Kamis, 29 Desember 2016

Tunarungu



TUNARUNGU

1.     Pengertian Tuna Rungu
Tuna rungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Tuna rungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami oleh seseorang. Secara umum tunarungu dikategorikan kurang dengar dan tuli, sebagimana yang diungkap Hallahan dan Kauffman (1991:26) bahwa Tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar.
Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar, sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran”.
Pengertian mengenai tunarungu juga sangat beragam, yang semuanya mengacu pada keadaan atau kondisi pendengaran anak tunarungu.Menurut Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung (1988:8) dalam Permanarian Somad dan Tati H (1996:27) menyatakan bahwa “Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama melalui pendengaran”. Dalam www.dit.plb.or.id bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi antara 27dB-40dB (sangat ringan), 41dB-55dB (ringan), 56dB-70dB (sedang), 71dB-90dB (berat) dan 91 dB ke atas dikatakan tuli.

2.     Klasifikasi Tuna Rungu
Pada umumnya klasifikasi anak tuna rungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar sehingga membuat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik itu memaki atau tidak memakai alat dengar. Kurang dengar adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan  tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat Bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Klasifikasi anak tuna rungu menurut Samuel A. Kirk :
1.      0 db : Menunjukan pendengaran yang optimal.
2.      0 – 26 db : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang optimal.
3.      27 – 40 db : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi – bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara.( tergolong tuna rungu ringan)
4.      41 – 55 db :Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara. ( tergolong tuna rungu sedang )
5.      56 – 70 db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat Bantu dengar serta dengan cara yang khusus. (tergolong tuna rungu berat )
6.      71 – 90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang di anggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat Bantu dengar dan latihan bicara secara khusus.( tergolong tuna rungu berat )
7.      91 db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuki proses menerima informasi dan yang bersangkutan diangap tuli( tergolong tuna rungu berat sekali )

3.     Penyebab Ketunarunguan
Banyak faktor yang menyebkan seseorang mengalami ketunarunguan, sebagaimana di ungkapkan dalam   buku petunjuk praktis penyelenggaraan Sekolah Luara Biasa bagian B atau tuna rungu, Depdikbud (1985: 23) mengemukakan bahwa :
a. Sebelum anak dilahirkan atau masih dalam kandungan (masa prenatal)
b. Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (neo natal).
c. Sesudah anak dilahirkan (post natal).

Penyebab  ketunarunguan tersebut dijabarkan sebagaiberikut :
1.       Masa Prenatal adalah Pada masa prenatal pendengaran anak menjadi tuna rungu disebakan oleh:
a.           Faktor keturunguan atau hereditas
Anak mengalami tuna rungu sejak di dilahirkan Karena ada di antara keluarga ada yang tuna rungu genetis akibat dari rumah si putri tidak berkembang secara normal, dan ini kelainan corti ( selaput – selaput ).
b.         Cacar air, campak (rubella, german measles)
Pada waktu ibu sedang mengandung menderita penyakit campak, cacar air, sehingga anak yang di lahirkan menderita tunarungu mustism ( tak dapat bicara lisan )
c.     Toxamela (keracunan darah)
Apabila ibu sedang mengandung menderita keracunan darah (toxameia) akibatnya placenta menjadi rusak.Hal ini sangat berpengaruh pada janin.Besar kemungkinan anak yang lahir menderita tuna rungu.Menurut Audio metris pada umumnya anak ini kehilangan pendengaran 70-90 dB.
d.         Penggunaan obat pil dalam jumlah besar
Hal ini akibat menggugurkan kandungan dengan meminum banyak obat pil pengggugurkan dengan, tetapi kandunganya tidak gugur, ini dapat mengakibatkan tuna rungu pada anak yang dilahirkan, yaitu kerusakan cochlea.
e.       Kelahiran premature
Bagi bayi yang dilahirkan premature, berat badanya di bawah normal, jaringan-jaringan tubuhnya lemah dan mudah terserang anoxia (kurangnya zat aasam). Hal ini merusak inti cochlea (cochlear nuclei)
f.          Kekurangan Oksigen (anoxia)
Anoxia dapat  mengakibatkan kerusakan pada inti brain system dan bagal gang lia.Anak yang dilahirkan dapat menderita tuna rungu pada taraf berat.
2.  Masa Neo Natal
a.       Faktor rhesus ibu dan anak tidak sejenis.
Manusia selain mempunyai jenis darah A-B-AB-0.Juga mempunyai jenis darah factor rhpositif dan negative. Kedua jenis rhter sebut masing-masing normal.Tetapi ketidak cocokan dapat terjadi apabila seseorag perempuan ber-rhnegatif kawin dengan seseorang laki-laki ber-rhpositif, seperti ayahnya tidak sejenis dengan ibunya. Akibat sel-sel darah itu membentuk anti body yang justru merusak anak.Akibatnya anak menderita anemia (kurang darah) dan sakit kuning setelah dilahirkan, hal ini dapat berakibat anak menjadi kurang pendengaran.
b.      Anak lahir premature atau sebelum 9 bulan dalam kandungan.
Anak  yang dilahirkan prematur, mempunyai gejala-gejala yang sama dengan anak yang rhnya tidak sejenis dengan rhibunya, yaitu akan menderita anemia dan mengakibatkan anoxia.
3. Post Natal
·         Sesudah anak lahir dia menderita infeksi misalnya campak (measles) infection atau anak terkena syphilis sejak lahir karena ketularan orang tuanya. Anak dapat menderita tunarungu perseptif. Virus akan menyerang cairan cochlea.
·          Meningitis (peradangan selaput otak) Penderita meningitis mengalami ketulian yang perseptif, biasanya yang mengalami kelainan ialah pusat syarf pendengaran.
·         Tuli perseptif yang bersifat keturunan. Ketunarunguan ini akibat dari keturunan orang tuanya
·         Otitis media yang kronis. Cairan otitis media yang kekuning-kuningan menyebakan kehilanagn pendengaran secara konduktif. Pada secretory media akibatnya sama dengan kronisatitis media, yaitu keturunan konduktif
·         Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan. Infeksi pada alat-alat pernafasan, misalnya pembesaran tonsil adenoid dapat menyebabkan ketunarunguan konduktif (media penghantar suara tidak berfungsi).
·         Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian dalam Dari beberapa faktor yang telah dijabarkan di atas dapat lah ditarik kesimpulan bahwa penyebab ketunarunguan tidak saja dari factor dalam individu seperti ketunarunguan dari orang tua atupun pada saat ibu mengandung terserang penyakit. Tetapi faktor di luar diri individu mempunyai peluang yang mengakibatkan seseorang mengalami ketunarunguan, seperti infeksi peradangan dan kecelakaan.

4.     Karakteristik ketunarunguan
1.      Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya.

2.      Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
1.      Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.
2.      Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya menye-suaikan diri, serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
3.      Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.
4.      Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.
5.      Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
6.      Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
3.      Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut. Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu); gerak matanya lebih cepat; gerakan tangannya cepat/lincah; dan pernafasannya pendek; sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama dengan orang yang normal lainnya.
4. Karakteristik dalam segi bicara/bahasa, meliputi:
a. biasanya individu yang tunarungu juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa,
b. tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c. anak tunarungu miskin dalam kosakata,
d. mengalami kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak,
e. dia kurang menguasai irama dan gaya bahasa, dan
f. dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
.
5.     Alat pendidikan tuna rungu
 Alat Pendidikan Khusus
Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.
Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara lain:
1) Audiometer
Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran anak.
2) Alat bantu mendengar (hearing aid)
Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.
3) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.
4) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
5) Telephone-typewriter
Telephone-typewriter atau mesin tulis telepon merupakan alat bantu bagi anak tunarungu yang memungkinkan mereka mengubah pesan-pesan yang diketik menjadi tanda-tanda elektronik yang diterjemahkan secara tertulis (huruf tercetak).
Mesin tulis telepon terdiri dari telepon yang dilengkapi dengan alat pendengar, lampu kedap-kedip sebagai tanda panggilan, mesin tulis, komputer, dan amplifier. Mesin tulis ini memungkinkan perubahan pesan suara yang masuk ke dalam komputer dan mengubah tanda-tanda elektronik dan bunyi pada frekuensi yang berlainan yang kemudian disampaikan melalui telepon dan diubah kembali menjadi huruf tercetak yang dapat dimengerti oleh anak tunarungu.
6) Mikrokomputer
Mikrokomputer merupakan alat bantu khusus yang dapat memberikan informasi secara visual. Alat bantu ini sangat membantu bagi anak tunarungu yang mengalami kelainan pendengaran berat. Keefektifan penggunaan mikrokomputer tergantung pada softwere dan materinya harus dapat dimengerti oleh anak tunarungu. Disamping itu anak tunarungu harus bisa membaca atau paling tidak mampu mengintepretasikan simbol-simbol yang digunakan.
Manfaat penggunaan mikrokomputer bagi anak tunarungu antara lain:
1.      Anak tunarungu dapat belajar mandiri, bebas tetapi bertanggung jawab
2.      Anak tunarungu dapat belajar membuat program, memprogram materi pelajaran, dan mendemonstrasikannya.
3.      Anak tunarungu dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan menggunakan mikrokomputer
4.      Anak tunarungu dapat berkomunikasi interaktif dengan informasi yang ada dalam program mikrokomputer.

7) Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tapes, TV. Penggunaan audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu, karena mereka dapat memperhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam kemampuan mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan, film ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat.

8) Tape Recorder
Tape recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil ucapan yang telah direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa lisan anak tunarungu dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Selain itu, tape recorder sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan kelainan bicaranya, sehingga guru artikulasi lebih mudah membimbing mereka dalam memperbaiki kemampuan bicara mereka.
Tape recorder dapat pula digunakan untuk mengajar tunarungu yang belum bersekolah dalam mengenal gelak-tawa, suara-suara hewan, perbedaan antara suara tangisan dengan suara omelan, dan sebagainya.

9) Spatel
Spatel adalah alat bantu untuk membetulkan posisi organ bicara, terutama lidah. Spatel digunakan untuk menekan lidah, sehingga kita dapat membetulkan posisi lidah anak tunarungu. Dengan posisi lidah yang benar mereka dapat bicara dengan benar.
  

6.     Dampak  ketunarunguan
Meadow (1976), Myklebust (1953) menyatakan bahwa, “ yang ditimbulkan karena hilangnya kemampuan mendengar (tunarungu) adalah terhambatnya komunikasi dengan dan diantara kaum tunarungu serta lingkungannya. Lebih berat lagi apabila seseorang mengalami ketunarunguan sejak lahir, ia tidak akan mengembangkan kemampuan berbahasanya secara spontan, sehingga dalam usaha untuk bermasyarakat akan timbul berbagai permasalahan seperti aspek sosial, emosional dan mental.
Lebih rinci, Boothroyd (1980) menyatakan ketunarunguan sebagai kelainan primer yang bersifat motoris (fisik), dapat mengakibatkan terjadinya kelainan sekunder (dampak) pada berbagai aspek kehidupan dan perkembangan Anak Tunarungu, yaitu dalam kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, fungsi sosial, emosi, kognitif, dan sebagainya. Selain berbagai dampak tersebut di atas, ketunarunguan akan berdampak juga terhadap proses perkembangan pendidikan (proses belajar) dan lebih jauh lagi adalah kurangnya peluang atau sempitnya kesempatan dalam mencari pekerjaan.
Berdasarkan uraian/pengantar di atas, maka hambatan yang dialami anak tunarungu, terutama hambatan belajar tidak akan lepas dari dampak ketunarunguan, yaitu:
1. Hambatan Penguasaan Bahasa dan Komunikasi
Ketunarunguan tidak hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Van Uden, 1977; Meadow, 1980).Leigh (1994), memperjelas bahwa dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan. Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi Anak Tunarungu berat, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa dan perasaan serta tidak akan (sulit) memahami aturan atau sistem bahasa yang berlaku dan digunakan oleh lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai dampak yang ada akan menimbulkan hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Lebih lanjut Leigh (1994) mengemukakan bahwa masalah utama kaum tunarungu buka terletak pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa.Secara lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau “nama” yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/system/tata bahasa. Keadaan ini terutama diderita anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli pra bahasa).

Van Uden (1997) menjelaskan proses penguasaan bahasa seseorang (pendengaran normal) sejak lahir sampai menguasai bahasa adalah sebagai berikut:
·         Tahap prelingual (pra bahasa) sejak lahir sampai usia 1,6 tahun merupakan masa sebelum kemampuan berbahasa berkembang, walaupun anak menggunakan tanda tanda (signal) tertentu seperti menangis, menunjuk dan mulai memahami lambang yang digunakan lingkungan sekitar, namun mereka sendiri belum mengembangkan suatu sistem lambang.
·         Tahap interlingual (antar-bahasa) merupakan masa antara, dimana anak mulai mengembangkan suatu sistem lambang yang sebagian sudah sama dengan sistem lambang yang digunakan lingkungannya namun untuk sebagian masih berbeda.
·         Tahap postlingual (purna-bahasa), sejak usia 3 tahun anak akan makin memahami dan menerapkan secara tepat aturan bahasa sebagaimana berlaku di lingkungannya sehingga sewaktu berusia 4 tahun sampai akhir memasuki tahap purna bahasa.
Untuk anak tunarungu yang seusia dengan anak normal meskipun sudah dididik dengan baik sejak usia dini, proses penguasaan bahasanya mengalami perbedaan mencolok. Anak dengar pada usia 4 tahun sudah memasuki tahap penguasaan bahasa sedangkan bagi anak tuli hal itu baru dicapai pada usia 12 tahun
.
2. Hambatan dalam Perkembangan Kognitif dan Daya Pikir
Inteligensi anak tunarungu secara potensial pada umumnya sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa (Myklebust, 1964, dalam Moores, 1982:148). Keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi anak akibat ketunarunguan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsional juga terhambat. Hal ini mengakibatkan anak tunarungu kadang-kadang menampakkan keterlambatan dalam belajar dan menampakkan keterbelakangan mental.

Cruickshank yang dikutip Siregar (1981:6) mengatakan bahwa: “ anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak, tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu”.

Pendapat lain yang mendukung pernyataan di atas adalah pernyataan Rittenhouse yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1998:285) adalah sebagai berikut: “ … karena anak tunarungu berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tunarungu bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi sebenarnya kesulitan dalam bahasa dan pendidiklah yang belum memaksimalkan kelebihan kognitif anak tunarungu”.

Keterlambatan atau prestasi rendah kaum tunarungu dalam mengerjakan tugas dimana dituntut penalaran dengan bahasa bukan berarti potensi kecerdasan atau inteligensi mereka rendah. Bila kesulitan dalam penyampaian instruksi pada tes kecerdasan dapat diatasi dan perangkat tes yang digunakan bersifat non verbal yaitu tidak menuntut kemampuan berbahasa lisan maka kaum tunarungu menunjukkan penyebaran angka kecerdasan yang normal artinya sebagian besar diantara mereka akan berada pada taraf rata-rata (Myklebust, 1964; Furth, 1966).

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam mengerjakan tugas (berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget), anak tunarungu (tuli) dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengar bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seriasi. Namun bila tugas-tugas itu menuntut perhatian visual dan persepsi (seperti pada tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibatkan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap operasional konkrit dan formal menuntut daya abstraksi dan penalaran yang memerlukan kemampuan bahasa yang memadai, prestasi mereka akan makin memprihatinkan.
Implikasinya adalah dengan mengadakan perubahan dalam petunjuk tugas, memberikan lebih banyak keterangan daripada yang dilakukan terhadap anak mendengar, penampilan anak tunarungu dapat diperbaiki dalam arti memperkecil perbedaannya dengan prestasi anak mendengar.Maka Furth menyimpulkan bahwa keterlambatan anak tunarungu dalam bidang kognitif lebih disebabkan kurangnya pengalaman dalam dunia nyata dan bahwa hal ini secara tidak langsung merupakan akibat kemiskinan bahasanya yang membatasi mereka dalam kesempatan mengembangkan interaksi dan dengan demikian membatasi pengalamannya pula.

3. Hambatan Emosi dan Penyesuaian Sosial
Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkan kesulitan sosial dan perilaku. Meadow (1987) yang dikutip Hallahan & Kauffman, (1991:71) menyatakan bahwa: inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak-anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada anak-anak normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius diteliti, mereka menunjukkan kekhasan akan kekakuan, egosentrik, tanpa control dalam diri, impulsive dan keras kepala”.
Hambatan belajar yang dihadapi anak tunarungu sebagai dampak terhambatnya perkembangan emosi dan penyesuaian social tidak akan terlepas dari keberfungsian kedua aspek tersebut yang saling berhubungan. Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial (Boothroyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang peran yang signifikan dalam perkembangan awal emosisosial namun bukan esensial.Sedangkan pada tahap perkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial.
Beberapa sifat dan ciri sebagai konsekuensi dan dampak terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak tunarungu menurut Van Uden (1971) dan Meadow (1976, 1980) adalah:

1.      Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Karena dunia penghayatan mereka lebih sempit, maka anak tuli akan lebih terarah kepada diri sendiri, sehingga mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan kurang menyadari/peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar menyesuaikan diri. Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam perkembangan kontak dan interaksi sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk mengkristalisasikan dan menstruktur pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan memperkuat sifat egosentris ini.

2.      Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sukar bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang. Dalam membuat rencana jangka panjang diperlukan kemampuan untuk memikirkan atau membayangkan berbagai kemungkinan di masa datang berdasarkan masa kini. Justru dalam hal inilah mereka kekurangan karena kurang mempunyai konsep tentang relasi/hubungan.

3.       Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Hal ini disebabkan oleh sempitnya bidang penghayatan dan berpikir sebagai akibat ketulian dan kemiskinan bahasa.Pikiran dan perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret saja.Menurut Meadow (1980) hal ini dapat menyebabkan suatu ketidakmampuan untuk mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situasi atau kejadian. Erat kaitannya dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkan pengertian tentang hubungan sebab akibat baik dalam lingkungan fisik maupun social dan kesulitan dalam memahami alasan atau sebab dari suatu kejadian.

4.      Sifat lekas marah atau tersinggung
Karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu tidak dapat menjelaskan atau mengekspresikan keinginanya dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Keadaan ini dapat menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustrasi yang diekspresikan secara aktif dan agresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan sikap malu-malu, ragu-ragu dan menarik diri. Kedua sikap yang berlawanan ini banyak bergantung dari reaksi orangtua/pendidik terhadap kemampuan anak sehingga terbentuknya konsep diri yang negatif pada anak, pada akhirnya dapat menghambat proses kegiatan belajar di kelas. Meadow (1980) menjelaskan bahwa pembentukan konsep diri terjadi sejalan dengan perkembangan social seorang anak. Berdasarkan reaksi atau sikap orang lain dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan terbentuk pandangan terhadap diri sendiri.

7.     Kompensantoris ketunarunguan
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan tak terkecuali anak tunarungu.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1.      Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup
2.      Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping
3.      Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu
4.      Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
5.      Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
6.      Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu, hendaknya memiliki ruang BKPBI (Bina komunikasi persepsi bunyi dan irama) sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang.
Guru berlatar belakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara. Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan (BKPBI dan Bina Wicara) BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.

A.                Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama
Manusia yang berpendengaran normal memiliki latar belakang bunyi-bunyian yang memberikan arti yang sangat penting bagi kejiwaan manusia. Dengan adanya latar belakang bunyi-bunyian ini manusia akan mempunyai kontak terus menerus dengan orang dan alam sekitar. Keadaan ini membuat manusia merasa aman dan memperkaya penghayatan terhadap segala sesuatu yang dialaminya. Anak tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal tetapi bukan berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan anak tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk anak tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-bunyian lewat perasaan vibrasinya.
Anak tunarungu totalpun masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar akan adanya bunyi dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu mengalami pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis sehingga mereka akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal. Berkat kemajuan teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia yang sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan saat bayi masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu dapat digolongkan menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan teknologi juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari tahun ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak. Penemuan ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan mendengar dimasukkan dalam program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina komunikasi persepsi bunyi dan irama (BKPBI).
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi..
Materi pokok yang telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain adalah:
a.       bunyi-bunyi latar belakang
b.      sifat bunyi
ü  ada tidak ada bunyi
ü   panjang pendek bunyi
ü   keras lembut
ü  cepat lambat
ü  tinggi rendah
c.            sumber bunyi
d.      bunyi yang dapat dihitung
e.        arah bunyi
f.         macam-macam gerak dasar
g.      macam-macam gerak berirama
h.      lambang-lambang sifat bunyi
i.          lambing-lambnag titik nada dalam notasi music
j.        tanda-tanda notasi music
k.      pengenalan macm-macam alat musik
l.        cara memainkan macam-macam alat music
m.    notasi music
n.      persepsi bunyi bahasa

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya lalu ditunjang dengan latihan BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran bahasa dengan didukung BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.

8. Layanan bimbingan bagi anak tuna rungu
1.      Jenis layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan umum dan khusus.
a.    Layanan umum
Layanan umum merupakan layanan pendidikan yang biasa diberikan kepada anak mendengar atau normal yang meliputi layanan akademik, latihan dan bimbingan. Layanan akademik bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan layanan akademik bagi anak mendengar, yaitu mencakup mata-mata pelajaran yang biasa diberikan di SD biasa, tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ciri khas layanan bagi anak tuna rungu. Layanan bimbingn trutama diperlukan dalam mengatasi dampak kelainan terhadap aspek psikologisnya, serta pengembangan sosialisai siswa.
b.    Layanan khusus
Layanan khusus merupakan layanan yang khusus diberikan kepada anak tunarungu dalam mengurangi  dampak ketunarunguannya atau melatih kemampuan yang masih ada, yang meliputi layanan bina bicara serta layanan bina persepsi bunyi dan irama.
c.    Layanan bina bicara
Layanan bina bicara merupakan layanan upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, agar dapat dimengerti atau diinterpretasika oleh orang yang mengajak atau diajak bicara.
Latihan bina bicara bertujuan antara lain agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan yang benar sehingga dapat dimengerti orang lain, memberi keyakinan pada anak tuna rungu bahwa bunyi atau suara yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus mempunyai makna, membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya, serta memfungsikan organ-organ bicaranya yang kaku.
d.   Layanan bina persepsi bunyi dan irama
Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa pendengaran atau merasakan vibrasi ( getaran bunyi ) bagi siswa yang hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar