TUNARUNGU
1.
Pengertian
Tuna Rungu
Tuna
rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengaranya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak
terhadap kehidupannya secara kompleks.
Tuna rungu merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami oleh
seseorang. Secara umum tunarungu dikategorikan kurang dengar dan tuli,
sebagimana yang diungkap Hallahan dan Kauffman (1991:26) bahwa Tunarungu adalah
suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar yang meliputi
keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan
ke dalam tuli dan kurang dengar.
Orang tuli adalah seseorang yang
kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa
melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar,
sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran”.
Pengertian mengenai tunarungu juga
sangat beragam, yang semuanya mengacu pada keadaan atau kondisi pendengaran
anak tunarungu.Menurut Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketunarunguan di
Bandung (1988:8) dalam Permanarian Somad dan Tati H (1996:27) menyatakan bahwa
“Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama
melalui pendengaran”. Dalam www.dit.plb.or.id bahwa anak tunarungu adalah anak
yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran
yang bervariasi antara 27dB-40dB (sangat ringan), 41dB-55dB (ringan), 56dB-70dB
(sedang), 71dB-90dB (berat) dan 91 dB ke atas dikatakan tuli.
2.
Klasifikasi
Tuna Rungu
Pada
umumnya klasifikasi anak tuna rungu dibagi atas dua golongan atau kelompok
besar yaitu tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah seseorang yang mengalami
kehilangan kemampuan mendengar sehingga membuat proses informasi bahasa melalui
pendengaran, baik itu memaki atau tidak memakai alat dengar. Kurang dengar
adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar,
akan tetapi ia masih mempunyai sisa
pendengaran dan pemakaian alat Bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta
membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Klasifikasi
anak tuna rungu menurut Samuel A. Kirk :
1. 0
db : Menunjukan pendengaran yang optimal.
2. 0
– 26 db : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang optimal.
3. 27
– 40 db : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi – bunyi yang jauh, membutuhkan
tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara.( tergolong
tuna rungu ringan)
4. 41
– 55 db :Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara. ( tergolong tuna rungu sedang
)
5. 56
– 70 db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih punya sisa
pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat Bantu
dengar serta dengan cara yang khusus. (tergolong tuna rungu berat )
6. 71
– 90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang di
anggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat
Bantu dengar dan latihan bicara secara khusus.( tergolong tuna rungu berat )
7. 91
db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung
pada penglihatan dari pada pendengaran untuki proses menerima informasi dan
yang bersangkutan diangap tuli( tergolong tuna rungu berat sekali )
3.
Penyebab
Ketunarunguan
Banyak
faktor yang menyebkan seseorang mengalami ketunarunguan, sebagaimana di
ungkapkan dalam buku petunjuk praktis
penyelenggaraan Sekolah Luara Biasa bagian B atau tuna rungu, Depdikbud (1985:
23) mengemukakan bahwa :
a.
Sebelum anak dilahirkan atau masih dalam kandungan (masa prenatal)
b.
Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (neo natal).
c.
Sesudah anak dilahirkan (post natal).
Penyebab ketunarunguan tersebut dijabarkan
sebagaiberikut :
1. Masa Prenatal adalah Pada masa prenatal
pendengaran anak menjadi tuna rungu disebakan oleh:
a.
Faktor keturunguan atau hereditas
Anak mengalami tuna rungu sejak di dilahirkan
Karena ada di antara keluarga ada yang tuna rungu genetis akibat dari rumah si
putri tidak berkembang secara normal, dan ini kelainan corti ( selaput –
selaput ).
b.
Cacar air, campak (rubella, german
measles)
Pada waktu ibu sedang mengandung menderita
penyakit campak, cacar air, sehingga anak yang di lahirkan menderita tunarungu
mustism ( tak dapat bicara lisan )
c. Toxamela (keracunan darah)
Apabila ibu sedang mengandung menderita
keracunan darah (toxameia) akibatnya placenta menjadi rusak.Hal ini sangat
berpengaruh pada janin.Besar kemungkinan anak yang lahir menderita tuna
rungu.Menurut Audio metris pada umumnya anak ini kehilangan pendengaran 70-90
dB.
d.
Penggunaan obat pil dalam jumlah besar
Hal ini akibat menggugurkan kandungan
dengan meminum banyak obat pil pengggugurkan dengan, tetapi kandunganya tidak
gugur, ini dapat mengakibatkan tuna rungu pada anak yang dilahirkan, yaitu
kerusakan cochlea.
e. Kelahiran
premature
Bagi bayi yang dilahirkan premature,
berat badanya di bawah normal, jaringan-jaringan tubuhnya lemah dan mudah
terserang anoxia (kurangnya zat aasam). Hal ini merusak inti cochlea (cochlear
nuclei)
f.
Kekurangan Oksigen (anoxia)
Anoxia dapat mengakibatkan kerusakan pada inti brain
system dan bagal gang lia.Anak yang dilahirkan dapat menderita tuna rungu pada
taraf berat.
2. Masa Neo Natal
a. Faktor
rhesus ibu dan anak tidak sejenis.
Manusia selain mempunyai jenis darah
A-B-AB-0.Juga mempunyai jenis darah factor rhpositif dan negative. Kedua jenis
rhter sebut masing-masing normal.Tetapi ketidak cocokan dapat terjadi apabila
seseorag perempuan ber-rhnegatif kawin dengan seseorang laki-laki
ber-rhpositif, seperti ayahnya tidak sejenis dengan ibunya. Akibat sel-sel
darah itu membentuk anti body yang justru merusak anak.Akibatnya anak menderita
anemia (kurang darah) dan sakit kuning setelah dilahirkan, hal ini dapat
berakibat anak menjadi kurang pendengaran.
b. Anak
lahir premature atau sebelum 9 bulan dalam kandungan.
Anak
yang dilahirkan prematur, mempunyai gejala-gejala yang sama dengan anak
yang rhnya tidak sejenis dengan rhibunya, yaitu akan menderita anemia dan mengakibatkan
anoxia.
3.
Post Natal
·
Sesudah anak lahir dia menderita infeksi
misalnya campak (measles) infection atau anak terkena syphilis sejak lahir
karena ketularan orang tuanya. Anak dapat menderita tunarungu perseptif. Virus
akan menyerang cairan cochlea.
·
Meningitis (peradangan selaput otak) Penderita
meningitis mengalami ketulian yang perseptif, biasanya yang mengalami kelainan
ialah pusat syarf pendengaran.
·
Tuli perseptif yang bersifat keturunan.
Ketunarunguan ini akibat dari keturunan orang tuanya
·
Otitis media yang kronis. Cairan otitis
media yang kekuning-kuningan menyebakan kehilanagn pendengaran secara
konduktif. Pada secretory media akibatnya sama dengan kronisatitis media, yaitu
keturunan konduktif
·
Terjadi infeksi pada alat-alat
pernafasan. Infeksi pada alat-alat pernafasan, misalnya pembesaran tonsil
adenoid dapat menyebabkan ketunarunguan konduktif (media penghantar suara tidak
berfungsi).
·
Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
alat-alat pendengaran bagian dalam Dari beberapa faktor yang telah dijabarkan
di atas dapat lah ditarik kesimpulan bahwa penyebab ketunarunguan tidak saja
dari factor dalam individu seperti ketunarunguan dari orang tua atupun pada
saat ibu mengandung terserang penyakit. Tetapi faktor di luar diri individu
mempunyai peluang yang mengakibatkan seseorang mengalami ketunarunguan, seperti
infeksi peradangan dan kecelakaan.
4.
Karakteristik
ketunarunguan
1.
Karakteristik anak tunarungu dalam aspek
akademik Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan
anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran
yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non
verbal dengan anak normal seusianya.
2.
Karakteristik
anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
1. Pergaulan terbatas dengan sesama
tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
2. Sifat ego-sentris yang melebihi anak
normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi
berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menye-suaikan diri, serta
tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus
selalu dipenuhi.
3. Perasaan takut (khawatir) terhadap
lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang
percaya diri.
4. Perhatian anak tunarungu sukar
dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
5. Memiliki sifat polos, serta
perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
6. Cepat marah dan mudah tersinggung,
sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan
perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang
lain.
3. Karakteristik tunarungu dari segi
fisik/kesehatan adalah sebagai berikut. Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika
organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu); gerak matanya
lebih cepat; gerakan tangannya cepat/lincah; dan pernafasannya pendek;
sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang yang normal
lainnya.
4. Karakteristik dalam segi
bicara/bahasa, meliputi:
a. biasanya individu yang tunarungu
juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa,
b. tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c. anak tunarungu miskin dalam kosakata,
d. mengalami kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak,
e. dia kurang menguasai irama dan gaya bahasa, dan
f. dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
b. tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c. anak tunarungu miskin dalam kosakata,
d. mengalami kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak,
e. dia kurang menguasai irama dan gaya bahasa, dan
f. dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
.
5.
Alat
pendidikan tuna rungu
Alat Pendidikan Khusus
Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka
sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih
dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan
menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.
Kebutuhan
minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu
antara lain:
1) Audiometer
Yaitu alat
penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan
audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari
sisa pendengaran anak.
2) Alat bantu mendengar (hearing aid)
Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid)
perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak
tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan
secara individual atau secara kelompok.
3) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan
artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat
menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan
cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata
atau kalimat dengan baik.
4) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri
dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan
bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan
sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit
akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
5) Telephone-typewriter
Telephone-typewriter atau
mesin tulis telepon merupakan alat bantu bagi anak tunarungu yang memungkinkan
mereka mengubah pesan-pesan yang diketik menjadi tanda-tanda elektronik yang
diterjemahkan secara tertulis (huruf tercetak).
Mesin tulis telepon terdiri dari telepon yang
dilengkapi dengan alat pendengar, lampu kedap-kedip sebagai tanda panggilan,
mesin tulis, komputer, dan amplifier. Mesin tulis ini memungkinkan perubahan
pesan suara yang masuk ke dalam komputer dan mengubah tanda-tanda elektronik
dan bunyi pada frekuensi yang berlainan yang kemudian disampaikan melalui
telepon dan diubah kembali menjadi huruf tercetak yang dapat dimengerti oleh
anak tunarungu.
6) Mikrokomputer
Mikrokomputer merupakan alat bantu khusus
yang dapat memberikan informasi secara visual. Alat bantu ini sangat membantu
bagi anak tunarungu yang mengalami kelainan pendengaran berat. Keefektifan
penggunaan mikrokomputer tergantung pada softwere dan materinya harus
dapat dimengerti oleh anak tunarungu. Disamping itu anak tunarungu harus bisa
membaca atau paling tidak mampu mengintepretasikan simbol-simbol yang
digunakan.
Manfaat penggunaan mikrokomputer bagi anak
tunarungu antara lain:
1.
Anak
tunarungu dapat belajar mandiri, bebas tetapi bertanggung jawab
2.
Anak
tunarungu dapat belajar membuat program, memprogram materi pelajaran, dan
mendemonstrasikannya.
3.
Anak
tunarungu dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan menggunakan
mikrokomputer
4.
Anak
tunarungu dapat berkomunikasi interaktif dengan informasi yang ada dalam program
mikrokomputer.
7) Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tapes,
TV. Penggunaan audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu,
karena mereka dapat memperhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam
kemampuan mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film
pendidikan, film ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan
bahasa isyarat.
8) Tape Recorder
Tape
recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil ucapan
yang telah direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa lisan
anak tunarungu dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Selain itu, tape
recorder sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan kelainan
bicaranya, sehingga guru artikulasi lebih mudah membimbing mereka dalam
memperbaiki kemampuan bicara mereka.
Tape
recorder dapat pula digunakan untuk mengajar tunarungu
yang belum bersekolah dalam mengenal gelak-tawa, suara-suara hewan, perbedaan
antara suara tangisan dengan suara omelan, dan sebagainya.
9) Spatel
Spatel adalah alat bantu
untuk membetulkan posisi organ bicara, terutama lidah. Spatel digunakan untuk
menekan lidah, sehingga kita dapat membetulkan posisi lidah anak tunarungu.
Dengan posisi lidah yang benar mereka dapat bicara dengan benar.
6.
Dampak ketunarunguan
Meadow
(1976), Myklebust (1953) menyatakan bahwa, “ yang ditimbulkan karena hilangnya
kemampuan mendengar (tunarungu) adalah terhambatnya komunikasi dengan dan
diantara kaum tunarungu serta lingkungannya. Lebih berat lagi apabila seseorang
mengalami ketunarunguan sejak lahir, ia tidak akan mengembangkan kemampuan
berbahasanya secara spontan, sehingga dalam usaha untuk bermasyarakat akan
timbul berbagai permasalahan seperti aspek sosial, emosional dan mental.
Lebih
rinci, Boothroyd (1980) menyatakan ketunarunguan sebagai kelainan primer yang
bersifat motoris (fisik), dapat mengakibatkan terjadinya kelainan sekunder
(dampak) pada berbagai aspek kehidupan dan perkembangan Anak Tunarungu, yaitu
dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, fungsi sosial, emosi, kognitif,
dan sebagainya. Selain berbagai dampak tersebut di atas, ketunarunguan akan
berdampak juga terhadap proses perkembangan pendidikan (proses belajar) dan
lebih jauh lagi adalah kurangnya peluang atau sempitnya kesempatan dalam mencari
pekerjaan.
Berdasarkan
uraian/pengantar di atas, maka hambatan yang dialami anak tunarungu, terutama
hambatan belajar tidak akan lepas dari dampak ketunarunguan, yaitu:
1. Hambatan Penguasaan Bahasa dan
Komunikasi
Ketunarunguan tidak hanya mengakibatkan tidak berkembangnya
kemampuan berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adalah terjadinya
kemiskinan bahasa (Van Uden, 1977; Meadow, 1980).Leigh (1994), memperjelas
bahwa dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara
keseluruhan. Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi Anak Tunarungu
berat, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu
benda, kegiatan, peristiwa dan perasaan serta tidak akan (sulit) memahami
aturan atau sistem bahasa yang berlaku dan digunakan oleh lingkungannya. Oleh
karena itu dari berbagai dampak yang ada akan menimbulkan hambatan yang
kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Lebih lanjut Leigh (1994)
mengemukakan bahwa masalah utama kaum tunarungu buka terletak pada tidak
dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan melainkan akibat hal tersebut
terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka
tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa.Secara lebih
spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau “nama” yang
digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan
perasaan serta tidak memahami aturan/system/tata bahasa. Keadaan ini terutama
diderita anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini
(tuli pra bahasa).
Van Uden (1997) menjelaskan proses
penguasaan bahasa seseorang (pendengaran normal) sejak lahir sampai menguasai
bahasa adalah sebagai berikut:
·
Tahap
prelingual (pra bahasa) sejak lahir sampai usia 1,6 tahun merupakan masa
sebelum kemampuan berbahasa berkembang, walaupun anak menggunakan tanda tanda
(signal) tertentu seperti menangis, menunjuk dan mulai memahami lambang yang
digunakan lingkungan sekitar, namun mereka sendiri belum mengembangkan suatu
sistem lambang.
·
Tahap
interlingual (antar-bahasa) merupakan masa antara, dimana anak mulai
mengembangkan suatu sistem lambang yang sebagian sudah sama dengan sistem
lambang yang digunakan lingkungannya namun untuk sebagian masih berbeda.
·
Tahap
postlingual (purna-bahasa), sejak usia 3 tahun anak akan makin memahami dan
menerapkan secara tepat aturan bahasa sebagaimana berlaku di lingkungannya
sehingga sewaktu berusia 4 tahun sampai akhir memasuki tahap purna bahasa.
Untuk anak tunarungu yang seusia dengan anak normal meskipun
sudah dididik dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan bahasanya
mengalami perbedaan mencolok. Anak dengar pada usia 4 tahun sudah memasuki
tahap penguasaan bahasa sedangkan bagi anak tuli hal itu baru dicapai pada usia
12 tahun
.
2. Hambatan dalam Perkembangan
Kognitif dan Daya Pikir
Inteligensi anak tunarungu secara
potensial pada umumnya sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional
perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, 1964,
dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi
anak akibat ketunarunguan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih
luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsional juga
terhambat. Hal ini mengakibatkan anak tunarungu kadang-kadang menampakkan
keterlambatan dalam belajar dan menampakkan keterbelakangan mental.
Cruickshank yang dikutip Siregar
(1981:6) mengatakan bahwa: “ anak-anak tunarungu sering memperlihatkan
keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak
hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak, tetapi
juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta
dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk
mengembangkan kecerdasan itu”.
Pendapat lain yang mendukung
pernyataan di atas adalah pernyataan Rittenhouse yang dikutip Hallahan &
Kauffman, (1998:285) adalah sebagai berikut: “ … karena anak tunarungu
berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas
yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara kognitif
kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu bukanlah
karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi sebenarnya kesulitan dalam
bahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kognitif anak
tunarungu”.
Keterlambatan atau prestasi rendah
kaum tunarungu dalam mengerjakan tugas dimana dituntut penalaran dengan bahasa
bukan berarti potensi kecerdasan atau inteligensi mereka rendah. Bila kesulitan
dalam penyampaian instruksi pada tes kecerdasan dapat diatasi dan perangkat tes
yang digunakan bersifat non verbal yaitu tidak menuntut kemampuan berbahasa
lisan maka kaum tunarungu menunjukkan penyebaran angka kecerdasan yang normal
artinya sebagian besar diantara mereka akan berada pada taraf rata-rata
(Myklebust, 1964; Furth, 1966).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan
bahwa dalam mengerjakan tugas (berdasarkan tahapan perkembangan kognitif
Piaget), anak tunarungu (tuli) dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak
mendengar bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi seperti
misalnya seriasi. Namun bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan
persepsi (seperti pada tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi
visual akan mengakibatkan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap
operasional konkrit dan formal menuntut daya abstraksi dan penalaran yang
memerlukan kemampuan bahasa yang memadai, prestasi mereka akan makin
memprihatinkan.
Implikasinya adalah dengan
mengadakan perubahan dalam petunjuk tugas, memberikan lebih banyak keterangan
daripada yang dilakukan terhadap anak mendengar, penampilan anak tunarungu
dapat diperbaiki dalam arti memperkecil perbedaannya dengan prestasi anak
mendengar.Maka Furth menyimpulkan bahwa keterlambatan anak tunarungu dalam
bidang kognitif lebih disebabkan kurangnya pengalaman dalam dunia nyata dan
bahwa hal ini secara tidak langsung merupakan akibat kemiskinan bahasanya yang
membatasi mereka dalam kesempatan mengembangkan interaksi dan dengan demikian
membatasi pengalamannya pula.
3. Hambatan Emosi dan Penyesuaian
Sosial
Keterbatasan
dalam berkomunikasi sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku. Meadow
(1987) yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1991:71) menyatakan bahwa:
inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak-anak
tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada anak-anak normal.
Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius diteliti,
mereka menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa control dalam
diri, impulsive dan keras kepala”.
Hambatan belajar yang dihadapi anak
tunarungu sebagai dampak terhambatnya perkembangan emosi dan penyesuaian social
tidak akan terlepas dari keberfungsian kedua aspek tersebut yang saling
berhubungan. Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya,
dan fungsi sosial adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang
lain dalam situasi sosial (Boothroyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa
pendengaran memegang peran yang signifikan dalam perkembangan awal emosisosial
namun bukan esensial.Sedangkan pada tahap perkembangan yang lebih lanjut
bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial.
Beberapa sifat dan ciri sebagai
konsekuensi dan dampak terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak
tunarungu menurut Van Uden (1971) dan Meadow (1976, 1980) adalah:
1. Sifat egosentris yang lebih besar
daripada anak mendengar. Karena dunia penghayatan mereka lebih sempit, maka
anak tuli akan lebih terarah kepada diri sendiri, sehingga mereka sukar
menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan kurang
menyadari/peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya
dikuasai perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar menyesuaikan diri.
Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam perkembangan kontak dan
interaksi sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk mengkristalisasikan dan
menstruktur pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula
kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan memperkuat sifat
egosentris ini.
2. Memiliki sifat impulsive, yaitu
tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang jelas dan matang, serta
tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa
yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sukar bagi mereka
untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang.
Dalam membuat rencana jangka panjang diperlukan kemampuan untuk memikirkan atau
membayangkan berbagai kemungkinan di masa datang berdasarkan masa kini. Justru
dalam hal inilah mereka kekurangan karena kurang mempunyai konsep tentang
relasi/hubungan.
3. Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku atau
kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Hal ini disebabkan oleh
sempitnya bidang penghayatan dan berpikir sebagai akibat ketulian dan
kemiskinan bahasa.Pikiran dan perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret
saja.Menurut Meadow (1980) hal ini dapat menyebabkan suatu ketidakmampuan untuk
mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situasi atau kejadian. Erat kaitannya
dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkan pengertian tentang hubungan
sebab akibat baik dalam lingkungan fisik maupun social dan kesulitan dalam
memahami alasan atau sebab dari suatu kejadian.
4. Sifat lekas marah atau tersinggung
Karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu tidak dapat
menjelaskan atau mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebaliknya kurang
dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyebabkan
kekecewaan, ketegangan, dan frustrasi yang diekspresikan secara aktif dan
agresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan sikap malu-malu, ragu-ragu dan
menarik diri. Kedua sikap yang berlawanan ini banyak bergantung dari reaksi
orangtua/pendidik terhadap kemampuan anak sehingga terbentuknya konsep diri
yang negatif pada anak, pada akhirnya dapat menghambat proses kegiatan belajar
di kelas. Meadow (1980) menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi
sejalan dengan perkembangan social seorang anak. Berdasarkan reaksi atau sikap
orang lain dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan terbentuk
pandangan terhadap diri sendiri.
7.
Kompensantoris
ketunarunguan
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal
31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan
berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)
dalam pendidikan tak terkecuali anak tunarungu.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas
inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi,
sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa
yang cukup
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan
anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping
3. Guru regular hendaknya memahami
karakteristik anak tunarungu
4. Guru regular mampu menggunakan
prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip
keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip
kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus
kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung
bagi anak berkebutuhan khusus
Jika persyaratan diatas telah
dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu
dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah
pembelajaran bahasa. Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,
hendaknya memiliki ruang BKPBI (Bina komunikasi persepsi bunyi dan irama)
sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya.
Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin
berkembang.
Guru berlatar belakang pendidikan
luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak
tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara. Untuk itu sekalipun berada di kelas
inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan (BKPBI dan Bina Wicara)
BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus
hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi
dengan baik dan benar.
A.
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama
Manusia yang berpendengaran normal
memiliki latar belakang bunyi-bunyian yang memberikan arti yang sangat penting
bagi kejiwaan manusia. Dengan adanya latar belakang bunyi-bunyian ini manusia
akan mempunyai kontak terus menerus dengan orang dan alam sekitar. Keadaan ini
membuat manusia merasa aman dan memperkaya penghayatan terhadap segala sesuatu
yang dialaminya. Anak tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang
seperti anak normal tetapi bukan berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh
bunyi yang ada. Kebanyakan anak tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada
daerah nada tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang masih mempunyai banyak
sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk anak
tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati
bunyi-bunyian lewat perasaan vibrasinya.
Anak tunarungu totalpun masih mampu
mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar akan adanya bunyi dengan
secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu mengalami pengamatan
bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa mereka,
suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis sehingga
mereka akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal. Berkat kemajuan teknologi
derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia yang sangat
dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan saat
bayi masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu dapat
digolongkan menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan teknologi juga ditandai
dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari tahun ketahun semakin
sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak. Penemuan ABM ini
dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan latihan yang
teratur dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan mendengar
dimasukkan dalam program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina komunikasi
persepsi bunyi dan irama (BKPBI).
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan
Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi
yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk
berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi..
Materi
pokok yang telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara
lain adalah:
a. bunyi-bunyi latar belakang
b. sifat bunyi
ü ada tidak ada bunyi
ü panjang pendek bunyi
ü keras lembut
ü cepat lambat
ü tinggi rendah
c. sumber bunyi
d. bunyi yang dapat dihitung
e. arah bunyi
f. macam-macam gerak dasar
g. macam-macam gerak berirama
h. lambang-lambang sifat bunyi
i.
lambing-lambnag titik nada dalam
notasi music
j.
tanda-tanda
notasi music
k. pengenalan macm-macam alat musik
l.
cara
memainkan macam-macam alat music
m. notasi music
n. persepsi bunyi bahasa
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan
diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak
tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar
lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan
latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah
bahasa yang sudah dimilkinya lalu ditunjang dengan latihan BKPBI dan Bina
Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa
memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia
dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi
penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua
kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan
pembelajaran bahasa dengan didukung BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di
kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah
inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya
yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus
mendiskriminasikannya.
8. Layanan bimbingan bagi anak tuna rungu
1. Jenis
layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan
pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan umum dan khusus.
a. Layanan umum
Layanan umum
merupakan layanan pendidikan yang biasa diberikan kepada anak mendengar atau
normal yang meliputi layanan akademik, latihan dan bimbingan. Layanan akademik
bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan layanan akademik bagi anak
mendengar, yaitu mencakup mata-mata pelajaran yang biasa diberikan di SD biasa,
tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ciri khas
layanan bagi anak tuna rungu. Layanan bimbingn trutama diperlukan dalam
mengatasi dampak kelainan terhadap aspek psikologisnya, serta pengembangan
sosialisai siswa.
b. Layanan
khusus
Layanan
khusus merupakan layanan yang khusus diberikan kepada anak tunarungu dalam
mengurangi dampak ketunarunguannya atau
melatih kemampuan yang masih ada, yang meliputi layanan bina bicara serta
layanan bina persepsi bunyi dan irama.
c. Layanan bina
bicara
Layanan bina bicara merupakan
layanan upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, agar dapat dimengerti atau
diinterpretasika oleh orang yang mengajak atau diajak bicara.
Latihan bina bicara bertujuan antara
lain agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan yang benar sehingga dapat
dimengerti orang lain, memberi keyakinan pada anak tuna rungu bahwa bunyi atau
suara yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus mempunyai makna,
membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya, serta memfungsikan
organ-organ bicaranya yang kaku.
d. Layanan bina
persepsi bunyi dan irama
Layanan bina persepsi bunyi dan
irama merupakan layanan untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui
sisa pendengaran atau merasakan vibrasi ( getaran bunyi ) bagi siswa yang hanya
memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar