Kamis, 29 Desember 2016

Tunadaksa



ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNADAKSA

A.    Pengertian Tunadaksa
Anak tunadakasa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berbarti rugi atau kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak caqcat pada anggota tubuhnya, bukan cacat inderanya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa inggris orthophedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacar ortopedi kelaiannya terletak pada aspek otot, tulang, dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.
Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.
Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, akibat luka, penyakit atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo, 1977). Sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan khusus. (Kneedler, 1984)
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika mereka mngelami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak disebut dengan cerebral palsy (CP).
Istilah kelainan fisik (physical disability) sebenarnya tidak digunakan, namun kenyataannya definis-definisi tersebut digunkan dalam penerapan IDEA. Istilah yang digunakan dalam undang-undang itu adalah kelainan ortopedi (orthopedic impairment) dan kelainan kesehatan lain (other health impairment).
Istilah ini didefinisikan sebagai berikut: dalam Federal Register kelainan ortopedi berarti suatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai efek merugikan pada prestasi pembelajaran anak. Istilah ini meliputi gangguan yang disebabkan kelainan bawaan (misalnya hilang salah satu anggota tubuh).
Kelainan kesehatan lain berarti memiliki keterbatasan kesehatan, vitalitas atau kewaspadaan yang disebabkan oleh masalah-masalah kesehatan yang akut misalnya penyakit jantung, tuberculosis, reumatik, radang ginjal, keracunan tubuh, leukimia atau diabetes yang mengakibatkan merugukan pada prestasi pendidikan si anak (federal register, 1990).
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebgai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak yangpenyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun syaraf-syarafnya.
Istilah tunadaksa maksudnya sema dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A Krik (1986) yang dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991:3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah.sebagai contoh anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti pendidikan jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak termasuk penyandang gerakan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyeakit kronis) sering kambuh secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).

B.     Klasifikasi Tunadaksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam, yaitu:
a.       Dari sistem kelainannya
1.      Kelainan pada sistem cerebral (cerebral systemi)
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy  atau kelumpuhan otak.
·         Menurut derajat kecacatannya, serebral palsy diklasifikasikan menjadi (1) ringan, dengan ciri dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2) sedang, dengan ciri membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan (3) berat, dengan ciri membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, berbicara dan menolong diri.
·         Menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas: (1) Spastik, denagn ciri terdapat kekuatan pada sebagian atau seluruh ototnya. Anak yang mengalami spastic ini menunjukkan kekejangan pada otot-ototnya, yang disebabkan oleh gerakan-gerakan kaku dan akan hilang dalam keadaan diam misalnya waktu tidur. Pada umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam keadaan marah atau dalam keadaan tenang; (2) Dyskenisia yang melipiputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol); (3) Rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), anak cerebral palsy jenis ini mengalami kekakuan otot-otot; (4) Tremor (getaran kecil yang terus-menerus pada mata, tangan atau pada kepala); (5) Athetoid, tidak mengalami kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat bergerak dengan mudah, malah sering terjadi gerakan-gerakan yang tidak terkendali yang timbul di luar kemampuannya. Hal ini sangat mengganggu dan merepotkan anak itu sendiri. Gerakan ini terdapat pada tangan, kaki, lidah, bibir, dan mata (6) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi); (7) jenis Campuran (seorang anak mempunyai kelainan 2 atau lebih dari tipe-tipe diatas).
2.      Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system)
·    Poliomyelitis
Merupakan suatu infeksi pada susmsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, sekumpulan anak polio dapat dibedakan menjadi: (1) Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan , dan kaki; (2) Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan; (3) Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antaa tipe spinar dan bulbair; (4) Encephalitis Yng biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang. Kelumpuhan pada folio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah ootot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang keluar dari dudukannya), lutut melinting kebelakang (genu recorvatum).
·         Muscle Dystropy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
·         Spina Bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya 1 atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesarab pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunadaksaan.

C.    Penyebab Tunadaksa
Ada beberapa macam sebab yang menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sisitem musculus skeletal.
Adanya keberagaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan tumbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1.      Sebelum Lahir (Fase Prenatal), kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh:
a.       Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya. Misalnya, infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
b.      Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c.       Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d.      Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
2.      Saat Lahir (Fase Natal), hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:
a.       Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b.      Pemakaian alat bentu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf pada otak bayi.
c.       Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kalainan struktur ataupun fungsinya.
3.      Sesudah Lahir (Fase Post Natal). Fase sesudah kelahiran adalah masa mualai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi dilahirkan adalah:
a.       Faktor penyakit, seperti menginitis (radang selaput otak), encephalis (radang otak), influenza, diphtheria, partusis dan laiannya.
b.      Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras, terjaduh dari tempat yang berbahaya bagi tubuh, khususnya bagian kepala yang melindungi otak.
c.       Pertumbuhan tubuh/tulang yang tidak sempurna.

D.    Karakteristik Tunadaksa
Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan dan Kauffman, 1991).
Keadaan anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati secara seksamasumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk beraktifitas atau mobilitas akan nampak perbedaannya.
1.      Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (Tunadaksa), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya mempunyai kecerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya P.Siebel (1984:138) mengemukakakn bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan presepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan presepsi terjadi karena syaraf penghubung dan jaringan syaraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses presepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak opleh syaraf sensoris, kemidian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta pada akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui prespsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi dosebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.
2.      Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar. Kehadiran anak cacat yang tidak doterima oleh orang tua disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan anak tunadaksa dapat menimbulkan problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3.      Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasabya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan ole kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lifah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan berbicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran namun tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerak tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atar hyperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerak lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan serta tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, meggambar, dan menari.

E.     Alat Pendidikan Tunadaksa
Alat bantu belajar yang sering digunakan oleh anak tunadaksa meliputi; kursi roda, walker, crutch, splint, brace, prothesa kaki atau tangan, alat tulis modofikasi, dan alat makan modifikasi.
1.      Kursi Roda (Wheel Chair)
Kursi roda digunakan pada anak tunadaksa yang betul-betul mengalami lemah otot kaki dan perut yang tidak ada kemungkinan untuk dilatih berdiri atau berjalan.
Menurut bentuknya ada 2 macam kursi roda, yaitu;
a.       Kursi roda yang roda besarnya dibelakang, dapat masuk kolong mendakati tempat tidur, jadi mudah berpindah tempat sehingga tempat tidurnya harus lebih tinggi dari kursi roda.
b.      Kursi roda yang roda besarnya di depan, mudah berputas sitempat yang sempit.
Syarat-syarat yang diperlukan agar dapat mandiri di kursi roda adalah:
1)      Latihan duduk seimbang, dengan bentuk latihannya sebgai berikut:
·         Posisi duduk dalam kursi roda, tangan dua-duanya diangkat lurus kedepan lalu supinasi,
·         Abduksi setinggi bahu, tangan pronasi dan supinasi,
·         Kedua tangan diangkat ke atas dan ke bawah,
·         Kedua tangan abduksi, miring ke kiri dan ke kanan kemudian maju ke depan dan ke belakang.
2)      Push-up, caranya kedua tangan berpegangan pada kursi roda, tekan tangan dan badan di angkat ke atas.
3)      Menyilangkan kaki bergantian kiri dan kanan
Tujuan pemakaian kursi roda adalah untuk:
a.       Membantu mobilisasi
b.      Membantu melaksanakan kegiatan sehari-hari
c.       Memperlancar komunikasi
2.      Crutch
Dipergunakan untuk anak tunadaksa yang menggunakan dobel brace pada kakinya. Crutch digunakan dengan tujuan sesuai dengan kelainannya. Misalnya untuk penderita poliomyelitis, bertujuan sebagai penahan dan penguat seluruh badan serta membantu berjalan sedangkan untuk yang amputasi, bertujuan sebagai alat sementara sebelum menggunakan protase untuk alat berjalan dan membantu kegiatan hidup sehari-hari.
Dalam berjalan menggunakan crutch diperlukan otot-otot tangan yang kuat untuk menyangga berat badan, karena berat badan ditekankan pada pegangan crutch yaitu di telapak tangan jangan di ketiak karena otot-otot bahu menjadi cepat besar.
Teknik berjalan dengan crutch, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1)      posisi tripod, yaitu ujung kedua crutch disamping badan agak kedepan dan kedua kaki agak ke belakang.
2)      Angkat-angkat kaki dan turunkan agar seimbang.
3)      Melangkah ke depan dengan bermacam-macam hitungan/teknik:
a.       Four point alternate crutch gait, artinya 4 langkah yaitu cructh kanan ke depan diikuti kaki kanan bergantian.
b.      Tripod alternate gait, artinya 3 langkah yaitu langkah pertama cructh kanan ke depan, diikuti cructh kiri, dua kaki siangkat kedepan jatuhkan badan.
c.       Tripod stimulataneous cructh gait, yaitu kedua cructh maju ke depan kemudian angkat kedua kaki jatuhkan badan.
d.      Two point alternate crutch gait, artinya dua langkah yaitu crutch kanan dan kaki kiri melangkah kemudian crutch kiri dan kaki kanan di angkat bersamaan.
e.       Wsinging crutch gait, yaitu kedua crutch ke depan, kemudian melompat kaki sejajar dengan crutch.
f.       Swinging throught crutch gait, yaitu kedua crutch ke depan kemudian ayun kedua kaki sampai melewati crutch.
g.      Shuffle stimultaneous gait, yaitu crutch bersama-sama ke depan kedua kaki di seret.
3.      Splint
Splint atau spalk adalah alat untuk meletakkan anggota tubuh dalam posisi yang benar atau menjaga jangan sampai anggota tubuh yang sakit terjadi salah bentuk. Pemakaian splint sebaiknya dilakukan dalam 24 jam terus menerus, atau disesuaikan dengan kondisi pasien. Tujuan menggunakan splint adlah untuk mencegah salah bentuk, memabantu manahan dan menguatkan kaki untuk berjalan, mencegah kontraktur, megoreksi pada posisi anggota tubuh yang benar/normal. Ada beberapa jenis splint, antara lain: (1) Splint tangan, contohnya cock up spilnt dan hand rest splint; (2) Splint kaki, contohnya back splint dan night splint.
4.      Walker
Alat bantu untuk latihan berjalan, bentuknya ada yang lingkaran, dan ada yang segi empat, ada yang dipasang roda dan ada yang tidak.
5.      Brace
Alat yang dipakai anak untuk penopang kaki terbuat dari alumunium dan dihubungkan dengan sepatu untuk berjalan. Ada yang sepanjang kaki (long leg brace) dan ada yang hanya sebatas lutut (short leg brace).
6.      Prothese Kaki atau Tangan
Alat palsu yang berbentuk kaki atau tangan, gunanya untuk mengganti fungsi kaki atau tangan yang hilang.
7.      Alat-Alat Tulis Moodifikasi
Alat-alat tulis yang pegangannya diperbesar (dibungkus dengan karet atau sapu tangan) agar mudah dipegang oleh anak cerebral palsy.
Adapun head pointer, adalah alat menulis yang dipakan di kepala, jadi menulisnya dengan gerakan kepala. Diperuntukkan bagi anak yang tidak punya tangan.
8.      Alat-Alat Makan Modifikasi
Sendok modifikasi, pegangan sendoknya diperbesar atau dibungkus dengan karet/sapu tangan agar mudah dipegang. Ujung sendoknya dibengkokkan ke arah mulut agar tinggal mendorong maju untuk memudahkan gerakan menyuap.
Piring modifikasi, piringnya dipasang pembatas agar nasi tidak berceceran ke luar pada saat disendok.
Cangkir modifikasi, lubang cangkirnya dibuat lebih besar agar mudah dipegang.

F.     Dampak Ketunadaksaan
Karakteristik anak tunadaksa mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jeniis dan derajat keturunannya.
Jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tungkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan kecacatan. Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan.
Disamping karakteristik tersebut terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa antara lain:
a.       Kelainan perkembangan/intelektual
b.      Gangguan pendengaran
c.       Gangguan penglihatan
d.      Gangguan taktik dan kinestetik
e.       Gangguan persepsi
f.       Gangguan emosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar