PENDIDIKAN
INKLUSIF UMUM
A.
Pengertian Pendidikan Inklusi
Penafsiran tentang
pendidikan inklusif sesungguhnya cukup beragam. Keragaman penafsiran secara
tidak langsung telah menjadi cermin dari keterbukaan pendidikan bagi semua
kalangan tanpa terkecuali, baik karena perbedaan latar belakang kehidupan
maupun perbedaan fisik yang tidak normal. Penafsiran tentang pendidikan
inklusif menjadi sangat penting karena istilah tersebut agaknya memiliki
kemiripan dengan pedidikan khusus atau terpadu.
Meskipun definisi
tentang pendidikan inklusif bersifat progresif dan terus berubah, tetap
diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya. Sebab, banyak orang
menganggap bahwa pendidikan inklusif sebagai versi lain dari pendidikan khusus
/ PLB (special education). Bila dicermati, konsep yang mendasari pendidikan
inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendidikan khusus. Inklusi
atau pendidikan inklusif bukanlah istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep
pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari
pendidikan untuk semua dan konsep tentang perbaikan sekolah.
Konsep pendidikan
inklusif merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek
yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh hak dasar mereka sebagai warga Negara. Pendidikan inklusif
didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menampung semua anak yang berkebutuhan
khusus ataupun anak yang memiliki kesulitan membaca dan menulis. Tidak heran
bila konsep pendidikan inklusif dianggap bisa mewakili konsep pendidikan luar
biasa yang diselenggarakan pemerintah dalam dekade terakhir ini.
Kendati pendidikan
inklusif terlalu luas untuk menampung segala aspek yang berkebutuhan khusus.
Namun, ia merupakan suatu strategi yang dapat mempromosikan pendidikan
universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap
beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan
inklusif menjamin akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuan dan
menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik.
Sebagai konsep
pendidikan terpadu, pendidikan inklusif memang mencerminkan pendidikan untuk
semua tanpa terkecuali, apakah dia mengalami keterbatasan fisik atau tidak
memiliki kemampuan secara financial. Tidak heran bila konsep pendidikan
inklusif dikatakan sebagai konsep ideal dalam mereformasi sistem pendidikan
yang cenderung diskriminatif terhadap anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan
inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis
untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk
anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas pendidikan inklusif juga
dapat dimaknai sebagai suatu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap
antidiskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan
perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya
strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap
masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus.
Luasnya cakupan
pendidikan inklusif memungkinkan kita untuk membantu keterbatasan mereka dalam
memperoleh kemudahan dibidang pendidikan sehingga tidak merasa terpinggirkan
dari anak-anak normal lainnya. Keberadaan pendidikan inklusif bukan saja
penting untuk menampung anak yang berkebutuhan khusus dalam sebuah sekolah yang
terpadu, melainkan pula dimaksudkan untuk mengembangkan potensi dan
menyelamatkan masa depan mereka dari diskriminasi pendidikan yang cenderung
mengabaikan anak-anak berkelainan. Menyelamatkan masa depan anak Indonesia
adalah kewajiban kita bersama untuk membaktikan diri demi membantu cita-cita
luhur bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita sering kali
beranggapan bahwa yang harus dicerdaskan adalah mereka yang terlahir normal dan
memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Padahal, anak berkelainan atau penyandang
cacat juga memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dengan fasilitas
yang memadai pula.
Dalam konteks
pendidikan luar biasa di Indonesia, pendidikan inklusif bukanlah satu-satunya
cara mendidik disabled children
dengan maksud untuk menggantikan pendidikan segregasi yang sebelumnya dipakai
sebagai konsep pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, suatu
alternatif, pilihan, inovasi, atau terobosan/pendekatan baru disamping
pendidikan segregasi yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Hal ini
disebabkan setting pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa di Indonesia
yang menganut pendekatan multi-track
Approuch. Eksistensi sekolah luar biasa hanya saja yang seharusnya mampu
berperan sebagai pusat sumber dalam mendukung inklusi, belum diberdayakan
secara maksimal. Akibatnya, anak-anak penyandang cacat kurang mendapatkan
perhatian penuh dan sering kali terabaikan dalam lingkungan dan sekolah mereka.
Secara formal,
pendidikan inklusif di Indonesia baru dilaksanakan dalam satu dasa warsa
terakhir. Namun, diyakini bahwa secara ilmiah pendidikan inklusif sudah
berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor filosofi, sosial,
maupun budaya Indonesia, yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi
kebhinekaan atau keberagaman. Faktor-faktor ini tentu dapat menjadi modal dasar
bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sekarang sedang
digalakkan. Secara konseptual memang terdapat perbedaan dan kaitan yang erat
antara pengertian sekolah inklusif, pendidikan inklusif, dan masyarakat
inklusif (Alimin 2005).
Di Indonesia sendiri
pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan
pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah
regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan
inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi
kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB, 2004).
Definisi itu menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusi
mengikutkan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi dinegara kita lebih banyak
dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutkan anak berkelainan dalam
setting sekolah regular. Paradigma ini tentu saja sudah keliru, karena yang
dimaksudkan dengan pendidikan inklusif adalah keseluruhan aspek yang berkaitan
dengan anak-anak berkebutuhan khusus tanpa terkecuali.
Pendidikan inklusif
nampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang diterapkan oleh sistem
segregasi, tetapi tidak bermaksud mengesampingkan kontribusi sistem segregasi
yang terlebih dahulu berkembang. Pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang
memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk
mengembangkan potensi-potensinya secara optimal. Namun, dalam pandangan Staub
dan Peck (1995:36), pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan
tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas regular merupakan tempat yang relevan bagi anak
berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, O’Neil
(1995:7-11) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan
pendidikan mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya. Melalui pendidikan
inklusif, anak berkelaianan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Model pendidikan ini berupaya
memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra agar
memperoleh kesempatan belajar yang sama, dimana semua anak memiliki akses yang
sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan dapat
terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika sekolah regular dengan
orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap
diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang
inklusif, dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all).
Pernyataan Salamanca
(1994) dan Kerangka Aksi Dakar (1997) paragraph 4 menyatakan bahwa inclusive education seeks to address the
learning needs off all children, youth
and adults with a specific focus on those who are vulnerable to marginalsation
and exclusion (UNESCO, 2006). Pernyataan ini jelas memberikan gagasan
tentang pentingnya membangun kesadaran kepada anak berkebutuhan khusus melalui
pendidikan inklusif yang berupaya memperjuangkan hak-hak mereka agar tidsk
selalu termarginalkan dalam lingkungan mereka tinggal. Pengertian pendidikan
inklusif bukan bermaksud memberikan pelabelan negatif kepada anak yang
berkebutuhan khusus, melainkan lebih dari pada itu sebagai upaya untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi mereka agar diterima di sekolah-sekolah umum
atau pendidikan formal. Jenis-jenis pendidikan luar biasa seperti SLB nampaknya
tidak memberikan jaminan kepada mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam jenjang pendidikan yang lebih berkualitas. Bahkan keberadaan SLB seolah
mencerminkan kebijakan yang tidak berkeadilan karena sesungguhnya mereka juga
memiliki keinginan untuk belajar disekolah umum guna bersinergi dengan
anak-anak normal pada umumnya.
Pelabelan atau
pengkategorian siswa menjadi anak normal atau berkelainan sesungguhnya
merupakan pelabelan yang menyesatkan dan bisa menimbulkan ketidakpercayaan
mereka ketika memasuki dunia pendidikan. Pengkategorian sebagai penyebab
pelabelan pada gilirannya dapat membuat anak berkebutuhan khusus merasa rendah
diri dan tidak mau bekerjasama dengan alasan takut kurang dihargai ataupun
dihina oleh sesama temannya yang memiliki fisik normal. Padahal, pelabelan
dengan menggunakan sistem segregasi sejatinya bertentangan dengan hak asasi
manusia dan melanggar hakikat pendidikan yang sebenarnya, yaitu menciptakan
kesetaraan dengan sesama anak didik tanpa membedakan derajat atau latar
belakang kehidupan mereka.
Pendidikan inklusif
tidak boleh terfokus pada kekurangan dan keterbatasan mereka tetapi harus
mengacu pada kelebihan dan potensinya agar lebih berkembang. Sebagaimana yang
dikemukakan Dirjen PLB mengenai pendidikan inklusif (2005) bahwa konsep pendidikan
ini adalah memberikan sistem layanan yang mensyaratkan agar anak berkebutuhan
khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat maupun di sekolah regular bersama
dengan teman-teman sebaya mereka. Oleh karena itu dibutuhkan restrukturasi
sekolah yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan khusus anak sehingga dapat
menciptakan keseimbangan dan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga
mereka tidak merasa terpinggirkan.
B.
Falsafah Pendidikan Inklusi
Secara umum falsafah inklusi adalah
mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek
pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu
cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus
dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah
upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
1.
Sekolah
ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
2.
Sekolah
ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
3.
Sekolah
ramah berarti menerima keanekaragaman
4.
Sekolah
ramah berarti tidak deskriminatif
5.
Sekolah
ramah menghindari labelisasi
Falsafah
pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
1. Pendidikan untuk semua. Setiap anak
berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
2. elajar hidup bersama dan
bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai
peserta didik.
3. Integrasi pada lingkungan. Setiap
anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang
harmonis.
4. Penerimaan terhadap perbedaan.
Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik.
C.
Sejarah Pendidikan Inklusi
Sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada
tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar
Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai
memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya
pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke
integratif.
Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan
kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,
Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif.
Untuk memperjuangkan
hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium
internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan
perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah
Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan
inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang
sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali
dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
D.
Landasan Pendidikan Inklusi
Beberapa landasan
pendidikan inklusif yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan
evaluasi terhadap perkembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di
Indonesia. Hal ini penting karena landasan pendidikan inklusif memberikan
kesempatan dan peluang kepada semua orang untuk belajar bersama-sama tanpa
terkecuali. Menurut Dewey, pendidikan harus menjamin seluruh anggota masyarakat
untuk berpeluang memiliki pengalaman, memberikan makna untuk pengalaman mereka,
dan akhirnya mereka belajar dari pengalaman tersebut. Pendidikan juga harus
memberikan kesempatan kepada seluruh anggotanya untuk mencari kesamaan
pengetahuan dan kebiasaan (Finger & Asun, 2004: 38).
1.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan
inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus
cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusi,
baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal
sebagai umat Tuhan di bumi (Abdulrahman, 2003). Filsafat Pancasila dapat
dipahami sebagai pandangan atau falsafah yang mendasari berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara juga sering disebut
dengan istilah dasar falsafah Negara dan ideology Negara. Dalam pengertian ini,
Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Hal ini juga
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kalimatnya “maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam satu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Fondasi Pancasila sebagai falsafah Negara tertuang
dalam bingkai kebhinnekaan kita yang terlahir sebagai bangsa yang majemuk dan
heterogen dalam segala aspek kehidupan. Jika ada sentiment terhadap keberadaan
kita, baik karena keterbatasan fisik maupun mental, itu sama saja dengan
menolak kebhinnekaan Indonesia. Kebhinnekaan memberikan arti bahwa kita tidak
boleh terjebak pada keberagaman yang terlampau menjulang karena semangat
persatuan dan sikap saling menghargai merupakan potensi luar biasa yang
tertuang dalam falsafah bangsa. Demi membangkitkan kembali perasaan, wawasan,
dan semangat kebangsaan kita yang mulai lentur, dibutuhkan persatuan dan
kesatuan yang kukuh dengan memegang teguh semboyan Negara kita (Kailan, 1996:
47).
Jadi, kalau landasan rasa kebangsaan di waktu yang
lampau lebih disadari oleh rasa kebersamaan masa lalu kita, sekarang dan ke
depan, rasa kebangsaan harus lebih
dilandasi oleh kesamaan pandangan tentang masa depan bersama yang akan kita
tuju “sebagai suatu bangsa” (a nation).
Menyikapi perbedaan yang melebur di semua lini kehidupan, Indonesia harus mampu
meng-uinifikasi semua elemen bangsa dalam kesadaran fundamental Bhinneka
Tunggal Ika. Ungkapan integrasi nasional “Bersatu kita teguh bercerai kita
runtuh” merupakan ungkapan yang sangat baik untuk memandang keragaman
kebangsaan Indonesia sehingga keutuhan sebuah peradaban Indonesia tetap
dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Sebagai bangsa yang memiliki pandangan filosofis,
penyelenggaraan pendidikan inklusif harus juga diletakkan secara sinergis dan
tidak boleh bertentangan satu sama lain. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika
mencerminkan bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi luar biasa, yang
bila dikembangkan dengan baik dan benar akan menghasilkan suatu proyeksi masa
depan bangsa yang tidak terbatas. Sejalan dengan perbedaan antarsesama,
falsafah ini meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam setiap
pribadi.
Secara umum, pendidikan berperan penting untuk
menggali potensi dan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif
di masa depan. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk
memberdayakan potensi kemanusiaan kita, baik aspek kognitif, psikomotorik,
maupun afektif. Sementara keunggulan dan kekurangan merupakan cermin dari
kebhinnekaan yang merangkul semua perbedaan yang ada, baik agama, suku, budaya,
adat istiadat, bahasa, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan keunggulan dan
kekurangan yang tersimpan dalam setiap pribadi
menyangkut keterbatasan fisik maupun mental sebagai bagian dari fitrah
manusia itu sendiri. Maka, pendidikan seyogianya tidak mempertimbangkan keunggulan
dan kekurangan anak didik untuk memasuki pendidikan formal. Sebab, semua
manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan sesuai dengan
keinginannya.
Sebagai landasan filosofis, kebhinnekaan memiliki
dua cara pandang, yaitu kebhinnekaan vertikal dan kebhinnekaan horizontal.
Kebhinnekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan lain sebagainya. Sementara kebhinnekaan horizontal
diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat
tinggal, daerah, dan afiliasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman,
dengan kesamaan misi yang diemban, menjadi kewajiban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Aspek vertikal
dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam
landasan pendidikan inklusif yang merangkul semua kalangan untuk bersatu padu
dalam bingkai keberagaman.
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika,
kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti
halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu
berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu.
Sebaliknya, dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu
karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan
keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya
perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam
sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan
dan interaksi antarsiswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asah,
silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang
dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Landasan Religius
Pendidikan inklusif di Indonesia ternyata tidak
hanya dilandasi oleh landasan filosofis yang merupakan cerminan dari bentuk
kepedulian terhadap anak berkebutuhan khusus. Sebagai bangsa yang beragama,
penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak bisa lepas dari konteks agama karena
pendidikan merupakan tangga utama dalam mengenal Tuhan. Tuhan tidak sekaligus
menjadikan manusia di atas bumi beriman kepada-Nya, tetapi masih melalui proses
kependidikan yang berkeimanan dan Islami. Dalam hubungan dengan konsepsi
pendidikan Islam yang nativistis, faktor
pembawaan diakui pula sebagai unsure pembentuk corak keagamaan dalam diri
manusia (Arifin, 2003: 145).
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
landasan religius dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Faktor religi yang
digunakan untuk penjelasan ini adalah Al-Qur’an Surah Al-Hujurat (49) ayat 13,
yang berbunyi : Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal,
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal (QS Al Hujurat [49]: 13). Ayat tersebut memberikan perintah
kepada kita, agar saling ta’aruf,
yaitu saling mengenal dengan siapa pun, tidak memandang latar belakang social,
ekonomi, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu
universal, yang memandang kepada suatu manusia di hadapan Allah adalah sama.,
justru hanya tingkat ketakwaannyalah menyebabkan manusia mulia di hadapan
Allah. Secara jelas, pernyataan ini bersumber dari QS Al-Maidah (5) ayat 2 yang
berbunyi Dan tolong-menolonglah kamu
dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan (QS Al-Maidah [5]: 2). Ayat tersebut juga memberikan perintah
kepada kita agar kita memberikan pertolongan kepada siapa saja, terutama kepada
mereka yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang keluarga dan dari mana
ia berasal, lebih-lebih mereka yang mengalami keterbatasan atau kecacatan
fisik, sebagai contoh tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita, dan
tunalaras.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa hakikat
manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu
sama lain agar saling berhubungan dan saling melengkapi dengan segala aspek
keberbedaannya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Anak didik yang membutuhkan layanan
pendidikan inklusif pada hakikatnya adalah manifestasi dari manusia sebagai
makhluk yang berbeda atau individual
differences. Interaksi manusia antara satu dengan yang lain juga pasti
berbeda karena Tuhan memberikan fitrahnya masing-masing, baik kecerdasan,
emosi, maupun spiritualnya. Ada dua jenis interaksi yang berkaitan langsung
dengan fitrah manusia., yaitu kompetitif dan kooperatif. Begitu pula dalam
pendidikan, yang juga harus menggunakan keduanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan bersama.
Bila anda mencermati ayat-ayat Al-Qur’an mengenai
hakikat fitrah manusia, ternyata ada kesamaan antara landasan filosofis dan
landasan religius. Dalam konteks kebenaran hakiki, landasan filsafat menggunakan
rasio atau akal, sementara landasan agama menggunakan wahyu. Sumber hakikinya
terletak pada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi landasan fundamental bagi setiap
manusia untuk mendapatkan kebaikan dan keberkatan.
3.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis
dalam pelaksanaan pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan hierarki,
undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal, hingga
peraturan sekolah. Fungsi dari landasan yuridis ini adalah untuk memperkuat
argumen tentang pelaksanaan pendidikan inklusif yang menjadi bagian penting
dalam menunjang kesempatan dan peluang bagi anak berkebutuhan khusus.
Disebabkan mengandung nilai-nilai hierarki, landasan yuridis tidak boleh
melanggar segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan inklusif bagi
semua kalangan anak yang membutuhkan landasan hukum demi terjaminnya masa depan
pendidikan mereka kelak.
Penyelenggaraan
pendidikan inklusif juga berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional
yang berkenaan dengan pendidikan. Landasan yuridis internasional tentang
penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh
para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali
atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang
berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama
bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan yang ada. Dalam kesepakatan tersebut, juga dinyatakan bahwa
pendidikan hak untuk semua (education for
all), tidak memandang apakah seseorang memiliki hambatan atau tidak, kaya
atau miskin, pendidikan tidak memandang perbedaan ras, warna kulit, maupun
agama.
Sementara di
Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan
atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa
sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya, tentunya akan diatur dalam bentuk
peraturan operasional. Maka, pendidikan inklusif sebisa mungkin dapat
diintegrasikan dengan pendidikan regular, pemisahan dalam bentuk segregasi
hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction),
bukan untuk keperluan pendidikan (education).
Dengan melihat
landasan yuridis tersebut, tidak ada kata menolak bagi sekolah-sekolah regular
untuk menerima anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun realitas yang terjadi,
banyak sekolah-sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus dengan
berbagai alasan. Penunjukan bukanlah sebagai tujuan, yang terpenting adalah
nilai ibadah dengan mendidik mereka (anak berkebutuhan khusus). Namun juga
terbesit harapan kiranya pemerintah lebih memerhatikan lagi (Fauzan, 2006:
2-3).
4.
Landasan Pedagogis
Pada pasal 3
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk
menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat (Abdulrahman,
2003).
Dengan jaminan
Undang-Undang ini, pelaksanaan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan
khusus akan semakin berkembang dan terlaksana sesuai dengan rencana awal yang
ingin membimbing tunanetra menjadi manusia-manusia potensial dan tangguh dalam
menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Apalagi saat ini, kita sudah
memasuki dunia baru yang lebih menantang kita untuk berjuang melawan segala
bentuk kebebasan yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita luhur bangsa
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
5.
Landasan Empiris
Penelitian
tentang inklusif telah banyak dilakukan di Negara-negara Barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Science (Amerika Serikat). Hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah,
kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini
merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan
terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman, &
Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk
melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg,
1994/1995).
Beberapa
penelitian kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak
penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale
(1980) terhadap 50 tindakan penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11
tindakan penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 tindakan penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap
perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan teman sebayanya.
E.
Pro dan Kontra Pendidikan Inklusi
Paradigma baru dalam
pendidikan melalui hadirnya konsep baru pendidikan khusus, yaitu berupa sekolah
inklusi, menghasilkan berbagai morning
issue yang terdengar masyarakat. Ini merupakan kontroversi awal bagi
hadirnya new product di dunia
pendidikan yang disebut education for
all. Sebenarnya, ini bukanlah suatu produk baru lagi, namun para ilmuan
pendidikan baru menyadari bahwa pendidikan yang selama ini ada sebenarnya
adalah hak semua manusia, entah yang normal maupun berkebutuhan khusus.
Intinya, pendidikan untuk semua tidak memandang latar belakang kehidupan anak
karena mereka semua memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Education
for all (EFA) merupakan suatu
kesadaran publik yang membawa banyak pembenahan pada pendidikan yang selama ini
telah hadir. Perkembangan pendidikan luar biasa(PLB) yang terbukti melalui
hadirnya pendidikan inklusif adalah suatu realisasi dari program EFA. Bagi
sebagian besar masyarakat, pendidikan inklusif sangatlah baik untuk diterapkan
disemua sekolah. Secara teoretis, pendidikan inklusif ini memanglah sebuah
pendidikan untuk semua orang. Tetapi jika dilihat dalam realisasinya, di luar
negri pendidikan inklusif lebih cenderung mensolusikan bagi permasalahan
marginalisasi dalam hal minoritas etnis, sedangkan di Indonesia khsusnya di
daerah lebih cenderung pada permasalahan marginalisasi bagi anak berkebutuhan
khusus(ABK).
Kecenderungan
terjadinya marginalisasi terhadap anak berkebutuhan khusus, sejatinya sudah
menjadi rahasia umum yang seringkali dipersepsikan secara negatif. Meneganai
munculnya persepsi terkait dengan anak berkebutuhan khusus, penulis mencoba
menggunakan teori tentang persepsi yang sematkan kepada mereka yang dianggap
tidak normal atau mengalami kecacatan fisik maupun mental. Sebagaimana di
ketahui, persepsi merupakan suatu proses yang digunakan individu untuk
mengelola dan menafsirkan pesan indra dari lingkungan untuk memberikan makna
kepada lingkungan dengan cara mengorganisasi dan menginterpretasi sehaingga
akan memengaruhi prilaku individu (robbins, 2003).
Rahmat (2005)
menyebutkan persepsi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu positif dan negatif.
Apabila objek yang dipersepsi sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima
secara rasional dan emosional, manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung
menyukai dan menanggapi sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak
sesuai dengan penghayatan, persepsinya negatif atau cenderung menjauhi,
menolak, dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut.
Menurut Leavitt (1997), individu cenderung melihat kepada hal-hal yang mereka
anaggap akan memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang
dianggap merugikan atau mengganggu. Ini artinya, keadaan psikologis sangat
berperan dalam proses interpretasi atau penafsiran terhadap stimulus sehingga
sangat mungkin persepsi seorang individu akan berbeda dengan individu lain,
meskipun objek dan stimulusnya sama.
Sama halnya dengan
persepsi masyarakat terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus yang mencoba
masuk dalam pendidikan formal. Stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus
seolah sudah menjadi kelaziman yang patut kita pertanyakan. Penulis ingin
memberikan contoh munculnya stigma negatif terhadap anak berkebutuhan yang pada
gilirannya menghadirkan kontroversi, yakni ketika dalam persyaratan penerimaan
murid baru sekolah SD sampai SMA dicantumkan persyaratan bahwa calon siswa
tidak boleh memiliki cacat fisik yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Pencantuman persyaratan ini sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap
orang cacat yang secara kultural telah lama diterapkan di sekolah ketika
menerima siswa baru. Kebijakan itu sangat bertentangan dengan kebijakan sekolah
inklusi (sekolah umum yang memeberikan peluang handicap yang memiliki nilai
seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah. Stigma negative tersebut
juga bertentangan dengan UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, yang mana
penyandang cacat diberi kesempatan diberi kesepatan dalam berbagai aspek
kehidupan termasuk pendidikan.
Tidak heran bila
penyelenggraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih
mengundang kontroversi (menurut Sunardi, dalam Yanti D.W, 2010). Namun, praktik
sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya, adanya sikap positif bagi
siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan
dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitive, memahami, menghargai, dan
menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak
berkelainan belajar keterampilan sosial dan siap untuk tinggal di masyarakat
karena mereka dimasukkan ke sekolah umum. Dengan sekolah inklusif pula, anak
terhindar dari dampak negative sekolah segregasi, antara lain kecenderungan
pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupann yata, label “cacat” yang
memberi stigma pada anak dari sekolah segresi membuat anak merasa inferior,
serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerja sama, dan menghargai perbedaan.
Berkaitan dengan
munculnya stigma terhadap anak berkebutuhan khusus, sepintas orang akan mengatakan bahwa pendidikan
inklusif tidak serta merta menjamin seseorang terhindar dari pelebelan cacat
atau asumsi sebagai anak yang inferior. Penyusun turut prihatin jika stigma
negatif tidak hilang dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif karena tujuan
konsep ini adalah memperjuangkan hak mereka agar memperoleh pendidikan di
lembaga formal dan terhindar dari diskriminasi maupun stigmatisasi yang bisa
meruntuhkan kepercayan diri mereka. Sebagai pemerhati pendidikan, penulis tidak
bisa terima dengan perlakuan atau tindakan yang meberikan label cacat atau
membuat anak tidak betah di lingkungan baru mereka, apalagi sampai memunculkan
stigma negatif yang membut mereka semakin tiak bersemangat dalam mengembangkan
keterampilan dan potensinya.
Berbeda dengan di
Negara-negara maju, keberadaan pendidikan inklusif masih menimbulkan perdebatan
yang tak kunjung uasai.masing-masing pihak, baik yang pro maupun kontra tentu
memiliki dasar pertimbangan sendiri. argument para pendukung konsep pendidikan
inklusif mengajukan beberapa yang mempesepsikan positif kehadiran konsep baru
ini. Dia antaranya adalah belum banyak
bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang
diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak,
biaya sekolah khusus relative lebih mahal daripada sekolah umum, sekolah khusus
mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negative kepada anak, banyak anka yang
berkelainan yang dapat berakibat negative kepada anak, banyak anak yang
berkelainan oyang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia
sekolah khusus yang dekat, anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam
masyrakat bersama masyarakt lainnya.
Sementara pihak yang
kontra terhadap pendidikan inklusif pun memiliki argument. Argument didasarkan
pada kegagalan sistem pendidikan segregatif dan integrative yang tidak mampu
memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan layanan anak berkebutuhan
khusus. Pihak yang kontra beragumen bahwa peraturan perundangan yang berlaku
mensyaratkan bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat
kontinu, hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternative
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berada di kelas reguler bersama
teman-teman seusianya yang normal, dan pada umumnya sekolah reguler belum siap
menyelenggrakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikan.
Sekolah-sekolah yang
mengaku menerapkan pendidikan inklusif harus memenuhi lima karakteristik, yaitu
menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman,
dan menghargai perbedaan, memerlukan perubahan pelaksanaan kurukulum secara
mendasar karenakelas lebih heterogen, menyiapkan dan mendorong guru untuk
mengajar secara interaktif, lalu mendorong guru dan kelas untuk mengahapus
segala hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi, dan melibatkan orangtua
secara bermakna dalam proses perencanaan.
Dalam hal ini
berdasarkan observasi penyusun ke salah satu sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi di Kota Serang yaitu yayasan peradaban islam atau sekolah peradaban,
menurut narasumber yang kami wawancarai selaku koordinator inklusi beliau berpendapat untuk permasalahan pro dan kontra
akan pendidikan inklusi merupakan hak dari setiap individu untuk menyatakan
pendapatnya akan adanya pendidikan inklusi. Namun, menurut narasumber ia
menyatakan pendapatnya terhadap adanya pendidikan inklusi tersebut merupakan
suatu hal yang seharusnya ada dan dikembangkan karena semua anak berhak
memperoleh pendidikan tidak terkecuali untuk anak berkebutuhan khusus.
F.
Profil pembelajaran di Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi pada
hakikatnya bertujuan agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Melalui pendidikan, seluruh potensi anak didik dapat
digali dan dikembangkan secara optimal. Baik anak didik yang normal maupun anak
berkebutuhan khusus. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk meniadakan
pendidikan anak berkebutuhan khusus, apalagi menelantarkan anak berkebutuhan
khusus dalam memperoleh pendidikan. Salah satu karakteristik terpenting dari
seolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive
terhadap kebutuhan individual siswa. Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2005)
mengemukakan profil pembelajaran disekolah inklusi, yaitu pendidikan inklusif
berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab
menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan
menekankan suasana dan perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang
menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan
sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan
multimodalitas. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan
kurikulum secara mendasar. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari
pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke
pendekatan pembelajaran kooperaif yang melibatkan kerjasama antar siswa dan
bahan belajar tematik.
Adapun gambaran
pembelajaran pendidikan inklusi berdasarkan hasil observasi di sekolah
Peradaban yang termasuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, di sekolah
tersebut proses pembelajaran dilakukan secara bersama yaitu penggabungan antara
siswa reguler dengan siswa/anak berkebutuhan khusus, didalam satu kelas dengan
satu guru kelas dan satu guru pendamping, namun untuk anak yang berkebutuhan
khusus sekolah tersebut memberikan pendampingan satu guru pendamping untuk
setiap anak berkebutuhan khusus.
G.
Kurikulum Sekolah Inklusi
Menurut S. Nasution
(1995:13), kurikulum merupakan satu komponen penting pada lembaga pendidikan
formalyang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan
proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan.
Namun demikian, kurikulum sering tidak mampu mengikuti kecepatan laju
perkembangan masyarakat. Pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa
dilakukan secara berksinambungan dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.
Kurikulum meniscayakan
adanya keselarasan tujuan dan program yang dijalankan berjalan dengan simultan.
Tujuan yang hendak dicapai setidkanya tergambar dalam program yang tertuang
disetiap kurikulum sehingga mencerminkan harmonisasi target pencapaian yang
saling melengkapi satu sama lain. Target pencapaian dalam kurikulum merupakan
tujuan ideal yang teruang dalam proses pendidikan, karena ia menjadi factor
yang sangat penting dalam proses kependidikan. Intinya segala sesuatu yang
hendak diajarkan kepada anak didik harus berdasarkan kurikulum yang sudah
direncakan sebelumnya sehingga mencerminkan proses kependidikan yang mengandung
aspek penting dalam lembaga pendidikan.
Secara sederhana,
kurikulum memberikan gambaran tentang kegiatan belajar dalam suatu lembaga
pendidikan, tidak heran bila dalam kurikulum tidak sekedar dijabarkan
serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan anak didik oleh pendidiknya,
tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut pendidikan dan memberikan pengaruh
terhadap perkembangan anak didik dalam rangka mencapai hakikat tujuan
pendidikan yang sebenarnya terutama perubahan tingkah laku yang menjadi
cerminan dari kualitas anak didik yang berkepribadian luhur (Muzayyin Arifin,
2007:77).
Sementara itu,
substansi kurikulum yang berkaitan dengan instrument dan metode merupakan
elemen penting dalam mengidentifikasi berbagai unsur berbagai pengetahuan dalam
kegiatan pembelajaran. semisal aspek keterampilan yang juga harus dimasukkan
dalam konten kurikulum sebagian dari penilaian bagi anak didik agar tidak berhenti
dalam mengembangkan potensi pribadinya. Secara umum, kurikulum yang ideal
adalah yang bersifat integratif dan komprehensif, yang mencakup perbaduan
antara ilmu agama dan umum.
Persoalannya adalah
bagaimana cara menetapkan prioritas ilmu pengetahuan yang mesti ditunjang dalam
kurikulum tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kurikulum merupakan race-course, untuk jarak yang harus ditempuh dalam suatu
proses akan tetapi, proses itu tak akan pernah selesai, sementara jaraknya tak
kunjung berakhir. Dalam konteks pengembangan proses kependidikan, kurikulum
harus bersifat dinamis dan konstruktif dalam mengikuti arus pengembangan zaman
dan selalu menampilkan hal-hal baru yang memiliki prospek dan tujuan yang jelas
dalam memberian corak kehidupan yang lebih berwarna.
Selanjutnya Kilpartick
(1971:77) menawarkan tiga prinsip utama dalam kurikulum. Pertama, harus mampu
meningkatkan kualitas anak didik pada setiap jenjang sekolah. Kedua, harus
menjadikan kehidupan actual anak kearah perkembangan dalam satu kehidupan yang
integral. Ketiga, mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai sebuah uji coba
atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik mampu berkembang dalam
mengembangkan potensi pribadinya.
Bila kurikulum
didasarkan pada tiga prinsip yang dapat menghasilkan rumusan dalam program
pengajaran disekolah, sudah barang tentu sekolah akan mampu menghasilkan
manusia paripurna. Prinsip-prinsip inilah yang biasa emerging curriculm (kurikulum yang mendorong anak untuk maju).
Intinya, setiap pembenahan kurikulum tidak boleh mengabaikan aspek kemajuan
dalam mendorong anak didik agar selalu menciptakan sesuatu yang kreatif dan
inovatif bagi pengembangan potensinya.
Hal ini sesuai
penjabaran Dryden Gordon & Jeannette Vos (2004:1) dalam super camp bahwa ada tiga aspek penting
yang dikembangkan dalam kurikulum agar belajar dapat dan harus menyenangkan
yaitu tantangan fisik, keterampilan akademik, dan keterampilan dalam hidup
belajar akan efektif, dalam keadaan fun, dan memberikan kesegaran kepada anak
didik, terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang memang membutuhkan pelayanan
terbaik dalam pendidikan.
Gould (1999: 12),
melihat pendidikan inklusif harus berorientasi pada inisiatif anak sesuai
dengan perkembangan dan pendekatan teacher-directed. Harus diakui,
aktivitas dan intervensi akan memberikan banyak manfaat bagi anak-anak
berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif. Untuk mencapai tujuan itu, harus
dipersiapkan guru-guru, terapis, dan orang tua untuk membantu aktivitas semua
anak. Program selanjutnya dirancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam
topik kegiatan, semisal circle time, art
center, sand and water center, block
center, dramtic play, snack tirne, transitions, fine motor center, and gross
motor center. Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah
regular (kurikulum Nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan
tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Beberpa hal yang perlu diperhatikan
adalah mengenai bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan, anak
yang beragam dalam kelas regular yang sama.
Dalam hal ini tentu
disesuaikan denngan kebutuhan anak berkebutuhan khusus sehingga kurikulum
akademik dapat dipilah menjadi. Pertama, anak dengan kemampuan akademik
rata-rata dan diatas tinggi disiapkan kurikulum terpadu dengan kurikulum normal
atau kurikulum modifikasi. Kedua, anak dengan kemampuan akademik sedang
(dibawah rata-rata) disiapkan kurrikulum fungsional/vokasional. Ketiga, anak
dengan kemampuan akademik sangat rendah disiapkan kurikulum pengembangan bina
diri. Juga perlu disiapkan kurikulum kompensatoris, yaitu kurikulum khusus unuk
meminimalisasi barrier pada setiap
ABK sebelum belajar aspek akademik.
Adapun pengembangan
bahan ajar perlu memerhatikan pengembangan aspek akademik, berorientasi pada
kebutuhan pasca sekolah, berorientasi pada kebutuhan anak untuk pengembangan
keterampilan fungsional/vokasional, dan pengembangan kemampuan perilaku
adaptif. Strategi pembelajaran bersifat individual (program Pembelajaran
Terindividualisasikan) dengan prinsip kemudahan, bertahap, kekonkretan, dan
pengulangan. Penyaji isi materi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai
sumber belajar dan kesiapan bantuan guru serta menerapkan kefleksibelan waktu
belajar serta dalam proses pembelajaran bekerja sama dengan pihak terkait
(orangtua/wali, masyarakat, narasumber, guru, paramedis terapis. Dan dunia
usaha).
Demi memperjelas
pelaksanaan pendidikan inklusif, dipandang perlu untuk menguraikan tentang
komponen-komponen kurikulum yang menentukan masa depan belajar anak
berkebutuhan khusus. Menurut Nana Syaodih (2005: 103), beberapa komponenen
kurikulum terdiri dari tujuan, isi, proses, atau system penyampaian, media, dan
evaluasi. Dibawah ini akan dijelaskan secara rinci komponen kurikulum yang
sudah imodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan anak.
1.
Tujuan
Pada pelaksanaan kurikulum dan pengajaran, tujuan
memegang peranan penting untuk mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan
mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Nana Syaodih (2005: 103), tujuan
kurikulum dimaksudkan untuk perkembangan tuntutan, kondisi, dan kebutuhan
masyarakat dan disadari oleh pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan nilai
filosofis.
2.
Materi atau
Bahan Ajar
Untuk mencapai tujuan mengajar yang telah
ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar terususn atas topic-topik dan
sub-sub topic tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan
yang ditetapkan. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di
atas normal, materi dalam kurikulum sekolah regular dapat diperluas dan
diperdalam dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada didalam kurikulum
sekolah regular, tetpi materi tersbut dianggap penting untuk anak-anak
berbakat.
Sementara untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi relative normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. Demikian pula untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di baawah normal (anak
lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan
bagian tertentu.
3.
Strategi
Pembelajaran
Penyusunan bahan ajar berhubungan erat dengan
strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun bahan ajar, ia harus
memikirkan strategi yang dapat digunakan. Ada beberapa strategi yang dapat
digunakan dalam mengajar. Rowntree membagi startegi mengajar atas exposiyion-dicovery leraning and
groups-individual leraning. Sementara Ausubel & Robinson membagi atas
trategi reception leraning discovery
learning and rote learning-meaningfull learning (Syaodih, 2005:105).
Berkaitan dengan hal-hal diatas, dalam praksis
pendidikan inklusif,, penerimaaan siswa baru harus memprioritaskan penerimaan
didasarkan pada lokasi terdekat pada sekolah. Tidak membatasi pada jenis dan
derajat kelainan anak. Kurikulum harus disusun secara fleksibel sesuai
kebutuhan anak (ABK) dan kondisi sekolah. Dapat mendorong guru dan tenaga
kependidikan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, mendorong pengawas untuk membina secara rutin dan kebebasan untuk
berinovasi.
Ditinjau dari proses pembelajaran sebagai berikut:
(1) perencanaan pembelajaran hendkanya dibuat berdasar hasil asesmendan dibuat
bersama anatar guru kelas dan guru khusus dalam bentuk program pembelajaran
individual (IEP). (2) pelaksanaan pembelajaran lebih mengutamakan metode
pebelajaran kooperatif dan partisipatif, memberi kesempatan yang sama dengan
siswa lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi
anatara guru khusus dan guru kelas, serta dengan menggunakan media, sumber
daya, dan lingkungan yang beragam sesuai dengan keadaan.
Pada proses belajar mengajar dikelas unklusi yang
terdapat siswa berkebutuhan khusus, diperlukan pula strategi untuk keberhasilan
proses belajar mengajar. Salah satu strategi adlah positive behavioral support (PBS)
untuk anaka dengan gangguan emosi dan perilaku. Strategi tersebut diterapkan
secara individual terhadap anak dengan gangguan emosi dan perilaku diruangan
kelas. Keberhasilan strategi PBS tersebut juga ditunjang oleh kerja sama antara
guru inklusi dengan guru pendamping khusus untuk memperingan beban kerja,
berbagi perspektif mengenai perilaku yang ditangani, dan improvisasi secara
konsisten. Tahap demi tahap PBS dapat dilakukan secara co-teaching sebagai berikut.
a.
Menentukan dan
mendeskripsikan tingkah laku siswa di ruangan kelas. Guru inklusi dan guru
pendamping khusus dapat berbagi perspektif mengenai tingkah laku yang teramati.
b.
Melakukan
asesmen atas gangguan emosi dan perilaku siswa. Kegiatannya meliputi observasi,
analisis, dan membuat hipotesis atas perilaku siswa.
c.
Mengembangkan
hipotesis: kenapa siswa mempertahankan perilaku tersebut.
d.
Menetapkan
target berupa perilaku pengganti. Para grur yang mengenal siswa dapat bekerja
sama dalam mengidentifikasi perilaku pengganti, menganalisis, dan menjabarkan
tahap demi tahap keterampilan yang harus dikuasai ataupun yang harus
dihilangkan siswa dalam meraih perilaku pengganti.
e.
Guru dengan
bekerja sama mengejar siswa mengenai tingkah laku target, memberi penguatan di
kelas, dan memverifikasi pencapaian yang diraih siswa maupun guru.
f.
Memodifikasi
lingkungan yang mendukung pencapaian tingkah laku target dan memungkinkan
perkembangan perilaku kea rah lebih baik. Upaya modifikasi lingkungan ini
merupakan kegiatan besar yang melibatkan warga kelas (guru kelas, guru
pendamping khusus, dan siswa lainnya), tim guru lain, kepala sekolah, bagian
administrasi sekolah, dan juga orangtua siswa. Seluruh pihak yang terlibat
diharapkan menunjukkan dukungan dengan berbagai pola sikap maupun tindakan yang
mendukung anak tunalaras memperoleh perilaku positif bagi anak berkebutuhan
khusus.
4.
Media
Pembelajaran
Penggunaan media sebagai perantara dalam proses
pembelajaran memiliki nilai dan fungsi yang amat berharga bagi terciptanya
iklim pembelajaran yang kondusif. Melalui penggunaan media ini, anak didik dilatih
untuk memperkuat kepekaan dan keterampilan secara optimal dengan ditopang oleh
motivasi guru. Menurut Nana Syaodih, media pembelajaran adalah segala macam
bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa.
Nana Sujana (1991:23), merumuskan nilai urgensitas
dari media dalam pembelajaran. pertama, penggunaan media pada dasarnya bukan
sekadar sebagai fungsi tambahan, melainkan lebih dari pada itu, sebagai alat
bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif. Kedua, memperjelas
pesan agar tidak terlalu verbalitas. Ketiga, mengatasi keterbatasan ruang,
waktu, tenaga, dan daya indra. Keempat, menimbulkan gairah belajar, interkasi
lebih langsung antara murid dengan sumber belajar. Kelima, memungkinkaan anak
belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan
kinestetiknya. Keenam, memberikan nilai rangsangan yang sama, mempersamakan
bentuk pengalaman, dan menimbulkan suasana persepsi yang sama.
Sementara itu, Kemp dan Dayton (1996: 24) dalam Instructional Media and Technologies for
Learning memberikan rumusan mendasar tentang kontribusi media dalam
pembelajaran. pertama, penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih
terstandar. Dalam artian, kesan
pembelajaran yang dilaksanakan memiliki nilai transparansi yang lebih impresif
daripada hanya bertumpu pada penyampaian guru sehingga memungkinkan anak didik
dapat berekspresi tanpa kungkungan dari siapa pun.
Kedua, pembelajaran dapat lebih menarik. Sisi
menarik dari penggunaan media terletak pada nilai hiburan dan memiliki kesan
berbeda ketika menghadapi materi peajaran. Kesan yang dimunculkan media ketika
dalam proses pembelajaran jauh berbeda ketimbang pembelajaran yang dilaksanakan
mengabaikan kreativitas anak didik sehingga nuansa pembelajaran bersifat enjoy dan nyaman untuk dinikmati.
Ketiga, pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan
menerapkan teori belajar. Apalagi teori belajar yang digunakan menggunakan inquiry strategy atau discovery strategy sehingga menciptakan
keterampilan yang lebih optimal dengan hasil pengamatan, penelitian, maupun
penemuan baru yang bermakna bagi terciptanya pembelajaran yang menitikberatkan
pada problem solving.
Keempat, kualitas pembelajaran lebih meningkat.
Disadari atau tidak, kontribusi media sebagai alat bantu dalam belajar pada
gilirannya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik dari
sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari kesan media yang bisa memberikan tambahan
semangat dan kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Maka,
sangat beruntung bagi kita yang dibekali dengan media sebagai teman belajar
sekaligus teman bermain.
Kelima, proses pembelajaran dapat berlangsung kapan
pun dan di tempat mana pun diperlukan. Disinilah nilai plus dari media yang bisa dimanfaatkan, apabila kita membutuhkan
sehingga pembelajaran tidak hanya dilakukan pada saat di lingkungan sekolah. Di
rumah pun, pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai kebutuhan dan waktu yang
tepat dalam menggunakan media tersebut.
Keenam, peran guru berubah kea rah yang positif.
Dalam artian, tidak hanya bekerja sendiri dalam melaksanakan materi pelajaran,
tetapi sudah ada dukungan berarti dari media dan hal ini bisa mempermudah tugas
guru dalam meningkatkan kualitas belajar atau prestasi anak didik. Pada
awalnya, kesan yang timbul dari eksistensi guru adalah sikap keterkungkungan
dan system hegemoni pembelajaran yang selalu berada di pundak guru. Maka,
dengan hadirnya media di tengah-tengah kita, peran guru tidak semakin
terpojokkan karena system kekuasaan yang muncul dalam pribadinya.
5.
Evaluasi Kurikulum
Penilaian kurikulum dimaksudkan untuk melihat atau
menaksir keefektifan kurikulum yang digunakan oleh guru dalam mengaplikasikan
kurikulum tersebut. Evaluasi kurikulum dapat dijadikan umpan balik (feed back) apakah tujuan kurikulum
sudah tercapai secara maksimal. Jika belum tecapai, dipandang perlu untuk
melakukan evaluasi terhadap bahan ajar yang telah diberikan untuk mengetahui
indicator keberhasilan peserta didik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi
adalah perlunya penyesuaian cara, waktu dan isi kurikulum, mengacu kepada hasil
asesmen, mempertimbangkan oenggunaan Penilaian Acuan Diri, dilaksanakan secara
flesibel, multimetode dan berkelanjutan, secara rutin mengomunikasikan hasilnya
kepada orangtua. Dapat dikatakan pula bahwa implementasi kurikulum perlu adanya
kegiatan manajemen yang bisa menciptakan perencanaan pembelajaran yang lebih
baik, guna mengurangi berbagai hambatan dan memberikan efektivitas terhadap
usaha pencapaian tujuan sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber
daya dalam implementasi kurikulum. Tanpa ada kegiatan manajemen, kegiatan
implementasi kurikulum dapat diwujudkan. Akan tetapi, pencapaian hasil kegiatan
kurang optimal karena tidak adanya keteraturan kegiatan dan tidak ada
efesiensi, efektivitas, dan produktifitas dalam pencapaian tujuan.
Berdasarkan observasi penyusun di sekolah Peradaban
untuk kurikulum yang digunakan sekolah tersebut sebagai salah satu sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi, sekolah tersebut menggunakan kurikulum
nasional untuk siswa reguler sedangkan untuk siswa/anak berkebutuhan khusus
kurikulum yang digunakan merupakan kurikulum modifikasi (kurikulum yang
disesuaikan dengan kemampuan anak), dan program pembelajaran individual (PPI)
namun dalam proses pembelajaran siswa reguler maupun siswa yang berkebutuhan
khusus mengikuti proses belajar didalam satu kelas yang sama. Hal tersebut,
dianggap efektif untuk membantu proses pembelajaran pada pendidikan inklusi.
Sehingga penyelenggaraan pendidikan inklusi dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai meskipun dengan kurikulum yang berbeda namun
dalam proses pembelajaran berlangsung secara bersamaan.
Untuk hasil pembelajaran bagi siswa reguler di
sekolah peradaban diberikan dua buku hasil belajar (raport), satu buku hasil
belajar yang berisi tentang nilai-nilai kemampuan kognitif yang telah dicapai
siswa selama proses pembelajaran, selanjutnya satu buku penjelasan mengenai
kemampuan belajar siswa. Sedangkan, bagi anak berkebutuhan khusus diberikan
tiga buku hasil belajar (raport) yang ditambahkan dengan penjelasan hasil
kemampuan dan perkembangan perilaku anak.
H.
Tenaga Kependidikan Sekolah Inklusi
Faktor penentu
keberhasilan pendidikan inklusif yang tidak kalah pentingnya adalah adanya
tenaga pendidik atau guru yang professional dalam bidangnya masing-masing untuk
membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus. Tenaga pendidik atau guru yang
mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan
diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa.
Sebagaimana anda
ketahui bersama, seorang guru memiliki peran vital dalam mengatur segala proses
dan perencanaan pembelajaran samapai pada tahapan evaluasi untuk mengukur
tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti setiap materi
pelajaran. Penulis membayangkan guru merupakan pioneer bangkitnya motivasi anak
didik ketika mengalami ketidakpercayaan atau frustasi karena masalah kesulitan
memahami mata pelajaran. Tugas seorang guru adalah vital untuk membuat suasana
batin anak didik semakin terkontrol dan mampu mendayagunakan segenap potensinya
demi peningkatan prestasi.
Sementara itu, guru
berperan penting dalam menerapkan metode yang tepat agar potensi anak didik
dapat berkembang dengan cepat. Dengan demikian, guru harus benar-benar memahami
kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar
mengajar. Motivasi ekstrinsik menurut Sudirman A. M (1988: 90) adlah
motif-motif yang aktif dan berfungsi sebagai perangsang atau stimulus dari luar
sehingga dapat membangkitkan kegiatan belajar mengajar.
Guru yang mempunyai
pandangan masa depan akan sangat besar pengaruhnya ketika anak didiknya
mendapatkan prestasi belajar yang baik dalam dunia pendidikan ketika anak
didiknya mendapatkan prestasi belajar yang baik dalam dunia pendidikan. Tidak
hanya peningkatan prestasi belajar yang dijadikan target untuk mencapai sebuah
keberhasilan dan kesuksesan, tetapi juga perubahan tingkah laku amat penting
untuk digalakkan dan dijadikan langkah awal dalam mencapai idealism dalam
belajr. Dalam hal inni, attitudes guru amat diperlukansebab akan melandasi
hubungan interpersonal guru dengan
murid yang lebih fair. Konfidensial,
dan permisif. Guru dituntut sebagai
figure yang benar-benar dipercaya dan diyakini dalam menumbuhkan sikap
kebebasan terhadap anakdidik untuk mengunkapkan problematikanya (Buseri, 2003:
52).
Di samping itu, faktor
dari guru yang didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian sosial dan profesionalisme. Dengan kompetensi yang
dimiliki guru dapat merancang strategi pembelajaran yang tepat, metode yang
digunakan, media, juga evaluasi. Guru juga harus menjadi contoh yang baik bagi
siswanya. Maka dari itu, seorang guru hendaknya mempunyai prilaku yang santun,
arif, dan bijaksana. Guru juga dituntut profesional terhadap profesinya. Selain
itu, guru harus dapat menjalin kerjasama dengan semua pihak yang terkait
dalampelaksanaan pembelajaran sejarah.
Kompetensi pedagogik
adalah kemampuan mengelola pembelajan peserta didik yang melipu pemahaman
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar,
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan
berakhlak mulia. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian
dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas daan mendalam yang memungkinkan mampu membimbing
peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar
pendidikan nasional.
Kompetensi guru
berkaitan langsung dengan kemampuan dalam mendayagunakan profesionalitasnya
agar menjaddikan anak didik sebagai lembaga terampil dan produktif. Stephen
(1998: 82) menemukakan bahwa kemampuan merujukpada suatu kapasitas individu
untuk melakukan beberapa tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan adalah daya
untuk melakukan suatu tindakan sebagai hassil dari pembawaan dan latihan
(Munandar, 1992: 17). Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai
tujuanyang dipersyaratkan sesuai kondisi yang diharapkan. Perilaku yang
rasional merupakan wujud dari kemampuan seseorang. Orang yang memiliki suatu
kemampuan berarti benar-benar orang yang mempunyai keahlian dibidangnya atau
dikenal dengan istilah profesional. guru
hendaknya memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi agar peserta senang
berada dalam lingkungan belajar sehingga terbangun kondisi psikis kemampuan
diri (self eduquacy) yang membawa kepuasan belajar dan mengacu pada
percaya diri (self confidency), untuk
menjadi mandiri dan secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusannya sendiri
(Semiawan, 2002: 123). Hal ini menunjukkan bahwa belajar dan pembelajaran perlu
bermakna bagi siswa.
Untuk tenaga pendidik
di sekolah Peradaban sebagai sekolah penyelenggara inklusi, sekolah tersebut
memiliki tenaga pendidik yang beraneka ragam, sebagai sekolah inklusif
seharusnya memiliki tenaga pendidik yang kompeten di bidangnya, namun sekolah
tersebut lebih mementingkan kesiapan guru yang akan menjadi tenaga pendidik di
sekolah tersebut baik secara fisik maupun mental. Tenaga pendidik disekolah tersebut
dituntut untuk mampu menerima segala kondisi anak didiknya. Karena di sekolah
inklusi tenaga pendidik dalam proses pembelajaran tidak hanya cukup dengan
pengetahuan yang dimiliki, namun juga dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan.
Sehingga tenaga pendidik tidak merasa terbebani dalam menghadapi anak
berkebutuhan khusus.
I.
Sarana dan Prasarana di Sekolah Inklusi
Sarana-prasarana adalah
faktor penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inlusif.
Sebagai salah satu komponen keberhasilan, tersedianya sarana-prasarana tidak
serta merta mudah diperoleh dengan mudah,tetapi membutuhkan kerja keras dari
pemerhati pendidikan untuk mengupayakan fasilitas pendukung yang mendorong
peningkatan kualitas anak berkebutuhan khusus. Sarana-prasarananya hendaknya
disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang teklah dikemangkan.
Sebagaimana anda kenal
bahwa fasilitas atau sarana-prasarana merupakan wahana strategis untuk
mempermudah pelaksanaan setiap kegiatan. Wahyuningrum (2004: 4) menyatakan
sarana-prasarana adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan. Menurutnya, sarana-praasarana dibagimenjadi dua bagian, yaitu
fasilitas fisik dan fasilitas uang. Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan konsep
pendidikan inklusif? Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan
dan perabot yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah
(Bafadal, 2003: 2), sarana pendidikan dapat diartikan sebagai peranglkat yang
menunjang keberlangsungan sebuah proses pendidikan. Dalam dunia pendidikan.
Sarana-prasarana berkaitan langsung dengan ruang kelas, perpustakaan, ruang
bimbingan dan konseling (BK), dan ruang multimedia.
Adapun berdasarkan
hasil observasi di sekolah Peradaban untuk sarana-prasarana sangat mendukung
dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif. Karena menurut narasumber yang
kami wawancarai beliau berpendapat bahwa sarana-prasarana yang ada di sekolah
tersebut, memang di sediakan untuk seluruh siswa, baik siswa reguler maupun
siswa/anak berkebutuhan khusus, karena pada dasarnya anak seusia sekolah dasar
membutuhkan banyak fasilitas yang menunjang proses pembelajaran, khususnya
untuk perkembangan motorik kasar peserta didik. Selain itu di sekolah Peradaban
sangat mementingkan kenyamanan peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga
fasilitas yang ada dibuat sedemikian rupa demi tercapainya visi dan misi
sekolah.
J.
Lingkungan Masyarakat Sekitar Sekolah Inklusi
Bila mencermati
komponen-komponen keberhasilan pendidikan inklusif, akan menemukan banyak
faktor pendukung yang berkaitandengan pengaruh lingkungan. Dalam kaitan dengan
system dukungan, terdapat beberapa peran orangtua,sekolah khusus (SLB), dan
pemerintah yang perlu diperhatikan. Beberpa komponen terkait dengan lingkungan
sekitar juga sangat menentukan bagi keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam
menjalankan aktivitas pembelajaran sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Peran orangtua sangat
menentukan bagi peningkatan motivasi dan kepercayaan diri anak agar tetap tidak
putus asa dalam menjalani kehidupan. Orangtua dituntut dapat berpartisipasi
aktif dalam pembuatan rencana pembelajaran, pengadaan alat, media, dan sumber
daya yang dibutuhkan sekolah. Aktif berkomunikasi dan berkonsultasi tentang
permasalahan dan kemajuan belajar anaknya, serta pengembanganpotensi anak
melalui program-program lain di luar sekolah. SLB dituntut mampu berperan
sebagai pussat sumber guna membantu melayani kebutuhan informasi dan konsultasi
bagi sekolah, dalam memahami kebutuhan khusus anak berkebutuhan khusus dan
layanan pembelajaran, serta dalam pengadaan guru khusus, sosialisasi, dan
pendampingan.
Pemerintah juga
berperan penting dalam menentukan pelaksanaan pendidikan inklusif. Pemerintaha
dituntut untuk membantu dalam merumuskan kebijakan-kebijakan internal sekolah,
program pendampingan, monitoring dan evaluasi program, maupun dalam sosialisasi
ke masyarakat luas.
Sementara pada sekolah
yang ditunjuk sebagai sekolah percontohan inklusi, ada hal-hal menarik yang
terjadi di sekolah ini. Pertama, awalnya berjalan alami, kemudian ditunjuk
resmi sebagai sekolah inklusif oleh pemerintah. Kedua, awalnya mendpat bantuan
1 orang guru pendamping atau guru khusus, tapi kemudian keluar. Ketiga,
akhirnya muncul inisiatif dari orangtua untuk membawa sendiri guru pendamping
untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang sampai sekarang dan bahkan
menjadi persyaratan yang harus dipenuhi orangtua.
Kendati demikian,
pembelajaran anak berkebutuhan khusus yang awalnya diterima sebagai tantangan
oleh guru kelas, kini bergeser kepada ketergantungan pada guru khusus atau guru
pendamping. Kondisi ini menjadikan kreativitas guru tidak berkembang. Kebijakan
menjadikan sekolah berpredikat inklusi dan banyaknya pelatihan yang diterima
justru menjadikan semakin tidak jelas, bahkan bias. Penataran/pelatihan yang
diterima belum banyak berdampak di kelas dan belum memberi solusi terhadap
permasalahan pendidikan yang dihadapi. Motivasi, kerja sama dalam mengatasi
masalah tidak tampak, sebab seluruh aktivitas belajar disabled children mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping.
Ini karena, inklusi
hanya dimaknai sekadar memasukkan anak berkebutuhan khusus ke kelas regular,
belajar dengan materi, guru, dan cara masing-masing. Anak berkebutuhan khusus
ternyata belum ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas
dan aktivitas di dalam kelas. Artinya, mereka masih sebagai “tamu”, yang
diterima secara pasif dan kurang dihargai. Kebijakan sekolah menetapkan bahwa
urusan children with disabilities adalah
urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi wewenang guru pendamping. Pembuatan
rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan
melalui kolaborasi dan kerja sama.
Selanjutnya, rencana
pembelajaran untuk disabled children dibuat
oleh guru khusus erdasar hasil asesmen dan dituangkan dalam format program
pengajaran individual, kemudian disatukan dengan rencana pembelajaran guru
kelas. Guru pendamping yang notabene memiliki latar belakang pendidikan PLB,
ternyata belum memiliki keberanian untuk meluruskan sesuai konsepnya. Sekalipun
sekolah melayani keberagaman siswa, termasuk anak berkebutuhan khusus, namun
sebenarnya sekolah tersebut telah tumbuh menjadi sekolah eksklusif, karena
memiliki syarat khusus sehingga hakikatnya telah bias dan tumbuh menjadi
sekolah inklusif yang keluar dari prinsip-prinsip inklusif.
Dalam observasi yang
penyusun lakukan di sekolah Peradaban, menurut narasumber lingkungan di sekitar
sekolah cukup mendukung dalam implementasi pendidikan inklusi, karena
lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses pengembangan pendidikan inklusi.
Meski demikian, menurut narasumber pengaruh lingkungan tersebut pasti memiliki
dampak positif dan negatif. Sehingga peserta didik harus tetap dalam pengawasan
pihak sekolah.
K.
Resource Center dan Peranannya dalam Pendidikan
Inklusi
1.
Pengertian Resource Center
Resource Center adalah lembaga khusus yang dibentuk dalam rangka
pengembangan pendidikan khusus/pendidikan inklusif yang dapat dimanfaatkan oleh
semua anak, khususnya anak berkebutuuhan khusus, orangtua, keluarga, sekolah
biasa, sekolah luar biasa, masyarakat, pemerintah, serta pihak lain yang
berkepentingan untuk memperoleh informasi yang seluas-luasnya dan melatih
berbagai keterampilan, serta memperoleh berbagai pengetahuan yang berhubungan
dengan pendidikan berkebutuhan khusus/pendidikan inklusif. (Wasliman, 2007: 244).
Resource Center adalah lembaga yang memberikan bantuan kepada
anak-anak berkebutuhan khusus maupun orang-orang berkebutuhan khusus, guru-guru
umum, orang tua, masyarakat, dan sebagainya. Bantuan yang diberikan dapat
berupa informasi, pelatihan vokasional, advokasi, asesmen, penelitian dan
pengembangan terhadap kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus sehingga
anak-anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti proses pembelajran dengan baik
disekolah-sekolah reguler. (Suharwanto, 2007).
2.
Resource Center Sebagai Layanan Pendukung Eksternal
dalam Pengembangan Pendidikan Inklusif
Dalam upaya pengembangan pendidikan inklusif, secara
garis besar Resource Center (pusat
sumber) berfungsi sebagai layanan pendukung eksternal. Dengan adanya layanan
pendukung eksternal ini, diharapkan upaya pengembangan pendidikan inklusif
dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan paradigma pendidikan inklusif
itu sendiri. Tersedianya layanan pendukung merupakan faktor yang sangat penting
bagi keberhasilan pengembangan pendidikan inklusif. Untuk menjamin agar layanan
pendukung eksternal tersedia dengan baik, maka Resource Center harus dapat
mencerminkan fungsi dan peran sebaik mungkin.
Kerangka aksi tingkat nasional dalam pendidikan
kebutuhan khusus menjelaskan bahwa layanan pendukung dalam pengembangan
pendidikan inklusif dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan, guru dan dengan
mengembangkan fungsi SLB (sekolah luar biasa) menjadi pusat sumber bagi
sekolah-sekolah reguler yang mengembangkan pendidikan inklusif, serta layanan pendukungnya.
Poin ke 50 kerangka aksi tingkat nasional dalam
pendidikan kebutuhan khusus menyebutkan bahwa “layanan pendukung bagi sekolah
biasa dapat disediakan oleh lembaga pendidikan guru dan oleh staf SLB yang
sudah ditingkatkan kewenangannya. SLB seyogyanya semakin banyak dipergunakan
sebagi pusat sumber bagi sekolah biasa/reguler yang memberikan layanan langsung
kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Baik lembaga pendidikan guru maupun SLB
dapat memberikan akses keperalatan atau materi khusus serta pelatihan dalam
strategi-strategi pembelajaran yang tidak tersedia dikelas reguler”.
Sedangkan pada poin ke 51 kerangka aksi tingkat
nasional dalam pendidikan kebutuhan khusus disebutkan bahwa, “ layanan
pendukung oleh narasumber dari berbagai lembaga, departemen dan institusi,
seperti guru BP, psikologi pendidikan, ahli terapi bicara dan ahli terapi
okupasional, dan lain-lain, seyogyanya dikordinasikan ditingkat daerah”.
Pengelompokan sekolah telah terbukti merupakan strategi yang bermanfaat dalam
memobilisasi sumber-sumber kependidikan maupun keterlibatan masyarakat.
Kelompok-kelompok sekolah tersebut dapat diserahi tanggung jawab kolektif untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan khusus siswa-siswa didaerahnya dan diberi
keleluasan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang diperlukan. Pengaturan
semacam ini seyogyanya melibatkan pelayanan non-kependidikan juga. Memang
pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan pendidikan akan sangat meningkatkan
hasilnya apabila upaya yang lebih besar dilakukan untuk menjamin penggunaan
semua keahlian dan sumber-sumber yang tersedia secara optimal.
3.
Fungsi dan Peran Resource Center
a.
Fungsi Resource Center
1.)
Berinisiatif dan
aktif melaksanakan pendidikan kebutuhan khusus/sekolah inklusif.
2.)
Memberikan
dukungan kepada sekolah-sekolah (sekolah reguler dan sekolah luar biasa) dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif.
3.)
Sebagai pusat
informasi dan inovasi di bidang pendidikan khusus/pendidikan inklusif.
4.)
Sebagai homebase
guru pendidikan khusus.
5.)
Sebagai
kordinator dalam pelayanan pendidikan inklusif.
6.)
Berkolaborasi
dengan pihak lain dalam upaya meningkatkan implementasi pendidikan inklusif.
b.
Peran Resorce
Center
1.)
Memberikan
informasi/penerangan kepada sekolah-sekolah (reguler dan SLB) mengenai
pendidikan inklusif.
2.)
Menyediakan
bantuan asesmen yang rutin terhadap anak berkebutuhan khusus.
3.)
Memberikan
layanan dan bimbingan kependidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
4.)
Menjadi
konsultan bagi semua pihak yang membutuhkan informasi, layanan, bimbingan, dan
penanganan khusus.
5.)
Menjalin
kerjasama dengan Dinas/instansi dan lembaga lainnya dalam upaya implementasi
pendidikan inklusif.
6.)
Melakukan
inovasi dibidang pendidikan khusus atau pendidikan inklusif
7.)
Melakukan
penelitian dan pengembangan implementasi pendidikan inklusif, serta strategi
dan metode pembelajran yang sesuai diterapkan pada layanan pendidikan bagi
semua anak di dalam dan di luar kelas.
8.)
Melakukan
pelayanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
9.)
Merencanakan dan
menyelenggarakan pelatihan bagi guru sekolah reguler dan SLB serta pihak lain
yang membutuhkan pelatihan mengenai pendidikan inklusif dan atau pendidikan
khusus.
10.) Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk
meningkatkan layanan kepada anak atau siswa termasuk mereka yang berkebutuhan
khusus.
11.) Menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak
dalam implementasi pendidikan inklusif.
12.) Memberi dan menerima rujukan dan referensi dalam
layanan pendidikan inklusif.
13.) Mengatur guru yang ada di SLB untuk melakukan tugas
tambahan sebagai guru pembimbing khusus disekolah inklusif.
Adapun pada sekolah
Peradaban yang menyelenggaran pendidikan inklusi juga termasuk sekolah yang
bekerja sama dengan Resource Center. Sebagai contoh dalam beberapa kesempatan
perwakilan dari tenaga pendidik di sekolah Peradaban mengikuti kegiatan
pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh Resource Center sebagai bentuk
kerjasama dalam implementasi pendidikan inklusi.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,
Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik
Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara
Ilahi, Mohmmad Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar