Kamis, 29 Desember 2016

Penyesuaian Diri Peserta Didik



PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK

A.      Pengertian Penyesuaian Diri
Pengertian penyesuaian diri (adaptasi) pada awalnya berasal dari pengertian yang didasarkan pada ilmu biologi, yaitu dikemukakan oleh Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusi. Ia, mengatakan "genetic changes can improve the ability of organisms to survive, reproduce, and in animals, raise off spring, this process is called adaptation". Artinya tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup, seperti cuaca dan berbagai unsur alamiah lainnya. Semua makhluk hidup secara alami telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup. Dalam istilah psikologi, penyesuai diri (adaptasi dalam biologi) disebut dengan istilah adjusment. Adjusment merupakan suatu proses untuk mencari titik temu anatar kondisi diri dan tuntutan lingkungan (Dafidoff, 1991) manusia dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar dan prinsip. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi secara efesien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang berbeda-beda. Penyesuaian diri sangat menunjang terhadap proses sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain.
Hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas. Secara umum, Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
Dengan demikian, penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan  mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang  sesuai dengan kondisi lingkungaya.
Menurut Hollander (1981), sifat dinamis (dynamism) ini menjadi kualitas esensial dari penyesuaian diri. lebih lanjut Hollander menulis:
“the essential quality of adjustment is itsd dynamism, or potential for change. Adjustment occurs whenever the individual faces new environmental conditions that require a responsse. An example is that of student who go from high school to collage, especially of the first is small and the second large. Adjustment also take the from of fitting one’s psycological needs to cultural norms. Even physiologically based needs, such as hunger; are statisfied in socially approved ways. What we eat, and how we eat, and how we eat are ilustrations of actions learned from a society’s pattern of culture. Adjustment involves learning to meeet new circumstances throught changes in action or attitudes. Basically, learning means actual or potential alterations in behavior which may be more or less able patterns of past behavior, thay may not be appropiate under changed conditions. Therefore, adjustment means adopting new ways or acting, or at times returning to old one which are more appropriate”.
Sepanjang hidupnya individu akan mengadakan perubahan perilaku, karena memang setiap individu dihadapkan pada kenyataan dirinya maupun lingkungannya yang terus berubah. Ini berarti bahwa “adjustment is a life long process, and people must continue to meet and deal whit the stresses and challenges of life in order to achieve a healty personality” (Derlega & Janda, 1978).
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan,depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis.
Menurut Hariyadi (2003), penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri.
Menurut Ali dan Asrori (2005), penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
Menurut Hurlock (dalam Gunarsa, 2003), penyesuaian diri secara lebih umum,yaitu bilamana seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap kelompoknya, dan ia memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan perkataan lain, orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap lingkungannya.
Jadi, penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons mendatl dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya. Menurut Veloman (1971), berfungsinya self system pada seseorang melibatkan asumsi-asumsi yang dibuat sendiri oleh individu yang bersangkutan. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
1.      Reality assumption, yaitu pandangan individu mengenai dirinya sendiri, apa yang dipikirkannya, siapa dirinya, dan apa sebenarnya sifat-sifat dari lingkungannya.
2.      Possibility assumption, yaitu pandangan individu mengenai hal-hal yang mungkin tentang perubahan-perubahan, tentang kesempatan pengembanagan diri dan hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
3.      Value assumption, yaitu pandangan individu tentang baik dan buruk, salah dan benar, tentang yang diakui dan yang tidak diakui.
Perbedaan individu ini menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sfatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara dalam menghadapi stress tertentu secara pasti. Menurut Schnieder (1964), penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena:
a.       Penyesuian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
b.      Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.
c.       Adanya variasi tertentu pada individu.

B.       Aspek-Aspek Penyesuaian Diri Peserta Didik
Aspek-aspek penyesuaian diri peserta didik ada 2 macam, yaitu:
1.       Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.
Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.

2.      Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam poroses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
Kemudian seseorang dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik atau yang dalam istilah aslinya disebut “well adjusted person” adalah manakala individu itu mampu melakukan respons-respons yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat. Dikatakan efisien artinya mampu melakukan respons dengan mengeluarkan tenaga dan waktu sehemat mungkin. Dikatakan sehat artinya respons-respons yang dilakukan individu cocok dengan hakikat individu, lembaga, atau kelompok individu, dan hubungan antara individu dengan penciptanya. Bahkan,dapat dikatakan bahwa sifat sehat ini adalah gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri itu dikatakan baik. Dengan demikian, individu yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah yang talah belajar mereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan, dan sehat serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, serta kesulitan pribadi dan social tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, social, agama, dan pekerjaan.
Penyesuaian diri yang baik dikatan berkaitan erat dengan kepribadian yang sehat. Sebab, sebagaimana yang dikemukakan oleh Lazarus, “personality and adjustment are totally interreleted subjects of study. The are two sides of the same coin. It is really impossible to speak of one without the other”.
Secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek kepribadian, yaitu:
1.      Kematangan emosional, mencakup aspek:
a.       Kemantapan susana kehidupan emosional,
b.      Kemantapan suasana kehidupan bersama dengan orang lain,
c.       Kemampuan untuk santai, gembira, dan menyatakan kejengkelan,
d.      Sikap dan perasaan terhadapat kemapuan dan kenyataan diri sendiri.
2.      Kematangan intelektual, mencakup aspek:
a.       Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri,
b.      Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya,
c.       Kemampuan mengambil keputusan,
d.      Keterbukaan dalam mengenal lingkungan.
3.      Kematangan sosial, mancakup aspek:
a.       Keterlibatan dalam partisipasi sosial,
b.      Kesediaan  kerja sama,
c.       Kemampuan kepemimpinan, sikap toleransi,
d.      Keakraban dalam pergaulan.
4.      Tanggung jawab, mencakup aspek:
a.       Sikap produktif dalam mengembangkan diri,
b.      Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel,
c.       Sikap altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal,
d.      Kesadaran akan etika dan hidup jujur,
e.       Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai,
f.       Kemampuan bertindak independen
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Peserta Didik
            Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dapat dilihat dari konsep psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu, terutama pengalaman khusus yang membantu perkembangan psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek :
1.      Hubungan orangtua-anak, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup :
a.       Penerimaan-penolakan orangtua terhadap anak.
b.      Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak.
c.       Sikap dominatif-integratif (persimif atau sharing).
d.      Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan.
2.      Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau irrasional, yang mencakup :
a.       Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat dan gagasan.
b.      Kegemaran membaca dan minat kultural.
c.       Pengembangan kemampuan memecahkan masalah.
d.      Pengembangan hobi.
e.       Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak.
3.      Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauhmana stabilitas hubungan dan komunikasi didalam keluarga terjadi, yang mencakup :
a.       Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga.
b.      Hubungan persaudaraan dalam keluarga.
c.       Kehangatan hubungan ayah-ibu.
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial di mana individu terlibat di dalamnya. Faktor sosiopsikogenik yang dominan mempengaruhi penyesuaian diri adalah sekolah, yang mencakup :
1.      Hubungan guru-siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup :
a.       Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa.
b.      Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan individu).
c.       Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan.
2.      Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauhmana perlakuan guru terhadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup :
a.       Perhatian terhadap perbedaan individual siswa.
b.      Intensitas tugas-tugas belajar.
c.       Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa.
d.      Sistem penilaian.
e.       Kegiatan penilaian.
f.       Kegiatan ekstrakurikuler.
g.      Pengembangan inisiatif siswa.
D. Perkembangan Hubungan Interpersonal Peserta Didik
·         Hubungan Antara Anak Usia Sekolah dan Remaja Dengan Keluarga
Hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antar pribadi. Peserta didik sebagai pribadi yang unik adalah makhluk individu, sekaligus makhluk sosial.
o   Karakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah Dengan Keluarga
Masa usia sekolah dipandang sebagai masa untuk pertama kalinya anak memulai kehidupan sosial mereka yang sesungguhnya. Sekalipun tidak lagi menjadi subjek tunggal dalam pergaulan anak, orangtua tetap menjadi bagian penting dalam proses ini, karena mereka yang menjadi figur sentral dalam kehidupan anak. Untuk itu, orangtua harus menuntun anak untuk menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas.
            Hubungan orangtua dan anak akan berkembang dengan baik apabila kedua pihak saling memupuk keterbukaan. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada usia sekolah, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orangtuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya.
            Dalam hal ini, orangtua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan pada tahun-tahun awal kehidupan mereka.

o   Karakteristik Hubungan Remaja Dengan Keluarga
Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi relasinya dengan orangtua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik dan psikologis. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orangtua mereka. Kesadaran bahwa mereka adalah seorang yang memiliki kemampuan, bakat, dan pengetahuan tertentu, mereka memandang orangtua sebagai orang yang harus dihormati, dan sekaligus sebagai orang yang dapat berbuat kesalahan.
Beberapa peneliti tentang perkembangan anak remaja menyatakan bahwa pencapaian otonomi psikologis merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting dari masa remaja. Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg (1993) misalnya, menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung secara emosional pada orangtuanya mungkin dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey & Kenny, 1997).
Belakangan, para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman (Scure attachment) dengan orangtua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa keterikatan dengan orangtua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, seperti tercermin dalam ciri-ciri : harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik.
Dengan perkataan lain, bahwa ketika remaja menuntut otonomi, maka orangtua yang bijaksana harus melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal disamping terus memberikan bimbingan untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan anak remajanya masih terbatas.
E. Hubungan Antara Anak Usia Sekolah, Remaja Dengan Teman Sebaya
            Teman biasa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebanyanya.
Kharakteristik Hubungan Anak Usia Sekolah Dengan Teman Sebaya
            Banker dan Wright (dalam Santrock. 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10 % dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya menigkat menjadi 20 %. Sedangkan anak usia 7 tahun hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40 % waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
·         Pembentukan kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah in terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”
·         Popularitas, penerimaan social, dan penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara.
·         Anak yang popular
Popularitas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya.
·         Persahabatan
Karakteristik lain dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau yang dalam kajian psikologi perkembangan disebut dengan istilah friendship (persahabatan).
Jadi persahabatan lebih dari sekedar pertemanan biasa. Menurut Mc Devitt dan Ormred (2002), setidaknya tercapai tiga kualitas yang membedakan persahabatan dengan bentuk hubungan teman sebaya lainnya, yaitu :
1.      They are voltmiary relationships (adanya hubungan yang dibangun atas dasar sukarela)
2.      They are powered by shared multines and customs (hubungan persahabatan dibangun atas dasar kesamaan kebiasaan)
3.      They arereciprocal relationships (persahabatan dibangun atas dasar hubungan timbale balik)
v  Menurut Santrock (1998), karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban (intimazy) dan kesamaan (similarity)
Intimazy dapat diartikan sebagai penyikapan diri dari berbagai pemikiran pribadi. Karena kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktnya dengan sahabat dan mengekpresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat (Hartub 1989). Meskipun demikian, persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak. (Rubin, 1950), diantaranya.
v  Sahabat memberi kesempatan kepada anak untuk mempelajari ketrampilan tertentu.
v  Persahabatan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain.
v  Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok.

Santrock, (1998) menyebutkan enam fungsi penting persahabatan, yaitu :
1.         Sebagai kawan (compartionship)
2.         Sebagi pendorong (stimulation)
3.         Sebagai hubungan fisik (physical support)
4.         Sebagai dukungan ego (ego support)
5.         Sebagai perbandingan social (social comperision)
6.         Sebagai member keakraban dan perhatian (intimacy/attraction; Hatherington dan Parke (1999), menggambarkan tiga tahap perkembangan gagasan anak tentang persahabatan, yaitu :
a.       Reward-cost stage (7-8 tahun ). Pada tahap ini anak menyebutkan cirri-ciri sahabat sebagai teman yang menawarkan bantuan, melakukan kegiatan bersama-sama, bias memberikan ide-ide, bias bergabung dalam permainan, menawarkan judgement, dekat secara fisik, dan memiliki kesamaan demografis.
b.      Normative stage (10-11 tahun), anak mengharapkan sahabatnya bias menerima dan mengaguminya, setia dari memberikan komitmen terhadap persahabatan, serta mengekspresikan nilai dan sikap yang sama terhadap aturan-aturan dan sanksi.
c.       Emphatic stage (11-13 tahun), anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat, mengharapkan sahabat untuk memahami dan terbuka terhadap dirinya, mau menerima pertolongannya, berbagi minat dan mempertahankan sikap dan nilai yang sama.

F. Karakteristik Hubungan Remaja Dengan Teman Sebaya
            Perkembangan kehidupan social remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagai besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam suatu investigasi, ditemukan bahwa anak berhubungan dengan teman sebaya 10 % dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20 % pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40 % pada usia antara 7-11 tahun.
            Menurut Bloss (1962), pembentukan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phaflic conflicts, Erikson (1968) memandang teori perkembangan ini dari perspektif  normative-Me-crisis, di mana teman memberikan feedback dan informasi yang konstruktif  tentang self-definition dari penerimaan komitmen.
Secara lebih rinci:
Kelly dan Hansen (1997), menyebutkan 6 fungsi positing teman sebaya, yaitu :
1.      Mengontrol implus-implus agresif
2.      Memperoleh dorongan emosional dan social serta menjadi lebih independen.
3.      Meningkatkan ketrampilan – ketrampilan social, mengembangkan kemampuan penilaian, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan- perrasaan dengan cara-cara yang lebih matang.
4.      Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin.
5.      Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai.
6.      Meningkatkan harga diri.

G. Pola Hubungan Remaja Dengan Sekolah
            Pengalaman masuk sekolah saat pertama mereka menyesuaikan diri dalam pola kelompok, diatur oleh guru, sekolah merupakan lingkungan artificial yang sengaja dibentuk guna mendidik dan membina generasi muda kearah tujuan tertentu, terutama untuk membekali anak dengan pengetahuan dan kecakapan hidup (Me-skill) yang dibutuhkan dikemudian hari. Guru masih memberi peran sentral dalam kehidupan anak dan remaja, yang sangat sering menentukan bagaimana mereka merasakan berada disekolah dan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah dan bagaimana mereka merasakan diri.
            Mereka memahami bagaimana melakukan selingan antara belajar dengan bermain menghargai kemampuan-kemampuan khusus murid,mengetahui menciptakan suatu setting dimana anak-anak memandang diri mereka secara positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar