PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK
A. Pengertian Penyesuaian Diri
Pengertian penyesuaian diri (adaptasi) pada awalnya berasal dari pengertian yang didasarkan pada ilmu biologi, yaitu dikemukakan oleh Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusi. Ia, mengatakan "genetic changes can improve the ability of organisms to survive, reproduce, and in animals, raise off spring, this process is called adaptation". Artinya tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup, seperti cuaca dan berbagai unsur alamiah lainnya. Semua makhluk hidup secara alami telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuai diri (adaptasi dalam biologi) disebut dengan istilah adjusment. Adjusment merupakan suatu proses untuk mencari titik temu anatar kondisi diri dan tuntutan lingkungan (Dafidoff, 1991) manusia dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar dan prinsip. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi secara efesien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang berbeda-beda. Penyesuaian diri sangat menunjang terhadap proses sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain.
Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar dan prinsip. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi secara efesien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang berbeda-beda. Penyesuaian diri sangat menunjang terhadap proses sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain.
Hubungan
sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah,
teman sebaya, atau anggota masyarakat luas. Secara umum, Proses yang harus
dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi
nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap
kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma
sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan
dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk mematuhinya,
sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
Dengan
demikian, penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis
yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan
yang sesuai dengan kondisi lingkungaya.
Menurut
Hollander (1981), sifat dinamis (dynamism) ini menjadi kualitas esensial dari
penyesuaian diri. lebih lanjut Hollander menulis:
“the essential quality of adjustment
is itsd dynamism, or potential for change. Adjustment occurs whenever the
individual faces new environmental conditions that require a responsse. An
example is that of student who go from high school to collage, especially of
the first is small and the second large. Adjustment also take the from of
fitting one’s psycological needs to cultural norms. Even physiologically based
needs, such as hunger; are statisfied in socially approved ways. What we eat,
and how we eat, and how we eat are ilustrations of actions learned from a
society’s pattern of culture. Adjustment involves learning to meeet new
circumstances throught changes in action or attitudes. Basically, learning
means actual or potential alterations in behavior which may be more or less
able patterns of past behavior, thay may not be appropiate under changed conditions.
Therefore, adjustment means adopting new ways or acting, or at times returning
to old one which are more appropriate”.
Sepanjang
hidupnya individu akan mengadakan perubahan perilaku, karena memang setiap
individu dihadapkan pada kenyataan dirinya maupun lingkungannya yang terus
berubah. Ini berarti bahwa “adjustment is
a life long process, and people must continue to meet and deal whit the
stresses and challenges of life in order to achieve a healty personality” (Derlega
& Janda, 1978).
Menurut Kartono
(2000), penyesuaian
diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada
lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan,depresi, dan emosi negatif lain
sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis.
Menurut
Hariyadi (2003), penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan
keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan
atau keinginan diri sendiri.
Menurut
Ali dan Asrori (2005), penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan
individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal,
ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan
antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau
lingkungan tempat individu berada.
Menurut
Hurlock (dalam Gunarsa, 2003), penyesuaian diri secara lebih umum,yaitu
bilamana seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum
ataupun terhadap kelompoknya, dan ia memperlihatkan sikap serta tingkah laku
yang menyenangkan berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan
perkataan lain, orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap
lingkungannya.
Jadi,
penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons
mendatl dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil
mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya. Menurut Veloman (1971),
berfungsinya self system pada
seseorang melibatkan asumsi-asumsi yang dibuat sendiri oleh individu yang
bersangkutan. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
1. Reality assumption,
yaitu pandangan individu mengenai dirinya sendiri, apa yang dipikirkannya,
siapa dirinya, dan apa sebenarnya sifat-sifat dari lingkungannya.
2. Possibility assumption,
yaitu pandangan individu mengenai hal-hal yang mungkin tentang
perubahan-perubahan, tentang kesempatan pengembanagan diri dan hubungannya
dengan lingkungan sosialnya.
3. Value assumption,
yaitu pandangan individu tentang baik dan buruk, salah dan benar, tentang yang
diakui dan yang tidak diakui.
Perbedaan
individu ini menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sfatnya,
sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara dalam menghadapi stress
tertentu secara pasti. Menurut Schnieder (1964), penyesuaian diri itu dikatakan
relatif karena:
a. Penyesuian
diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk
mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini
berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
b. Kualitas
dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan
dengan masyarakat dan kebudayaan.
c. Adanya
variasi tertentu pada individu.
B.
Aspek-Aspek
Penyesuaian Diri Peserta Didik
Aspek-aspek
penyesuaian diri peserta didik ada 2 macam, yaitu:
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian
pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga
tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia
menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya
dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
Keberhasilan
penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari
kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi
dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau
kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa
kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya
kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan,
ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya
gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah
yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut
dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian
diri.
2. Penyesuaian
Sosial
Setiap
individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat
proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut
timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan,
hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai
penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu
psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup
dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup
hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah,
teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat
sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap
berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas
(masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang
individu.
Apa
yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat
masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan
individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik.
Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah
kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap
masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan
norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan
kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan
kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga
menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola
tingkah laku kelompok.
Kedua hal
tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka
penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan
ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang
mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan
Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan
individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku
yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal
yang tidak diterima oleh masyarakat.
Kemudian
seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik atau yang
dalam istilah aslinya disebut “well adjusted person” adalah manakala individu
itu mampu melakukan respons-respons yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat.
Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respons dengan mengeluarkan tenaga
dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya respons-respons yang
dilakukan individu cocok dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok
individu, dan hubungan antara individu dengan penciptanya. Bahkan,dapat
dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran karakteristik yang paling
menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri itu
dikatakan baik. Dengan demikian, individu yang dipandang mempunyai penyesuaian
diri yang baik adalah yang talah belajar mereaksi terhadap dirinya dan
lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta
dapat mengatasi konflik mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan social
tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu
tujuan-tujuan moral, social, agama, dan pekerjaan.
Penyesuaian
diri yang baik dikatan berkaitan erat dengan kepribadian yang sehat. Sebab,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Lazarus, “personality
and adjustment are totally interreleted subjects of study. The are two sides of
the same coin. It is really impossible to speak of one without the other”.
Secara
garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek
kepribadian, yaitu:
1. Kematangan
emosional, mencakup aspek:
a. Kemantapan
susana kehidupan emosional,
b. Kemantapan
suasana kehidupan bersama dengan orang lain,
c. Kemampuan
untuk santai, gembira, dan menyatakan kejengkelan,
d. Sikap
dan perasaan terhadapat kemapuan dan kenyataan diri sendiri.
2. Kematangan
intelektual, mencakup aspek:
a. Kemampuan
mencapai wawasan diri sendiri,
b. Kemampuan
memahami orang lain dan keragamannya,
c. Kemampuan
mengambil keputusan,
d. Keterbukaan
dalam mengenal lingkungan.
3. Kematangan
sosial, mancakup aspek:
a. Keterlibatan
dalam partisipasi sosial,
b. Kesediaan kerja sama,
c. Kemampuan
kepemimpinan, sikap toleransi,
d. Keakraban
dalam pergaulan.
4. Tanggung
jawab, mencakup aspek:
a. Sikap
produktif dalam mengembangkan diri,
b. Melakukan
perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel,
c. Sikap
altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal,
d. Kesadaran
akan etika dan hidup jujur,
e. Melihat
perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai,
f. Kemampuan
bertindak independen
C. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penyesuaian Diri Peserta Didik
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri dapat dilihat dari konsep psikogenik dan sosiopsikogenik.
Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan
sosial individu, terutama pengalaman khusus yang membantu perkembangan
psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang
kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek :
1. Hubungan
orangtua-anak, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga, apakah
hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup :
a. Penerimaan-penolakan
orangtua terhadap anak.
b. Perlindungan
dan kebebasan yang diberikan kepada anak.
c. Sikap
dominatif-integratif (persimif atau sharing).
d. Pengembangan
sikap mandiri-ketergantungan.
2. Iklim
intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan kemudahan
bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau
irrasional, yang mencakup :
a. Kesempatan
untuk berdialog logis, tukar pendapat dan gagasan.
b. Kegemaran
membaca dan minat kultural.
c. Pengembangan
kemampuan memecahkan masalah.
d. Pengembangan
hobi.
e. Perhatian
orangtua terhadap kegiatan belajar anak.
3. Iklim
emosional keluarga, yang merujuk pada sejauhmana stabilitas hubungan dan
komunikasi didalam keluarga terjadi, yang mencakup :
a. Intensitas
kehadiran orangtua dalam keluarga.
b. Hubungan
persaudaraan dalam keluarga.
c. Kehangatan
hubungan ayah-ibu.
Sementara itu dilihat dari konsep
sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial
di mana individu terlibat di dalamnya. Faktor sosiopsikogenik yang dominan
mempengaruhi penyesuaian diri adalah sekolah, yang mencakup :
1. Hubungan
guru-siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah
hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup :
a. Penerimaan-penolakan
guru terhadap siswa.
b. Sikap
dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing, menghargai dan mengenal
perbedaan individu).
c. Hubungan
yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan.
2. Iklim
intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauhmana perlakuan guru terhadap siswa
dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh
perasaan kompeten, yang mencakup :
a. Perhatian
terhadap perbedaan individual siswa.
b. Intensitas
tugas-tugas belajar.
c. Kecenderungan
untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa.
d. Sistem
penilaian.
e. Kegiatan
penilaian.
f. Kegiatan
ekstrakurikuler.
g. Pengembangan
inisiatif siswa.
D. Perkembangan
Hubungan Interpersonal Peserta Didik
·
Hubungan
Antara Anak Usia Sekolah dan Remaja Dengan Keluarga
Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai
hubungan antar pribadi. Peserta didik sebagai pribadi yang unik adalah makhluk
individu, sekaligus makhluk sosial.
o
Karakteristik
Hubungan Anak Usia Sekolah Dengan Keluarga
Masa
usia sekolah dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan
sosial mereka yang sesungguhnya. Sekalipun tidak lagi menjadi subjek tunggal
dalam pergaulan anak, orangtua tetap menjadi bagian penting dalam proses ini,
karena mereka yang menjadi figur sentral dalam kehidupan anak. Untuk itu,
orangtua harus menuntun anak untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial yang
lebih luas.
Hubungan orangtua dan anak akan berkembang dengan baik
apabila kedua pihak saling memupuk keterbukaan. Sesuai dengan perkembangan
kognitifnya yang semakin matang, maka pada usia sekolah, anak secara
berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi
orangtuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi
lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya.
Dalam
hal ini, orangtua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak
mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal
kehidupan mereka.
o
Karakteristik
Hubungan Remaja Dengan Keluarga
Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang
mempengaruhi relasinya dengan orangtua adalah perjuangan untuk memperoleh
otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Secara optimal, remaja mengembangkan
pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orangtua mereka.
Kesadaran bahwa mereka adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakat, dan
pengetahuan tertentu, mereka memandang orangtua sebagai orang yang harus
dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.
Beberapa
peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi
psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa
remaja. Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg (1993) misalnya, menunjukkan
bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat
baik dalam lingkungan keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan
kesempatan bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja
yang tetap tergantung secara emosional pada orangtuanya mungkin dirinya selalu
merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, kurang
berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang mencapai
kebebasan emosional (Dacey & Kenny, 1997).
Belakangan,
para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (Scure attachment) dengan orangtua terhadap
perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa keterikatan dengan orangtua pada masa
remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti
tercermin dalam ciri-ciri : harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan
fisik.
Dengan
perkataan lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orangtua yang
bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat
mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal disamping terus memberikan
bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada
bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
E. Hubungan Antara Anak Usia
Sekolah, Remaja Dengan Teman Sebaya
Teman biasa memberikan ketenangan
ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya
penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebanyanya.
Kharakteristik Hubungan
Anak Usia Sekolah Dengan Teman Sebaya
Banker dan Wright (dalam Santrock.
1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10 % dari waktu
siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya menigkat menjadi 20 %.
Sedangkan anak usia 7 tahun hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40 % waktunya
untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
·
Pembentukan
kelompok
Interaksi
teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah in terjadi dalam grup atau
kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”
·
Popularitas,
penerimaan social, dan penolakan
Pada
anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu
penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara.
·
Anak
yang popular
Popularitas
seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya.
·
Persahabatan
Karakteristik
lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah
munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau
yang dalam kajian psikologi perkembangan disebut dengan istilah friendship
(persahabatan).
Jadi
persahabatan lebih dari sekedar pertemanan biasa. Menurut Mc Devitt dan Ormred (2002),
setidaknya tercapai tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk
hubungan teman sebaya lainnya, yaitu :
1. They are voltmiary relationships
(adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela)
2. They are powered by shared multines
and customs (hubungan persahabatan dibangun atas
dasar kesamaan kebiasaan)
3. They arereciprocal relationships
(persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbale balik)
v Menurut
Santrock (1998), karakteristik yang
paling umum dari persahabatan adalah keakraban (intimazy) dan kesamaan (similarity)
Intimazy
dapat diartikan sebagai penyikapan diri dari berbagai pemikiran pribadi. Karena
kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktnya dengan sahabat dan mengekpresikan
efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat
(Hartub 1989). Meskipun demikian, persahabatan memainkan peranan yang penting
dalam perkembangan psikososial anak. (Rubin, 1950), diantaranya.
v Sahabat
memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari ketrampilan tertentu.
v Persahabatan
anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain.
v Persahabatan
mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok.
Santrock,
(1998) menyebutkan enam fungsi penting persahabatan, yaitu :
1.
Sebagai kawan (compartionship)
2.
Sebagi pendorong (stimulation)
3.
Sebagai hubungan fisik (physical support)
4.
Sebagai dukungan ego (ego support)
5.
Sebagai perbandingan social (social comperision)
6.
Sebagai member keakraban dan perhatian (intimacy/attraction; Hatherington dan Parke (1999), menggambarkan tiga tahap perkembangan gagasan anak
tentang persahabatan, yaitu :
a. Reward-cost stage (7-8
tahun ). Pada tahap ini anak menyebutkan cirri-ciri sahabat sebagai teman yang
menawarkan bantuan, melakukan kegiatan bersama-sama, bias memberikan ide-ide,
bias bergabung dalam permainan, menawarkan judgement, dekat secara fisik, dan
memiliki kesamaan demografis.
b. Normative stage (10-11
tahun), anak mengharapkan sahabatnya bias menerima dan mengaguminya, setia dari
memberikan komitmen terhadap persahabatan, serta mengekspresikan nilai dan sikap
yang sama terhadap aturan-aturan dan sanksi.
c. Emphatic stage (11-13
tahun), anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat,
mengharapkan sahabat untuk memahami dan terbuka terhadap dirinya, mau menerima
pertolongannya, berbagi minat dan mempertahankan sikap dan nilai yang sama.
F. Karakteristik Hubungan Remaja
Dengan Teman Sebaya
Perkembangan
kehidupan social remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman
sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagai besar waktunya dihabiskan untuk
berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu
investigasi, ditemukan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya 10 % dari
waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20 % pada usia 4 tahun, dan lebih dari
40 % pada usia antara 7-11 tahun.
Menurut Bloss (1962), pembentukan
remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang
berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phaflic conflicts,
Erikson (1968) memandang teori perkembangan ini dari perspektif normative-Me-crisis, di mana teman memberikan
feedback dan informasi yang konstruktif
tentang self-definition dari penerimaan komitmen.
Secara
lebih rinci:
Kelly dan Hansen (1997),
menyebutkan 6 fungsi positing teman sebaya, yaitu :
1. Mengontrol
implus-implus agresif
2. Memperoleh
dorongan emosional dan social serta menjadi lebih independen.
3. Meningkatkan
ketrampilan – ketrampilan social, mengembangkan kemampuan penilaian, dan
belajar untuk mengekspresikan perasaan- perrasaan dengan cara-cara yang lebih
matang.
4. Mengembangkan
sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin.
5. Memperkuat
penyesuaian moral dan nilai-nilai.
6. Meningkatkan
harga diri.
G. Pola Hubungan Remaja Dengan
Sekolah
Pengalaman
masuk sekolah saat pertama mereka menyesuaikan diri dalam pola kelompok, diatur
oleh guru, sekolah merupakan lingkungan artificial yang sengaja dibentuk guna
mendidik dan membina generasi muda kearah tujuan tertentu, terutama untuk
membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup (Me-skill) yang
dibutuhkan dikemudian hari. Guru masih memberi peran sentral dalam kehidupan
anak dan remaja, yang sangat sering menentukan bagaimana mereka merasakan
berada disekolah dan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah dan bagaimana
mereka merasakan diri.
Mereka memahami bagaimana melakukan
selingan antara belajar dengan bermain menghargai kemampuan-kemampuan khusus
murid,mengetahui menciptakan suatu setting dimana anak-anak memandang diri
mereka secara positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar