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sekarang sedang digalakkan. Secara konseptual memang terdapat perbedaan dan kaitan yang erat antara pengertian sekolah inklusif, pendidikan inklusif, dan masyarakat inklusif (Alimin 2005).
Di Indonesia sendiri pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak  berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB, 2004). Definisi itu menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusi mengikutkan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi dinegara kita lebih banyak dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutkan anak berkelainan dalam setting sekolah regular. Paradigma ini tentu saja sudah keliru, karena yang dimaksudkan dengan pendidikan inklusif adalah keseluruhan aspek yang berkaitan dengan anak-anak berkebutuhan khusus tanpa terkecuali.
Pendidikan inklusif nampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang diterapkan oleh sistem segregasi, tetapi tidak bermaksud mengesampingkan kontribusi sistem segregasi yang terlebih dahulu berkembang. Pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi-potensinya secara optimal. Namun, dalam pandangan Staub dan Peck (1995:36), pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa kelas regular merupakan tempat yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, O’Neil (1995:7-11) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelaianan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Model pendidikan ini berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra agar memperoleh kesempatan belajar yang sama, dimana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan dapat terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif, dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all).
Pernyataan Salamanca (1994) dan Kerangka Aksi Dakar (1997) paragraph 4 menyatakan bahwa inclusive education seeks to address the learning needs off all children, youth and adults with a specific focus on those who are vulnerable to marginalsation and exclusion (UNESCO, 2006). Pernyataan ini jelas memberikan gagasan tentang pentingnya membangun kesadaran kepada anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan inklusif yang berupaya memperjuangkan hak-hak mereka agar tidsk selalu termarginalkan dalam lingkungan mereka tinggal. Pengertian pendidikan inklusif bukan bermaksud memberikan pelabelan negatif kepada anak yang berkebutuhan khusus, melainkan lebih dari pada itu sebagai upaya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi mereka agar diterima di sekolah-sekolah umum atau pendidikan formal. Jenis-jenis pendidikan luar biasa seperti SLB nampaknya tidak memberikan jaminan kepada mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam jenjang pendidikan yang lebih berkualitas. Bahkan keberadaan SLB seolah mencerminkan kebijakan yang tidak berkeadilan karena sesungguhnya mereka juga memiliki keinginan untuk belajar disekolah umum guna bersinergi dengan anak-anak normal pada umumnya.
Pelabelan atau pengkategorian siswa menjadi anak normal atau berkelainan sesungguhnya merupakan pelabelan yang menyesatkan dan bisa menimbulkan ketidakpercayaan mereka ketika memasuki dunia pendidikan. Pengkategorian sebagai penyebab pelabelan pada gilirannya dapat membuat anak berkebutuhan khusus merasa rendah diri dan tidak mau bekerjasama dengan alasan takut kurang dihargai ataupun dihina oleh sesama temannya yang memiliki fisik normal. Padahal, pelabelan dengan menggunakan sistem segregasi sejatinya bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar hakikat pendidikan yang sebenarnya, yaitu menciptakan kesetaraan dengan sesama anak didik tanpa membedakan derajat atau latar belakang kehidupan mereka.
Pendidikan inklusif tidak boleh terfokus pada kekurangan dan keterbatasan mereka tetapi harus mengacu pada kelebihan dan potensinya agar lebih berkembang. Sebagaimana yang dikemukakan Dirjen PLB mengenai pendidikan inklusif (2005) bahwa konsep pendidikan ini adalah memberikan sistem layanan yang mensyaratkan agar anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat maupun di sekolah regular bersama dengan teman-teman sebaya mereka. Oleh karena itu dibutuhkan restrukturasi sekolah yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan khusus anak sehingga dapat menciptakan keseimbangan dan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka tidak merasa terpinggirkan.

B.     Falsafah Pendidikan Inklusi                                                                                 
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
1.    Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
2.    Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
3.    Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
4.    Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif
5.    Sekolah ramah menghindari labelisasi
Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
1.    Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
2.    elajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.
3.    Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
4.    Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik.

C.    Sejarah Pendidikan Inklusi
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan   deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

D.    Landasan Pendidikan Inklusi
Beberapa landasan pendidikan inklusif yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan evaluasi terhadap perkembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Hal ini penting karena landasan pendidikan inklusif memberikan kesempatan dan peluang kepada semua orang untuk belajar bersama-sama tanpa terkecuali. Menurut Dewey, pendidikan harus menjamin seluruh anggota masyarakat untuk berpeluang memiliki pengalaman, memberikan makna untuk pengalaman mereka, dan akhirnya mereka belajar dari pengalaman tersebut. Pendidikan juga harus memberikan kesempatan kepada seluruh anggotanya untuk mencari kesamaan pengetahuan dan kebiasaan (Finger & Asun, 2004: 38).

1.      Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusi, baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi (Abdulrahman, 2003). Filsafat Pancasila dapat dipahami sebagai pandangan atau falsafah yang mendasari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara juga sering disebut dengan istilah dasar falsafah Negara dan ideology Negara. Dalam pengertian ini, Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Hal ini juga sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kalimatnya “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Fondasi Pancasila sebagai falsafah Negara tertuang dalam bingkai kebhinnekaan kita yang terlahir sebagai bangsa yang majemuk dan heterogen dalam segala aspek kehidupan. Jika ada sentiment terhadap keberadaan kita, baik karena keterbatasan fisik maupun mental, itu sama saja dengan menolak kebhinnekaan Indonesia. Kebhinnekaan memberikan arti bahwa kita tidak boleh terjebak pada keberagaman yang terlampau menjulang karena semangat persatuan dan sikap saling menghargai merupakan potensi luar biasa yang tertuang dalam falsafah bangsa. Demi membangkitkan kembali perasaan, wawasan, dan semangat kebangsaan kita yang mulai lentur, dibutuhkan persatuan dan kesatuan yang kukuh dengan memegang teguh semboyan Negara kita (Kailan, 1996: 47).
Jadi, kalau landasan rasa kebangsaan di waktu yang lampau lebih disadari oleh rasa kebersamaan masa lalu kita, sekarang dan ke depan,  rasa kebangsaan harus lebih dilandasi oleh kesamaan pandangan tentang masa depan bersama yang akan kita tuju “sebagai suatu bangsa” (a nation). Menyikapi perbedaan yang melebur di semua lini kehidupan, Indonesia harus mampu meng-uinifikasi semua elemen bangsa dalam kesadaran fundamental Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan integrasi nasional “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan ungkapan yang sangat baik untuk memandang keragaman kebangsaan Indonesia sehingga keutuhan sebuah peradaban Indonesia tetap dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Sebagai bangsa yang memiliki pandangan filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif harus juga diletakkan secara sinergis dan tidak boleh bertentangan satu sama lain. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi luar biasa, yang bila dikembangkan dengan baik dan benar akan menghasilkan suatu proyeksi masa depan bangsa yang tidak terbatas. Sejalan dengan perbedaan antarsesama, falsafah ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam setiap pribadi.
Secara umum, pendidikan berperan penting untuk menggali potensi dan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif di masa depan. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan potensi kemanusiaan kita, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Sementara keunggulan dan kekurangan merupakan cermin dari kebhinnekaan yang merangkul semua perbedaan yang ada, baik agama, suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan keunggulan dan kekurangan yang tersimpan dalam setiap pribadi  menyangkut keterbatasan fisik maupun mental sebagai bagian dari fitrah manusia itu sendiri. Maka, pendidikan seyogianya tidak mempertimbangkan keunggulan dan kekurangan anak didik untuk memasuki pendidikan formal. Sebab, semua manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan sesuai dengan keinginannya.
Sebagai landasan filosofis, kebhinnekaan memiliki dua cara pandang, yaitu kebhinnekaan vertikal dan kebhinnekaan horizontal. Kebhinnekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan lain  sebagainya. Sementara kebhinnekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, dan afiliasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman, dengan kesamaan misi yang diemban, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Aspek vertikal dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam landasan pendidikan inklusif yang merangkul semua kalangan untuk bersatu padu dalam bingkai keberagaman.
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu. Sebaliknya, dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antarsiswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.      Landasan Religius
Pendidikan inklusif di Indonesia ternyata tidak hanya dilandasi oleh landasan filosofis yang merupakan cerminan dari bentuk kepedulian terhadap anak berkebutuhan khusus. Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak bisa lepas dari konteks agama karena pendidikan merupakan tangga utama dalam mengenal Tuhan. Tuhan tidak sekaligus menjadikan manusia di atas bumi beriman kepada-Nya, tetapi masih melalui proses kependidikan yang berkeimanan dan Islami. Dalam hubungan dengan konsepsi pendidikan Islam  yang nativistis, faktor pembawaan diakui pula sebagai unsure pembentuk corak keagamaan dalam diri manusia (Arifin, 2003: 145).
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang landasan religius dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Faktor religi yang digunakan untuk penjelasan ini adalah Al-Qur’an Surah Al-Hujurat (49) ayat 13, yang berbunyi : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujurat [49]: 13). Ayat tersebut memberikan perintah kepada kita, agar saling ta’aruf, yaitu saling mengenal dengan siapa pun, tidak memandang latar belakang social, ekonomi, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu universal, yang memandang kepada suatu manusia di hadapan Allah adalah sama., justru hanya tingkat ketakwaannyalah menyebabkan manusia mulia di hadapan Allah. Secara jelas, pernyataan ini bersumber dari QS Al-Maidah (5) ayat 2 yang berbunyi Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan (QS Al-Maidah [5]: 2). Ayat tersebut juga memberikan perintah kepada kita agar kita memberikan pertolongan kepada siapa saja, terutama kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang keluarga dan dari mana ia berasal, lebih-lebih mereka yang mengalami keterbatasan atau kecacatan fisik, sebagai contoh tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita, dan tunalaras.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain agar saling berhubungan dan saling melengkapi dengan segala aspek keberbedaannya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Anak didik yang membutuhkan layanan pendidikan inklusif pada hakikatnya adalah manifestasi dari manusia sebagai makhluk yang berbeda atau individual differences. Interaksi manusia antara satu dengan yang lain juga pasti berbeda karena Tuhan memberikan fitrahnya masing-masing, baik kecerdasan, emosi, maupun spiritualnya. Ada dua jenis interaksi yang berkaitan langsung dengan fitrah manusia., yaitu kompetitif dan kooperatif. Begitu pula dalam pendidikan, yang juga harus menggunakan keduanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan bersama.
Bila anda mencermati ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hakikat fitrah manusia, ternyata ada kesamaan antara landasan filosofis dan landasan religius. Dalam konteks kebenaran hakiki, landasan filsafat menggunakan rasio atau akal, sementara landasan agama menggunakan wahyu. Sumber hakikinya terletak pada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi landasan fundamental bagi setiap manusia untuk mendapatkan kebaikan dan keberkatan.

3.      Landasan Yuridis
Landasan yuridis dalam pelaksanaan pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan hierarki, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal, hingga peraturan sekolah. Fungsi dari landasan yuridis ini adalah untuk memperkuat argumen tentang pelaksanaan pendidikan inklusif yang menjadi bagian penting dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus. Disebabkan mengandung nilai-nilai hierarki, landasan yuridis tidak boleh melanggar segala peraturan perundang-undangan yang mengatur  tentang pelaksanaan pendidikan inklusif bagi semua kalangan anak yang membutuhkan landasan hukum demi terjaminnya masa depan pendidikan mereka kelak.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif juga berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Landasan yuridis internasional tentang penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Dalam kesepakatan tersebut, juga dinyatakan bahwa pendidikan hak untuk semua (education for all), tidak memandang apakah seseorang memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan tidak memandang perbedaan ras, warna kulit, maupun agama.
Sementara di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya, tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. Maka, pendidikan inklusif sebisa mungkin dapat diintegrasikan dengan pendidikan regular, pemisahan dalam bentuk segregasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education).
Dengan melihat landasan yuridis tersebut, tidak ada kata menolak bagi sekolah-sekolah regular untuk menerima anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun realitas yang terjadi, banyak sekolah-sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus dengan berbagai alasan. Penunjukan bukanlah sebagai tujuan, yang terpenting adalah nilai ibadah dengan mendidik mereka (anak berkebutuhan khusus). Namun juga terbesit harapan kiranya pemerintah lebih memerhatikan lagi (Fauzan, 2006: 2-3).

4.      Landasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Abdulrahman, 2003).
Dengan jaminan Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

5.      Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di Negara-negara Barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Science (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman, & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa penelitian kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 tindakan penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 tindakan penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 tindakan penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan teman sebayanya.

E.     Pro dan Kontra Pendidikan Inklusi
Paradigma baru dalam pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan khusus, yaitu berupa sekolah inklusi, menghasilkan berbagai morning issue yang terdengar masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi hadirnya new product di dunia pendidikan yang disebut education for all. Sebenarnya, ini bukanlah suatu produk baru lagi, namun para ilmuan pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada sebenarnya adalah hak semua manusia, entah yang normal maupun berkebutuhan khusus. Intinya, pendidikan untuk semua tidak memandang latar belakang kehidupan anak karena mereka semua memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Education for all (EFA) merupakan suatu kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada pendidikan yang selama ini telah hadir. Perkembangan pendidikan luar biasa(PLB) yang terbukti melalui hadirnya pendidikan inklusif adalah suatu realisasi dari program EFA. Bagi sebagian besar masyarakat, pendidikan inklusif sangatlah baik untuk diterapkan disemua sekolah. Secara teoretis, pendidikan inklusif ini memanglah sebuah pendidikan untuk semua orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar negri pendidikan inklusif lebih cenderung mensolusikan bagi permasalahan marginalisasi dalam hal minoritas etnis, sedangkan di Indonesia khsusnya di daerah lebih cenderung pada permasalahan marginalisasi bagi anak berkebutuhan khusus(ABK).
Kecenderungan terjadinya marginalisasi terhadap anak berkebutuhan khusus, sejatinya sudah menjadi rahasia umum yang seringkali dipersepsikan secara negatif. Meneganai munculnya persepsi terkait dengan anak berkebutuhan khusus, penulis mencoba menggunakan teori tentang persepsi yang sematkan kepada mereka yang dianggap tidak normal atau mengalami kecacatan fisik maupun mental. Sebagaimana di ketahui, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan pesan indra dari lingkungan untuk memberikan makna kepada lingkungan dengan cara mengorganisasi dan menginterpretasi sehaingga akan memengaruhi prilaku individu (robbins, 2003).
Rahmat (2005) menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu positif dan negatif. Apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional, manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan, persepsinya negatif atau cenderung menjauhi, menolak, dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut. Menurut Leavitt (1997), individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka anaggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang dianggap merugikan atau mengganggu. Ini artinya, keadaan psikologis sangat berperan dalam proses interpretasi atau penafsiran terhadap stimulus sehingga sangat mungkin persepsi seorang individu akan berbeda dengan individu lain, meskipun objek dan stimulusnya sama.
Sama halnya dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus yang mencoba masuk dalam pendidikan formal. Stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus seolah sudah menjadi kelaziman yang patut kita pertanyakan. Penulis ingin memberikan contoh munculnya stigma negatif terhadap anak berkebutuhan yang pada gilirannya menghadirkan kontroversi, yakni ketika dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah SD sampai SMA dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa tidak boleh memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pencantuman persyaratan ini sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural telah lama diterapkan di sekolah ketika menerima siswa baru. Kebijakan itu sangat bertentangan dengan kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memeberikan peluang handicap yang memiliki nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah. Stigma negative tersebut juga bertentangan dengan UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, yang mana penyandang cacat diberi kesempatan diberi kesepatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Tidak heran bila penyelenggraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (menurut Sunardi, dalam Yanti D.W, 2010). Namun, praktik sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya, adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitive, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan ke sekolah umum. Dengan sekolah inklusif pula, anak terhindar dari dampak negative sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupann yata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segresi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerja sama, dan menghargai perbedaan.
Berkaitan dengan munculnya stigma terhadap anak berkebutuhan khusus, sepintas  orang akan mengatakan bahwa pendidikan inklusif tidak serta merta menjamin seseorang terhindar dari pelebelan cacat atau asumsi sebagai anak yang inferior. Penyusun turut prihatin jika stigma negatif tidak hilang dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif karena tujuan konsep ini adalah memperjuangkan hak mereka agar memperoleh pendidikan di lembaga formal dan terhindar dari diskriminasi maupun stigmatisasi yang bisa meruntuhkan kepercayan diri mereka. Sebagai pemerhati pendidikan, penulis tidak bisa terima dengan perlakuan atau tindakan yang meberikan label cacat atau membuat anak tidak betah di lingkungan baru mereka, apalagi sampai memunculkan stigma negatif yang membut mereka semakin tiak bersemangat dalam mengembangkan keterampilan dan potensinya.
Berbeda dengan di Negara-negara maju, keberadaan pendidikan inklusif masih menimbulkan perdebatan yang tak kunjung uasai.masing-masing pihak, baik yang pro maupun kontra tentu memiliki dasar pertimbangan sendiri. argument para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan beberapa yang mempesepsikan positif kehadiran konsep baru ini. Dia antaranya adalah  belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak, biaya sekolah khusus relative lebih mahal daripada sekolah umum, sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat  negative kepada anak, banyak anka yang berkelainan yang dapat berakibat negative kepada anak, banyak anak yang berkelainan oyang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyrakat bersama masyarakt lainnya.
Sementara pihak yang kontra terhadap pendidikan inklusif pun memiliki argument. Argument didasarkan pada kegagalan sistem pendidikan segregatif dan integrative yang tidak mampu memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan layanan anak berkebutuhan khusus. Pihak yang kontra beragumen bahwa peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinu, hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternative penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal, dan pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggrakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikan.
Sekolah-sekolah yang mengaku menerapkan pendidikan inklusif harus memenuhi lima karakteristik, yaitu menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, memerlukan perubahan pelaksanaan kurukulum secara mendasar karenakelas lebih heterogen, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif, lalu mendorong guru dan kelas untuk mengahapus segala hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi, dan melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Dalam hal ini berdasarkan observasi penyusun ke salah satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di Kota Serang yaitu yayasan peradaban islam atau sekolah peradaban, menurut narasumber yang kami wawancarai selaku koordinator inklusi beliau  berpendapat untuk permasalahan pro dan kontra akan pendidikan inklusi merupakan hak dari setiap individu untuk menyatakan pendapatnya akan adanya pendidikan inklusi. Namun, menurut narasumber ia menyatakan pendapatnya terhadap adanya pendidikan inklusi tersebut merupakan suatu hal yang seharusnya ada dan dikembangkan karena semua anak berhak memperoleh pendidikan tidak terkecuali untuk anak berkebutuhan khusus.

F.     Profil pembelajaran di Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi pada hakikatnya bertujuan agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Melalui pendidikan, seluruh potensi anak didik dapat digali dan dikembangkan secara optimal. Baik anak didik yang normal maupun anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk meniadakan pendidikan anak berkebutuhan khusus, apalagi menelantarkan anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Salah satu karakteristik terpenting dari seolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2005) mengemukakan profil pembelajaran disekolah inklusi, yaitu pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperaif yang melibatkan kerjasama antar siswa dan bahan belajar tematik.
Adapun gambaran pembelajaran pendidikan inklusi berdasarkan hasil observasi di sekolah Peradaban yang termasuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, di sekolah tersebut proses pembelajaran dilakukan secara bersama yaitu penggabungan antara siswa reguler dengan siswa/anak berkebutuhan khusus, didalam satu kelas dengan satu guru kelas dan satu guru pendamping, namun untuk anak yang berkebutuhan khusus sekolah tersebut memberikan pendampingan satu guru pendamping untuk setiap anak berkebutuhan khusus.

G.    Kurikulum Sekolah Inklusi
Menurut S. Nasution (1995:13), kurikulum merupakan satu komponen penting pada lembaga pendidikan formalyang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, kurikulum sering tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berksinambungan dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.
Kurikulum meniscayakan adanya keselarasan tujuan dan program yang dijalankan berjalan dengan simultan. Tujuan yang hendak dicapai setidkanya tergambar dalam program yang tertuang disetiap kurikulum sehingga mencerminkan harmonisasi target pencapaian yang saling melengkapi satu sama lain. Target pencapaian dalam kurikulum merupakan tujuan ideal yang teruang dalam proses pendidikan, karena ia menjadi factor yang sangat penting dalam proses kependidikan. Intinya segala sesuatu yang hendak diajarkan kepada anak didik harus berdasarkan kurikulum yang sudah direncakan sebelumnya sehingga mencerminkan proses kependidikan yang mengandung aspek penting dalam lembaga pendidikan.
Secara sederhana, kurikulum memberikan gambaran tentang kegiatan belajar dalam suatu lembaga pendidikan, tidak heran bila dalam kurikulum tidak sekedar dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan anak didik oleh pendidiknya, tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut pendidikan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak didik dalam rangka mencapai hakikat tujuan pendidikan yang sebenarnya terutama perubahan tingkah laku yang menjadi cerminan dari kualitas anak didik yang berkepribadian luhur (Muzayyin Arifin, 2007:77).
Sementara itu, substansi kurikulum yang berkaitan dengan instrument dan metode merupakan elemen penting dalam mengidentifikasi berbagai unsur berbagai pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran. semisal aspek keterampilan yang juga harus dimasukkan dalam konten kurikulum sebagian dari penilaian bagi anak didik agar tidak berhenti dalam mengembangkan potensi pribadinya. Secara umum, kurikulum yang ideal adalah yang bersifat integratif dan komprehensif, yang mencakup perbaduan antara ilmu agama dan umum.
Persoalannya adalah bagaimana cara menetapkan prioritas ilmu pengetahuan yang mesti ditunjang dalam kurikulum tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kurikulum merupakan race-course,  untuk jarak yang harus ditempuh dalam suatu proses akan tetapi, proses itu tak akan pernah selesai, sementara jaraknya tak kunjung berakhir. Dalam konteks pengembangan proses kependidikan, kurikulum harus bersifat dinamis dan konstruktif dalam mengikuti arus pengembangan zaman dan selalu menampilkan hal-hal baru yang memiliki prospek dan tujuan yang jelas dalam memberian corak kehidupan yang lebih berwarna.
Selanjutnya Kilpartick (1971:77) menawarkan tiga prinsip utama dalam kurikulum. Pertama, harus mampu meningkatkan kualitas anak didik pada setiap jenjang sekolah. Kedua, harus menjadikan kehidupan actual anak kearah perkembangan dalam satu kehidupan yang integral. Ketiga, mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai sebuah uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik mampu berkembang dalam mengembangkan potensi pribadinya.
Bila kurikulum didasarkan pada tiga prinsip yang dapat menghasilkan rumusan dalam program pengajaran disekolah, sudah barang tentu sekolah akan mampu menghasilkan manusia paripurna. Prinsip-prinsip inilah yang biasa emerging curriculm (kurikulum yang mendorong anak untuk maju). Intinya, setiap pembenahan kurikulum tidak boleh mengabaikan aspek kemajuan dalam mendorong anak didik agar selalu menciptakan sesuatu yang kreatif dan inovatif bagi pengembangan potensinya.
Hal ini sesuai penjabaran Dryden Gordon & Jeannette Vos (2004:1) dalam super camp bahwa ada tiga aspek penting yang dikembangkan dalam kurikulum agar belajar dapat dan harus menyenangkan yaitu tantangan fisik, keterampilan akademik, dan keterampilan dalam hidup belajar akan efektif, dalam keadaan fun, dan memberikan kesegaran kepada anak didik, terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang memang membutuhkan pelayanan terbaik dalam pendidikan.
Gould (1999: 12), melihat pendidikan inklusif harus berorientasi pada inisiatif anak sesuai dengan  perkembangan dan pendekatan teacher-directed. Harus diakui, aktivitas dan intervensi akan memberikan banyak manfaat bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif. Untuk mencapai tujuan itu, harus dipersiapkan guru-guru, terapis, dan orang tua untuk membantu aktivitas semua anak. Program selanjutnya dirancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam topik kegiatan, semisal circle time, art center, sand and water center, block center, dramtic play, snack tirne, transitions, fine motor center, and gross motor center. Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah regular (kurikulum Nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Beberpa hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan, anak yang beragam dalam kelas regular yang sama.
Dalam hal ini tentu disesuaikan denngan kebutuhan anak berkebutuhan khusus sehingga kurikulum akademik dapat dipilah menjadi. Pertama, anak dengan kemampuan akademik rata-rata dan diatas tinggi disiapkan kurikulum terpadu dengan kurikulum normal atau kurikulum modifikasi. Kedua, anak dengan kemampuan akademik sedang (dibawah rata-rata) disiapkan kurrikulum fungsional/vokasional. Ketiga, anak dengan kemampuan akademik sangat rendah disiapkan kurikulum pengembangan bina diri. Juga perlu disiapkan kurikulum kompensatoris, yaitu kurikulum khusus unuk meminimalisasi barrier pada setiap ABK sebelum belajar aspek akademik.
Adapun pengembangan bahan ajar perlu memerhatikan pengembangan aspek akademik, berorientasi pada kebutuhan pasca sekolah, berorientasi pada kebutuhan anak untuk pengembangan keterampilan fungsional/vokasional, dan pengembangan kemampuan perilaku adaptif. Strategi pembelajaran bersifat individual (program Pembelajaran Terindividualisasikan) dengan prinsip kemudahan, bertahap, kekonkretan, dan pengulangan. Penyaji isi materi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar dan kesiapan bantuan guru serta menerapkan kefleksibelan waktu belajar serta dalam proses pembelajaran bekerja sama dengan pihak terkait (orangtua/wali, masyarakat, narasumber, guru, paramedis terapis. Dan dunia usaha).
Demi memperjelas pelaksanaan pendidikan inklusif, dipandang perlu untuk menguraikan tentang komponen-komponen kurikulum yang menentukan masa depan belajar anak berkebutuhan khusus. Menurut Nana Syaodih (2005: 103), beberapa komponenen kurikulum terdiri dari tujuan, isi, proses, atau system penyampaian, media, dan evaluasi. Dibawah ini akan dijelaskan secara rinci komponen kurikulum yang sudah imodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan anak.
1.    Tujuan
Pada pelaksanaan kurikulum dan pengajaran, tujuan memegang peranan penting untuk mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Nana Syaodih (2005: 103), tujuan kurikulum dimaksudkan untuk perkembangan tuntutan, kondisi, dan kebutuhan masyarakat dan disadari oleh pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan nilai filosofis.
2.    Materi atau Bahan Ajar
Untuk mencapai tujuan mengajar yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar terususn atas topic-topik dan sub-sub topic tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah regular dapat diperluas dan diperdalam dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada didalam kurikulum sekolah regular, tetpi materi tersbut dianggap penting untuk anak-anak berbakat.
Sementara untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relative normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. Demikian pula untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di baawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3.    Strategi Pembelajaran
Penyusunan bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun bahan ajar, ia harus memikirkan strategi yang dapat digunakan. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree membagi startegi mengajar atas exposiyion-dicovery leraning and groups-individual leraning. Sementara Ausubel & Robinson membagi atas trategi reception leraning discovery learning and rote learning-meaningfull learning (Syaodih, 2005:105).
Berkaitan dengan hal-hal diatas, dalam praksis pendidikan inklusif,, penerimaaan siswa baru harus memprioritaskan penerimaan didasarkan pada lokasi terdekat pada sekolah. Tidak membatasi pada jenis dan derajat kelainan anak. Kurikulum harus disusun secara fleksibel sesuai kebutuhan anak (ABK) dan kondisi sekolah. Dapat mendorong guru dan tenaga kependidikan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, mendorong pengawas untuk membina secara rutin dan kebebasan untuk berinovasi.
Ditinjau dari proses pembelajaran sebagai berikut: (1) perencanaan pembelajaran hendkanya dibuat berdasar hasil asesmendan dibuat bersama anatar guru kelas dan guru khusus dalam bentuk program pembelajaran individual (IEP). (2) pelaksanaan pembelajaran lebih mengutamakan metode pebelajaran kooperatif dan partisipatif, memberi kesempatan yang sama dengan siswa lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi anatara guru khusus dan guru kelas, serta dengan menggunakan media, sumber daya, dan lingkungan yang beragam sesuai dengan keadaan.
Pada proses belajar mengajar dikelas unklusi yang terdapat siswa berkebutuhan khusus, diperlukan pula strategi untuk keberhasilan proses belajar mengajar. Salah satu strategi adlah  positive behavioral support (PBS) untuk anaka dengan gangguan emosi dan perilaku. Strategi tersebut diterapkan secara individual terhadap anak dengan gangguan emosi dan perilaku diruangan kelas. Keberhasilan strategi PBS tersebut juga ditunjang oleh kerja sama antara guru inklusi dengan guru pendamping khusus untuk memperingan beban kerja, berbagi perspektif mengenai perilaku yang ditangani, dan improvisasi secara konsisten. Tahap demi tahap PBS dapat dilakukan secara co-teaching sebagai berikut.
a.    Menentukan dan mendeskripsikan tingkah laku siswa di ruangan kelas. Guru inklusi dan guru pendamping khusus dapat berbagi perspektif mengenai tingkah laku yang teramati.
b.    Melakukan asesmen atas gangguan emosi dan perilaku siswa. Kegiatannya meliputi observasi, analisis, dan membuat hipotesis atas perilaku siswa.
c.    Mengembangkan hipotesis: kenapa siswa mempertahankan perilaku tersebut.
d.   Menetapkan target berupa perilaku pengganti. Para grur yang mengenal siswa dapat bekerja sama dalam mengidentifikasi perilaku pengganti, menganalisis, dan menjabarkan tahap demi tahap keterampilan yang harus dikuasai ataupun yang harus dihilangkan siswa dalam meraih perilaku pengganti.
e.    Guru dengan bekerja sama mengejar siswa mengenai tingkah laku target, memberi penguatan di kelas, dan memverifikasi pencapaian yang diraih siswa maupun guru.
f.     Memodifikasi lingkungan yang mendukung pencapaian tingkah laku target dan memungkinkan perkembangan perilaku kea rah lebih baik. Upaya modifikasi lingkungan ini merupakan kegiatan besar yang melibatkan warga kelas (guru kelas, guru pendamping khusus, dan siswa lainnya), tim guru lain, kepala sekolah, bagian administrasi sekolah, dan juga orangtua siswa. Seluruh pihak yang terlibat diharapkan menunjukkan dukungan dengan berbagai pola sikap maupun tindakan yang mendukung anak tunalaras memperoleh perilaku positif bagi anak berkebutuhan khusus.
4.    Media Pembelajaran
Penggunaan media sebagai perantara dalam proses pembelajaran memiliki nilai dan fungsi yang amat berharga bagi terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif. Melalui penggunaan media ini, anak didik dilatih untuk memperkuat kepekaan dan keterampilan secara optimal dengan ditopang oleh motivasi guru. Menurut Nana Syaodih, media pembelajaran adalah segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa.
Nana Sujana (1991:23), merumuskan nilai urgensitas dari media dalam pembelajaran. pertama, penggunaan media pada dasarnya bukan sekadar sebagai fungsi tambahan, melainkan lebih dari pada itu, sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif. Kedua, memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalitas. Ketiga, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra. Keempat, menimbulkan gairah belajar, interkasi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar. Kelima, memungkinkaan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan kinestetiknya. Keenam, memberikan nilai rangsangan yang sama, mempersamakan bentuk pengalaman, dan menimbulkan suasana persepsi yang sama.
Sementara itu, Kemp dan Dayton (1996: 24) dalam Instructional Media and Technologies for Learning memberikan rumusan mendasar tentang kontribusi media dalam pembelajaran. pertama, penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar.  Dalam artian, kesan pembelajaran yang dilaksanakan memiliki nilai transparansi yang lebih impresif daripada hanya bertumpu pada penyampaian guru sehingga memungkinkan anak didik dapat berekspresi tanpa kungkungan dari siapa pun.
Kedua, pembelajaran dapat lebih menarik. Sisi menarik dari penggunaan media terletak pada nilai hiburan dan memiliki kesan berbeda ketika menghadapi materi peajaran. Kesan yang dimunculkan media ketika dalam proses pembelajaran jauh berbeda ketimbang pembelajaran yang dilaksanakan mengabaikan kreativitas anak didik sehingga nuansa pembelajaran bersifat enjoy dan nyaman untuk dinikmati.
Ketiga, pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar. Apalagi teori belajar yang digunakan menggunakan inquiry strategy atau discovery strategy sehingga menciptakan keterampilan yang lebih optimal dengan hasil pengamatan, penelitian, maupun penemuan baru yang bermakna bagi terciptanya pembelajaran yang menitikberatkan pada problem solving.
Keempat, kualitas pembelajaran lebih meningkat. Disadari atau tidak, kontribusi media sebagai alat bantu dalam belajar pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari kesan media yang bisa memberikan tambahan semangat dan kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Maka, sangat beruntung bagi kita yang dibekali dengan media sebagai teman belajar sekaligus teman bermain.
Kelima, proses pembelajaran dapat berlangsung kapan pun dan di tempat mana pun diperlukan. Disinilah nilai plus dari media yang bisa dimanfaatkan, apabila kita membutuhkan sehingga pembelajaran tidak hanya dilakukan pada saat di lingkungan sekolah. Di rumah pun, pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai kebutuhan dan waktu yang tepat dalam menggunakan media tersebut.
Keenam, peran guru berubah kea rah yang positif. Dalam artian, tidak hanya bekerja sendiri dalam melaksanakan materi pelajaran, tetapi sudah ada dukungan berarti dari media dan hal ini bisa mempermudah tugas guru dalam meningkatkan kualitas belajar atau prestasi anak didik. Pada awalnya, kesan yang timbul dari eksistensi guru adalah sikap keterkungkungan dan system hegemoni pembelajaran yang selalu berada di pundak guru. Maka, dengan hadirnya media di tengah-tengah kita, peran guru tidak semakin terpojokkan karena system kekuasaan yang muncul dalam pribadinya.
5.    Evaluasi Kurikulum
Penilaian kurikulum dimaksudkan untuk melihat atau menaksir keefektifan kurikulum yang digunakan oleh guru dalam mengaplikasikan kurikulum tersebut. Evaluasi kurikulum dapat dijadikan umpan balik (feed back) apakah tujuan kurikulum sudah tercapai secara maksimal. Jika belum tecapai, dipandang perlu untuk melakukan evaluasi terhadap bahan ajar yang telah diberikan untuk mengetahui indicator keberhasilan peserta didik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi adalah perlunya penyesuaian cara, waktu dan isi kurikulum, mengacu kepada hasil asesmen, mempertimbangkan oenggunaan Penilaian Acuan Diri, dilaksanakan secara flesibel, multimetode dan berkelanjutan, secara rutin mengomunikasikan hasilnya kepada orangtua. Dapat dikatakan pula bahwa implementasi kurikulum perlu adanya kegiatan manajemen yang bisa menciptakan perencanaan pembelajaran yang lebih baik, guna mengurangi berbagai hambatan dan memberikan efektivitas terhadap usaha pencapaian tujuan sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber daya dalam implementasi kurikulum. Tanpa ada kegiatan manajemen, kegiatan implementasi kurikulum dapat diwujudkan. Akan tetapi, pencapaian hasil kegiatan kurang optimal karena tidak adanya keteraturan kegiatan dan tidak ada efesiensi, efektivitas, dan produktifitas dalam pencapaian tujuan.
Berdasarkan observasi penyusun di sekolah Peradaban untuk kurikulum yang digunakan sekolah tersebut sebagai salah satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sekolah tersebut menggunakan kurikulum nasional untuk siswa reguler sedangkan untuk siswa/anak berkebutuhan khusus kurikulum yang digunakan merupakan kurikulum modifikasi (kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan anak), dan program pembelajaran individual (PPI) namun dalam proses pembelajaran siswa reguler maupun siswa yang berkebutuhan khusus mengikuti proses belajar didalam satu kelas yang sama. Hal tersebut, dianggap efektif untuk membantu proses pembelajaran pada pendidikan inklusi. Sehingga penyelenggaraan pendidikan inklusi dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai meskipun dengan kurikulum yang berbeda namun dalam proses pembelajaran berlangsung secara bersamaan.
Untuk hasil pembelajaran bagi siswa reguler di sekolah peradaban diberikan dua buku hasil belajar (raport), satu buku hasil belajar yang berisi tentang nilai-nilai kemampuan kognitif yang telah dicapai siswa selama proses pembelajaran, selanjutnya satu buku penjelasan mengenai kemampuan belajar siswa. Sedangkan, bagi anak berkebutuhan khusus diberikan tiga buku hasil belajar (raport) yang ditambahkan dengan penjelasan hasil kemampuan dan perkembangan perilaku anak.

H.    Tenaga Kependidikan Sekolah Inklusi
Faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusif yang tidak kalah pentingnya adalah adanya tenaga pendidik atau guru yang professional dalam bidangnya masing-masing untuk membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus. Tenaga pendidik atau guru yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa.
Sebagaimana anda ketahui bersama, seorang guru memiliki peran vital dalam mengatur segala proses dan perencanaan pembelajaran samapai pada tahapan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti setiap materi pelajaran. Penulis membayangkan guru merupakan pioneer bangkitnya motivasi anak didik ketika mengalami ketidakpercayaan atau frustasi karena masalah kesulitan memahami mata pelajaran. Tugas seorang guru adalah vital untuk membuat suasana batin anak didik semakin terkontrol dan mampu mendayagunakan segenap potensinya demi peningkatan  prestasi.
Sementara itu, guru berperan penting dalam menerapkan metode yang tepat agar potensi anak didik dapat berkembang dengan cepat. Dengan demikian, guru harus benar-benar memahami kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi ekstrinsik menurut Sudirman A. M (1988: 90) adlah motif-motif yang aktif dan berfungsi sebagai perangsang atau stimulus dari luar sehingga dapat membangkitkan kegiatan belajar mengajar.
Guru yang mempunyai pandangan masa depan akan sangat besar pengaruhnya ketika anak didiknya mendapatkan prestasi belajar yang baik dalam dunia pendidikan ketika anak didiknya mendapatkan prestasi belajar yang baik dalam dunia pendidikan. Tidak hanya peningkatan prestasi belajar yang dijadikan target untuk mencapai sebuah keberhasilan dan kesuksesan, tetapi juga perubahan tingkah laku amat penting untuk digalakkan dan dijadikan langkah awal dalam mencapai idealism dalam belajr. Dalam hal inni, attitudes  guru amat diperlukansebab akan melandasi hubungan interpersonal guru dengan murid yang lebih fair. Konfidensial, dan permisif. Guru dituntut sebagai figure yang benar-benar dipercaya dan diyakini dalam menumbuhkan sikap kebebasan terhadap anakdidik untuk mengunkapkan problematikanya (Buseri, 2003: 52).
Di samping itu, faktor dari guru yang didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian sosial dan profesionalisme. Dengan kompetensi yang dimiliki guru dapat merancang strategi pembelajaran yang tepat, metode yang digunakan, media, juga evaluasi. Guru juga harus menjadi contoh yang baik bagi siswanya. Maka dari itu, seorang guru hendaknya mempunyai prilaku yang santun, arif, dan bijaksana. Guru juga dituntut profesional terhadap profesinya. Selain itu, guru harus dapat menjalin kerjasama dengan semua pihak yang terkait dalampelaksanaan pembelajaran sejarah.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajan peserta didik yang melipu pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas daan mendalam yang memungkinkan mampu membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar pendidikan nasional.
Kompetensi guru berkaitan langsung dengan kemampuan dalam mendayagunakan profesionalitasnya agar menjaddikan anak didik sebagai lembaga terampil dan produktif. Stephen (1998: 82) menemukakan bahwa kemampuan merujukpada suatu kapasitas individu untuk melakukan beberapa tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hassil dari pembawaan dan latihan (Munandar, 1992: 17). Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuanyang dipersyaratkan sesuai kondisi yang diharapkan. Perilaku yang rasional merupakan wujud dari kemampuan seseorang. Orang yang memiliki suatu kemampuan berarti benar-benar orang yang mempunyai keahlian dibidangnya atau dikenal  dengan istilah profesional. guru hendaknya memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi agar peserta senang berada dalam lingkungan belajar sehingga terbangun kondisi psikis kemampuan diri (self eduquacy)  yang membawa kepuasan belajar dan mengacu pada percaya diri (self confidency), untuk menjadi mandiri dan secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusannya sendiri (Semiawan, 2002: 123). Hal ini menunjukkan bahwa belajar dan pembelajaran perlu bermakna bagi siswa.
Untuk tenaga pendidik di sekolah Peradaban sebagai sekolah penyelenggara inklusi, sekolah tersebut memiliki tenaga pendidik yang beraneka ragam, sebagai sekolah inklusif seharusnya memiliki tenaga pendidik yang kompeten di bidangnya, namun sekolah tersebut lebih mementingkan kesiapan guru yang akan menjadi tenaga pendidik di sekolah tersebut baik secara fisik maupun mental. Tenaga pendidik disekolah tersebut dituntut untuk mampu menerima segala kondisi anak didiknya. Karena di sekolah inklusi tenaga pendidik dalam proses pembelajaran tidak hanya cukup dengan pengetahuan yang dimiliki, namun juga dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Sehingga tenaga pendidik tidak merasa terbebani dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus. 

I.       Sarana dan Prasarana di Sekolah Inklusi
Sarana-prasarana adalah faktor penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inlusif. Sebagai salah satu komponen keberhasilan, tersedianya sarana-prasarana tidak serta merta mudah diperoleh dengan mudah,tetapi membutuhkan kerja keras dari pemerhati pendidikan untuk mengupayakan fasilitas pendukung yang mendorong peningkatan kualitas anak berkebutuhan khusus. Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang teklah dikemangkan.
Sebagaimana anda kenal bahwa fasilitas atau sarana-prasarana merupakan wahana strategis untuk mempermudah pelaksanaan setiap kegiatan. Wahyuningrum (2004: 4) menyatakan sarana-prasarana adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan. Menurutnya, sarana-praasarana dibagimenjadi dua bagian, yaitu fasilitas fisik dan fasilitas uang. Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan konsep pendidikan inklusif? Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan dan perabot yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah (Bafadal, 2003: 2), sarana pendidikan dapat diartikan sebagai peranglkat yang menunjang keberlangsungan sebuah proses pendidikan. Dalam dunia pendidikan. Sarana-prasarana berkaitan langsung dengan ruang kelas, perpustakaan, ruang bimbingan dan konseling (BK), dan ruang multimedia.
Adapun berdasarkan hasil observasi di sekolah Peradaban untuk sarana-prasarana sangat mendukung dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif. Karena menurut narasumber yang kami wawancarai beliau berpendapat bahwa sarana-prasarana yang ada di sekolah tersebut, memang di sediakan untuk seluruh siswa, baik siswa reguler maupun siswa/anak berkebutuhan khusus, karena pada dasarnya anak seusia sekolah dasar membutuhkan banyak fasilitas yang menunjang proses pembelajaran, khususnya untuk perkembangan motorik kasar peserta didik. Selain itu di sekolah Peradaban sangat mementingkan kenyamanan peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga fasilitas yang ada dibuat sedemikian rupa demi tercapainya visi dan misi sekolah.

J.      Lingkungan Masyarakat Sekitar Sekolah Inklusi
Bila mencermati komponen-komponen keberhasilan pendidikan inklusif, akan menemukan banyak faktor pendukung yang berkaitandengan pengaruh lingkungan. Dalam kaitan dengan system dukungan, terdapat beberapa peran orangtua,sekolah khusus (SLB), dan pemerintah yang perlu diperhatikan. Beberpa komponen terkait dengan lingkungan sekitar juga sangat menentukan bagi keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menjalankan aktivitas pembelajaran sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Peran orangtua sangat menentukan bagi peningkatan motivasi dan kepercayaan diri anak agar tetap tidak putus asa dalam menjalani kehidupan. Orangtua dituntut dapat berpartisipasi aktif dalam pembuatan rencana pembelajaran, pengadaan alat, media, dan sumber daya yang dibutuhkan sekolah. Aktif berkomunikasi dan berkonsultasi tentang permasalahan dan kemajuan belajar anaknya, serta pengembanganpotensi anak melalui program-program lain di luar sekolah. SLB dituntut mampu berperan sebagai pussat sumber guna membantu melayani kebutuhan informasi dan konsultasi bagi sekolah, dalam memahami kebutuhan khusus anak berkebutuhan khusus dan layanan pembelajaran, serta dalam pengadaan guru khusus, sosialisasi, dan pendampingan.
Pemerintah juga berperan penting dalam menentukan pelaksanaan pendidikan inklusif. Pemerintaha dituntut untuk membantu dalam merumuskan kebijakan-kebijakan internal sekolah, program pendampingan, monitoring dan evaluasi program, maupun dalam sosialisasi ke masyarakat luas.
Sementara pada sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah percontohan inklusi, ada hal-hal menarik yang terjadi di sekolah ini. Pertama, awalnya berjalan alami, kemudian ditunjuk resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah. Kedua, awalnya mendpat bantuan 1 orang guru pendamping atau guru khusus, tapi kemudian keluar. Ketiga, akhirnya muncul inisiatif dari orangtua untuk membawa sendiri guru pendamping untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang sampai sekarang dan bahkan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi orangtua.
Kendati demikian, pembelajaran anak berkebutuhan khusus yang awalnya diterima sebagai tantangan oleh guru kelas, kini bergeser kepada ketergantungan pada guru khusus atau guru pendamping. Kondisi ini menjadikan kreativitas guru tidak berkembang. Kebijakan menjadikan sekolah berpredikat inklusi dan banyaknya pelatihan yang diterima justru menjadikan semakin tidak jelas, bahkan bias. Penataran/pelatihan yang diterima belum banyak berdampak di kelas dan belum memberi solusi terhadap permasalahan pendidikan yang dihadapi. Motivasi, kerja sama dalam mengatasi masalah tidak tampak, sebab seluruh aktivitas belajar disabled children mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping.
Ini karena, inklusi hanya dimaknai sekadar memasukkan anak berkebutuhan khusus ke kelas regular, belajar dengan materi, guru, dan cara masing-masing. Anak berkebutuhan khusus ternyata belum ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas dan aktivitas di dalam kelas. Artinya, mereka masih sebagai “tamu”, yang diterima secara pasif dan kurang dihargai. Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusan children with disabilities adalah urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi wewenang guru pendamping. Pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan melalui kolaborasi dan kerja sama.
Selanjutnya, rencana pembelajaran untuk disabled children dibuat oleh guru khusus erdasar hasil asesmen dan dituangkan dalam format program pengajaran individual, kemudian disatukan dengan rencana pembelajaran guru kelas. Guru pendamping yang notabene memiliki latar belakang pendidikan PLB, ternyata belum memiliki keberanian untuk meluruskan sesuai konsepnya. Sekalipun sekolah melayani keberagaman siswa, termasuk anak berkebutuhan khusus, namun sebenarnya sekolah tersebut telah tumbuh menjadi sekolah eksklusif, karena memiliki syarat khusus sehingga hakikatnya telah bias dan tumbuh menjadi sekolah inklusif yang keluar dari prinsip-prinsip inklusif.
Dalam observasi yang penyusun lakukan di sekolah Peradaban, menurut narasumber lingkungan di sekitar sekolah cukup mendukung dalam implementasi pendidikan inklusi, karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses pengembangan pendidikan inklusi. Meski demikian, menurut narasumber pengaruh lingkungan tersebut pasti memiliki dampak positif dan negatif. Sehingga peserta didik harus tetap dalam pengawasan pihak sekolah. 

K.    Resource Center dan Peranannya dalam Pendidikan Inklusi
1.         Pengertian Resource Center
Resource Center adalah lembaga khusus yang dibentuk dalam rangka pengembangan pendidikan khusus/pendidikan inklusif yang dapat dimanfaatkan oleh semua anak, khususnya anak berkebutuuhan khusus, orangtua, keluarga, sekolah biasa, sekolah luar biasa, masyarakat, pemerintah, serta pihak lain yang berkepentingan untuk memperoleh informasi yang seluas-luasnya dan melatih berbagai keterampilan, serta memperoleh berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan berkebutuhan khusus/pendidikan inklusif. (Wasliman, 2007: 244).
Resource Center adalah lembaga yang memberikan bantuan kepada anak-anak berkebutuhan khusus maupun orang-orang berkebutuhan khusus, guru-guru umum, orang tua, masyarakat, dan sebagainya. Bantuan yang diberikan dapat berupa informasi, pelatihan vokasional, advokasi, asesmen, penelitian dan pengembangan terhadap kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus sehingga anak-anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti proses pembelajran dengan baik disekolah-sekolah reguler. (Suharwanto, 2007).

2.         Resource Center Sebagai Layanan Pendukung Eksternal dalam Pengembangan Pendidikan Inklusif
Dalam upaya pengembangan pendidikan inklusif, secara garis besar Resource Center (pusat sumber) berfungsi sebagai layanan pendukung eksternal. Dengan adanya layanan pendukung eksternal ini, diharapkan upaya pengembangan pendidikan inklusif dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan paradigma pendidikan inklusif itu sendiri. Tersedianya layanan pendukung merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan pengembangan pendidikan inklusif. Untuk menjamin agar layanan pendukung eksternal tersedia dengan baik, maka Resource Center  harus dapat mencerminkan fungsi dan peran sebaik mungkin.
Kerangka aksi tingkat nasional dalam pendidikan kebutuhan khusus menjelaskan bahwa layanan pendukung dalam pengembangan pendidikan inklusif dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan, guru dan dengan mengembangkan fungsi SLB (sekolah luar biasa) menjadi pusat sumber bagi sekolah-sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif, serta layanan pendukungnya.
Poin ke 50 kerangka aksi tingkat nasional dalam pendidikan kebutuhan khusus menyebutkan bahwa “layanan pendukung bagi sekolah biasa dapat disediakan oleh lembaga pendidikan guru dan oleh staf SLB yang sudah ditingkatkan kewenangannya. SLB seyogyanya semakin banyak dipergunakan sebagi pusat sumber bagi sekolah biasa/reguler yang memberikan layanan langsung kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Baik lembaga pendidikan guru maupun SLB dapat memberikan akses keperalatan atau materi khusus serta pelatihan dalam strategi-strategi pembelajaran yang tidak tersedia dikelas reguler”.
Sedangkan pada poin ke 51 kerangka aksi tingkat nasional dalam pendidikan kebutuhan khusus disebutkan bahwa, “ layanan pendukung oleh narasumber dari berbagai lembaga, departemen dan institusi, seperti guru BP, psikologi pendidikan, ahli terapi bicara dan ahli terapi okupasional, dan lain-lain, seyogyanya dikordinasikan ditingkat daerah”. Pengelompokan sekolah telah terbukti merupakan strategi yang bermanfaat dalam memobilisasi sumber-sumber kependidikan maupun keterlibatan masyarakat. Kelompok-kelompok sekolah tersebut dapat diserahi tanggung jawab kolektif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan khusus siswa-siswa didaerahnya dan diberi keleluasan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang diperlukan. Pengaturan semacam ini seyogyanya melibatkan pelayanan non-kependidikan juga. Memang pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan pendidikan akan sangat meningkatkan hasilnya apabila upaya yang lebih besar dilakukan untuk menjamin penggunaan semua keahlian dan sumber-sumber yang tersedia secara optimal.

3.         Fungsi dan Peran Resource Center
a.     Fungsi Resource Center
1.)      Berinisiatif dan aktif melaksanakan pendidikan kebutuhan khusus/sekolah inklusif.
2.)      Memberikan dukungan kepada sekolah-sekolah (sekolah reguler dan sekolah luar biasa) dalam pelaksanaan pendidikan inklusif.
3.)      Sebagai pusat informasi dan inovasi di bidang pendidikan khusus/pendidikan inklusif.
4.)      Sebagai homebase guru pendidikan khusus.
5.)      Sebagai kordinator dalam pelayanan pendidikan inklusif.
6.)      Berkolaborasi dengan pihak lain dalam upaya meningkatkan implementasi pendidikan inklusif.
b.        Peran Resorce Center
1.)      Memberikan informasi/penerangan kepada sekolah-sekolah (reguler dan SLB) mengenai pendidikan inklusif.
2.)      Menyediakan bantuan asesmen yang rutin terhadap anak berkebutuhan khusus.
3.)      Memberikan layanan dan bimbingan kependidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
4.)      Menjadi konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi, layanan, bimbingan, dan penanganan khusus.
5.)      Menjalin kerjasama dengan Dinas/instansi dan lembaga lainnya dalam upaya implementasi pendidikan inklusif.
6.)      Melakukan inovasi dibidang pendidikan khusus atau pendidikan inklusif
7.)      Melakukan penelitian dan pengembangan implementasi pendidikan inklusif, serta strategi dan metode pembelajran yang sesuai diterapkan pada layanan pendidikan bagi semua anak di dalam dan di luar kelas.
8.)      Melakukan pelayanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
9.)      Merencanakan dan menyelenggarakan pelatihan bagi guru sekolah reguler dan SLB serta pihak lain yang membutuhkan pelatihan mengenai pendidikan inklusif dan atau pendidikan khusus.
10.)  Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada anak atau siswa termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.
11.)  Menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif.
12.)  Memberi dan menerima rujukan dan referensi dalam layanan pendidikan inklusif.
13.)  Mengatur guru yang ada di SLB untuk melakukan tugas tambahan sebagai guru pembimbing khusus disekolah inklusif.

Adapun pada sekolah Peradaban yang menyelenggaran pendidikan inklusi juga termasuk sekolah yang bekerja sama dengan Resource Center. Sebagai contoh dalam beberapa kesempatan perwakilan dari tenaga pendidik di sekolah Peradaban mengikuti kegiatan pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh Resource Center sebagai bentuk kerjasama dalam implementasi pendidikan inklusi.





DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara
Ilahi, Mohmmad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar