ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNADAKSA
A.
Pengertian
Tunadaksa
Anak
tunadakasa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berbarti rugi
atau kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik
dimaksudkan untuk menyebut anak caqcat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
inderanya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa inggris
orthophedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan
otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacar ortopedi kelaiannya
terletak pada aspek otot, tulang, dan persendian atau dapat juga merupakan
akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang
dan persendian.
Secara
etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan,
yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan
akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami
penurunan.
Secara
definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal,
akibat luka, penyakit atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo, 1977). Sehingga
untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan khusus. (Kneedler, 1984)
Tunadaksa
adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak
(tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus. Jika mereka mngelami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi
syaraf otak disebut dengan cerebral palsy
(CP).
Istilah
kelainan fisik (physical disability)
sebenarnya tidak digunakan, namun kenyataannya definis-definisi tersebut
digunkan dalam penerapan IDEA. Istilah yang digunakan dalam undang-undang itu
adalah kelainan ortopedi (orthopedic
impairment) dan kelainan kesehatan lain (other health impairment).
Istilah
ini didefinisikan sebagai berikut: dalam Federal Register kelainan ortopedi
berarti suatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai efek merugikan
pada prestasi pembelajaran anak. Istilah ini meliputi gangguan yang disebabkan
kelainan bawaan (misalnya hilang salah satu anggota tubuh).
Kelainan
kesehatan lain berarti memiliki keterbatasan kesehatan, vitalitas atau
kewaspadaan yang disebabkan oleh masalah-masalah kesehatan yang akut misalnya
penyakit jantung, tuberculosis, reumatik, radang ginjal, keracunan tubuh,
leukimia atau diabetes yang mengakibatkan merugukan pada prestasi pendidikan si
anak (federal register, 1990).
Anak
tunadaksa dapat didefinisikan sebgai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan
pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan
keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa
anak tunadaksa adalah anak yangpenyandang cacat jasmani yang terlihat pada
kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun syaraf-syarafnya.
Istilah
tunadaksa maksudnya sema dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh,
tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan
orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A Krik
(1986) yang dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991:3)
mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau
kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan
sehari-hari, sekolah atau rumah.sebagai contoh anak yang mempunyai lengan palsu
tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti pendidikan jasmani atau ada
anak yang minum obat untuk mengendalikan kesehatannya maka anak-anak jenis itu
tidak termasuk penyandang gerakan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu
memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyeakit kronis) sering
kambuh secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik
(tunadaksa).
B.
Klasifikasi
Tunadaksa
Agar
lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem
penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam, yaitu:
a. Dari
sistem kelainannya
1. Kelainan
pada sistem cerebral (cerebral systemi)
Penyandang kelainan pada sistem
cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral
palsy atau kelumpuhan otak.
·
Menurut derajat
kecacatannya, serebral palsy diklasifikasikan menjadi (1) ringan, dengan ciri
dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2)
sedang, dengan ciri membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan (3) berat, dengan ciri
membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, berbicara dan menolong diri.
·
Menurut letak kelainan
di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas: (1) Spastik, denagn
ciri terdapat kekuatan pada sebagian atau seluruh ototnya. Anak yang mengalami
spastic ini menunjukkan kekejangan pada otot-ototnya, yang disebabkan oleh
gerakan-gerakan kaku dan akan hilang dalam keadaan diam misalnya waktu tidur.
Pada umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam keadaan marah
atau dalam keadaan tenang; (2) Dyskenisia yang melipiputi athetosis (penderita
memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol); (3) Rigid (kekakuan pada seluruh
tubuh sehingga sulit dibengkokkan), anak cerebral palsy jenis ini mengalami
kekakuan otot-otot; (4) Tremor (getaran kecil yang terus-menerus pada mata,
tangan atau pada kepala); (5) Athetoid, tidak mengalami kekejangan atau
kekakuan. Otot-ototnya dapat bergerak dengan mudah, malah sering terjadi
gerakan-gerakan yang tidak terkendali yang timbul di luar kemampuannya. Hal ini
sangat mengganggu dan merepotkan anak itu sendiri. Gerakan ini terdapat pada
tangan, kaki, lidah, bibir, dan mata (6) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan,
jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi); (7) jenis
Campuran (seorang anak mempunyai kelainan 2 atau lebih dari tipe-tipe diatas).
2. Kelainan
pada sistem otot dan rangka (musculus
skeletal system)
· Poliomyelitis
Merupakan suatu infeksi pada
susmsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan
kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak,
sekumpulan anak polio dapat dibedakan menjadi: (1) Tipe spinal, yaitu
kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan , dan kaki; (2) Tipe
bulbair, yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan
ditandai adanya gangguan pernapasan; (3) Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan
antaa tipe spinar dan bulbair; (4) Encephalitis Yng biasanya disertai dengan
demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang. Kelumpuhan pada
folio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau
alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah ootot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur),
pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
seperti huruf S (scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau
ke dalam, dislokasi (sendi yang keluar dari dudukannya), lutut melinting
kebelakang (genu recorvatum).
·
Muscle Dystropy
Jenis penyakit yang mengakibatkan
otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan
simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
·
Spina Bifida
Merupakan jenis kelainan pada
tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya 1 atau 3 ruas tulang belakang
dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi
jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus,
yaitu pembesarab pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya
kasus ini disertai dengan ketunadaksaan.
C.
Penyebab
Tunadaksa
Ada
beberapa macam sebab yang menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi
tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan
sumsum tulang belakang, pada sisitem musculus skeletal.
Adanya
keberagaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan tumbulnya berbeda-beda.
Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum
lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebelum
Lahir (Fase Prenatal), kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan,
kerusakan disebabkan oleh:
a. Infeksi
atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi
yang sedang dikandungnya. Misalnya, infeksi, sypilis, rubela, dan typhus
abdominolis.
b. Kelainan
kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga
merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi
dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf
pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu
yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan
terganggunya pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya
membentur cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat
merusak sistem syaraf pusat.
2. Saat
Lahir (Fase Natal), hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada
saat bayi dilahirkan antara lain:
a. Proses
kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi
mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya
metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami
kerusakan.
b. Pemakaian
alat bentu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dapat merusak jaringan syaraf pada otak bayi.
c. Pemakaian
anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan
menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan
otak bayi, sehingga otak mengalami kalainan struktur ataupun fungsinya.
3. Sesudah
Lahir (Fase Post Natal). Fase sesudah kelahiran adalah masa mualai bayi
dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5
tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi dilahirkan adalah:
a. Faktor
penyakit, seperti menginitis (radang selaput otak), encephalis (radang otak),
influenza, diphtheria, partusis dan laiannya.
b. Faktor
kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras,
terjaduh dari tempat yang berbahaya bagi tubuh, khususnya bagian kepala yang
melindungi otak.
c. Pertumbuhan
tubuh/tulang yang tidak sempurna.
D.
Karakteristik
Tunadaksa
Secara
umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan dan Kauffman,
1991).
Keadaan
anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa tidak terdapat perbedaan yang mencolok,
sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada
fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati
secara seksamasumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk
beraktifitas atau mobilitas akan nampak perbedaannya.
1. Karakteristik
Akademik
Pada
umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan
anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan
bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (Tunadaksa), 35%
mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya mempunyai
kecerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya P.Siebel (1984:138)
mengemukakakn bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat
kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang
kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain
tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan
presepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan presepsi terjadi karena syaraf
penghubung dan jaringan syaraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
presepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak
opleh syaraf sensoris, kemidian ke otak (yang bertugas menerima dan
menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan
kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta pada
akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya
yang terjadi terus menerus melalui prespsi dengan menggunakan media sensori
(indra). Gangguan pada simbolisasi dosebabkan oleh adanya kesulitan dalam
menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademiknya.
2. Karakteristik
Sosial/Emosional
Karakteristik
sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa
dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar. Kehadiran anak cacat yang tidak doterima oleh orang tua
disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan
jasmani yang tidak dapat dilakukan anak tunadaksa dapat menimbulkan problem
emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat
bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak
ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan cerebral. Oleh sebab itu, tidak
jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik
Fisik/Kesehatan
Karakteristik
fisik/kesehatan anak tunadaksa biasabya selain mengalami cacat tubuh adalah
kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan ole kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lifah,
bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar.
Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah
payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan berbicara
karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu
mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran
namun tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy
mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungi
mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan
keseimbangan, gerak tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.
Dilihat
dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atar hyperaktif
yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap
pendiam, gerak lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan serta
tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan
yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, meggambar,
dan menari.
E.
Alat
Pendidikan Tunadaksa
Alat
bantu belajar yang sering digunakan oleh anak tunadaksa meliputi; kursi roda,
walker, crutch, splint, brace, prothesa kaki atau tangan, alat tulis
modofikasi, dan alat makan modifikasi.
1.
Kursi
Roda (Wheel Chair)
Kursi
roda digunakan pada anak tunadaksa yang betul-betul mengalami lemah otot kaki
dan perut yang tidak ada kemungkinan untuk dilatih berdiri atau berjalan.
Menurut
bentuknya ada 2 macam kursi roda, yaitu;
a. Kursi
roda yang roda besarnya dibelakang, dapat masuk kolong mendakati tempat tidur,
jadi mudah berpindah tempat sehingga tempat tidurnya harus lebih tinggi dari
kursi roda.
b. Kursi
roda yang roda besarnya di depan, mudah berputas sitempat yang sempit.
Syarat-syarat
yang diperlukan agar dapat mandiri di kursi roda adalah:
1) Latihan
duduk seimbang, dengan bentuk latihannya sebgai berikut:
·
Posisi duduk dalam
kursi roda, tangan dua-duanya diangkat lurus kedepan lalu supinasi,
·
Abduksi setinggi bahu,
tangan pronasi dan supinasi,
·
Kedua tangan diangkat
ke atas dan ke bawah,
·
Kedua tangan abduksi,
miring ke kiri dan ke kanan kemudian maju ke depan dan ke belakang.
2) Push-up,
caranya kedua tangan berpegangan pada kursi roda, tekan tangan dan badan di
angkat ke atas.
3) Menyilangkan
kaki bergantian kiri dan kanan
Tujuan
pemakaian kursi roda adalah untuk:
a. Membantu
mobilisasi
b. Membantu
melaksanakan kegiatan sehari-hari
c. Memperlancar
komunikasi
2.
Crutch
Dipergunakan
untuk anak tunadaksa yang menggunakan dobel brace pada kakinya. Crutch
digunakan dengan tujuan sesuai dengan kelainannya. Misalnya untuk penderita
poliomyelitis, bertujuan sebagai penahan dan penguat seluruh badan serta
membantu berjalan sedangkan untuk yang amputasi, bertujuan sebagai alat
sementara sebelum menggunakan protase untuk alat berjalan dan membantu kegiatan
hidup sehari-hari.
Dalam
berjalan menggunakan crutch diperlukan otot-otot tangan yang kuat untuk
menyangga berat badan, karena berat badan ditekankan pada pegangan crutch yaitu
di telapak tangan jangan di ketiak karena otot-otot bahu menjadi cepat besar.
Teknik
berjalan dengan crutch, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) posisi
tripod, yaitu ujung kedua crutch disamping badan agak kedepan dan kedua kaki
agak ke belakang.
2) Angkat-angkat
kaki dan turunkan agar seimbang.
3) Melangkah
ke depan dengan bermacam-macam hitungan/teknik:
a. Four
point alternate crutch gait, artinya 4 langkah yaitu cructh kanan ke depan
diikuti kaki kanan bergantian.
b. Tripod
alternate gait, artinya 3 langkah yaitu langkah pertama cructh kanan ke depan,
diikuti cructh kiri, dua kaki siangkat kedepan jatuhkan badan.
c. Tripod
stimulataneous cructh gait, yaitu kedua cructh maju ke depan kemudian angkat
kedua kaki jatuhkan badan.
d. Two
point alternate crutch gait, artinya dua langkah yaitu crutch kanan dan kaki
kiri melangkah kemudian crutch kiri dan kaki kanan di angkat bersamaan.
e. Wsinging
crutch gait, yaitu kedua crutch ke depan, kemudian melompat kaki sejajar dengan
crutch.
f. Swinging
throught crutch gait, yaitu kedua crutch ke depan kemudian ayun kedua kaki
sampai melewati crutch.
g. Shuffle
stimultaneous gait, yaitu crutch bersama-sama ke depan kedua kaki di seret.
3.
Splint
Splint
atau spalk adalah alat untuk meletakkan anggota tubuh dalam posisi yang benar
atau menjaga jangan sampai anggota tubuh yang sakit terjadi salah bentuk.
Pemakaian splint sebaiknya dilakukan dalam 24 jam terus menerus, atau
disesuaikan dengan kondisi pasien. Tujuan menggunakan splint adlah untuk
mencegah salah bentuk, memabantu manahan dan menguatkan kaki untuk berjalan,
mencegah kontraktur, megoreksi pada posisi anggota tubuh yang benar/normal. Ada
beberapa jenis splint, antara lain: (1) Splint tangan, contohnya cock up spilnt
dan hand rest splint; (2) Splint kaki, contohnya back splint dan night splint.
4.
Walker
Alat
bantu untuk latihan berjalan, bentuknya ada yang lingkaran, dan ada yang segi
empat, ada yang dipasang roda dan ada yang tidak.
5.
Brace
Alat
yang dipakai anak untuk penopang kaki terbuat dari alumunium dan dihubungkan
dengan sepatu untuk berjalan. Ada yang sepanjang kaki (long leg brace) dan ada
yang hanya sebatas lutut (short leg brace).
6.
Prothese
Kaki atau Tangan
Alat
palsu yang berbentuk kaki atau tangan, gunanya untuk mengganti fungsi kaki atau
tangan yang hilang.
7.
Alat-Alat
Tulis Moodifikasi
Alat-alat
tulis yang pegangannya diperbesar (dibungkus dengan karet atau sapu tangan)
agar mudah dipegang oleh anak cerebral palsy.
Adapun
head pointer, adalah alat menulis yang dipakan di kepala, jadi menulisnya
dengan gerakan kepala. Diperuntukkan bagi anak yang tidak punya tangan.
8.
Alat-Alat
Makan Modifikasi
Sendok
modifikasi, pegangan sendoknya diperbesar atau dibungkus dengan karet/sapu
tangan agar mudah dipegang. Ujung sendoknya dibengkokkan ke arah mulut agar
tinggal mendorong maju untuk memudahkan gerakan menyuap.
Piring
modifikasi, piringnya dipasang pembatas agar nasi tidak berceceran ke luar pada
saat disendok.
Cangkir
modifikasi, lubang cangkirnya dibuat lebih besar agar mudah dipegang.
F.
Dampak
Ketunadaksaan
Karakteristik
anak tunadaksa mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan,
kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku
anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jeniis dan derajat keturunannya.
Jenis
kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tungkah laku sebagai kompensasi
akan kekurangan kecacatan. Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa
cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan.
Disamping
karakteristik tersebut terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa
antara lain:
a. Kelainan
perkembangan/intelektual
b. Gangguan
pendengaran
c. Gangguan
penglihatan
d. Gangguan
taktik dan kinestetik
e. Gangguan
persepsi
f. Gangguan
emosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar