PERKEMBANGAN
MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral),
tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap dikembangkan. Karena itu
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
A.
Teori Psikoanalisis tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral,
teori psikoanalisis dengan pembagian struktur kepribadian manusia atas tiga,
yaitu id, ego, superego. Id adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak
disadari. Ego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun
tidak memiliki moralitas. Superego adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai
dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” atau “salahnya” sesuatu.
1.
Teori
Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar social
melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini,
proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan
perilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai
dengan aturan dan kontrak social, mereka akan mengulangi perilaku tersebut.
Sebaliknya, bila mereka dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka
perilaku itu akan berkurang atau menghilang.
2.
Teori Kognitif
Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif Piaget
tentang perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang
sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang
perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui
aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk
menerima dan menaati system peraturan. Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran
anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas 2 tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality.
·
Heteronomous morality atau morality
of constaint ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada usia anak
kira-kira 6-9 tahun. Anak-anak pada usia ini yakin akan keadilan ammanem, yaitu konsep bahwa suatu aturan
dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
·
Autonomous morality atau morality
of cooperation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia
kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini, anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan
hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas
suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
3.
Teori Kohlberg
tentang Perkembangan Moral
Teori Kohlberg tentang
perkembangan moral merupakan perluas, modifikasi, dan redefenis atas teori
Piaget. Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis
yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas
tiga tingkatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju
dengan Piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan hasil dari sosialisasi
atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman.
Hal penting lain dari
teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral
yang ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti
perbuatan nyata.
4.
Teori
Psikoanalisis tentang Perkembangan Moral
Menurut teori
psikoanalisis klasik Freud, semua orang mengalami konflik Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur
kepribadian yang dinamakan Freud sebagai superego. Ketika anak mengatasi
konflik Oedipus ini, maka
perkembangan moral dimulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan
kehilangan kasih sayang orangtua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan
seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orangtua yang berbeda dengan
jenis kelamin.
B.
Karakteristik Perkembangan Spiritual Anak
Meskipun para peneliti
tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus dipahami dalam
multidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan spiritualitas dalam
tujuh dimensi, yaitu makna (meaning), konsep
tentang ketuhanan (conception of
divinity), hubungan (relationship), misteri
(mistery), pengalaman (experience), perbuatan atau permainan (play), dan integrasi (integration).
1.
Karakteristik
Perkembangan Spiritual Anak Usia Sekolah Dasar
Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler
(dalam Desmita, 2009: 281), bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan
kognitifnya, anak mulai berpikir secara logis dan mengatur dunia dengan
kategori-kategori baru. Pada tahap ini, anak secara sistematis mulai mengambil
makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta
makna dalam bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang sedang berada dalam
tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami
segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga
berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan
demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami
secara konkret, seperti Tuhan itu satu, Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada
dimana-mana, mulai dapat dipahami secara abstrak.
2.
Karakteristik
Perkembangan Spiritual Remaja
Dibandingkan dengan masa awal
kanak-kanak, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan
berpikir, simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di langit, maka pada masa remaja mereka mungkin
berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan
eksistensi. Perkembangan pemahaman tentag keyakinan agama sangat dipengaruhi
oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal
anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orangtua mereka, namun pada masa remaja
mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya, mungkin mereka
menanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
C.
Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap
Pendidikan
Untuk mengembangkan
moral dan spiritual, pendidikan sekolah formal yang dituntut untuk membantu
peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka
dapat menjadi manusia yang moralis dan religious. Sejatinya, pendidikan tidak
boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan
formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan
selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreativitas yang dapat
membekali manusianya agar bisa survive dan
berguna dalam masyarakat (Elmubarok, 2008: 30).
Strategi yang mungkin
dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual
peserta didik, yaitu sebagai berikut.
1.
Memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadikan
sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.
Memberikan
pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada
nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai
dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3.
Memberikan pendekatan
moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral
tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh
kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
4.
Menjadikan
wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya
sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari
pengalaman keberagaman.
5.
Membantu peserta
didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti dengan cara berikut.
·
Memupuk hubungan
sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
·
Menanyakan
kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
·
Memberikan
kesadaran terhadap anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Menyuruh anak
merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa
mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun (Desmita, 2009: 287).
DAFTAR PUSTAKA
Hosnan,
M. 2016. Psikologi Perkembangan Peserta
Didik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar