Jumat, 30 Desember 2016

Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik



PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK

            Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral), tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap dikembangkan. Karena itu melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

A.  Teori Psikoanalisis tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisis dengan pembagian struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” atau “salahnya” sesuatu.
1.    Teori Belajar-Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar social melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak social, mereka akan mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang atau menghilang.
2.    Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif Piaget tentang perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima dan menaati system peraturan. Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas 2 tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality.
·      Heteronomous morality atau morality of constaint ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada usia anak kira-kira 6-9 tahun. Anak-anak pada usia ini yakin akan keadilan ammanem, yaitu konsep bahwa suatu aturan dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
·      Autonomous morality atau morality of cooperation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9-12 tahun. Pada tahap ini, anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.
3.    Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas, modifikasi, dan redefenis atas teori Piaget. Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju dengan Piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.

4.    Teori Psikoanalisis tentang Perkembangan Moral
Menurut teori psikoanalisis klasik Freud, semua orang mengalami konflik Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Freud sebagai superego. Ketika anak mengatasi konflik Oedipus ini, maka perkembangan moral dimulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih sayang orangtua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orangtua yang berbeda dengan jenis kelamin.

B.       Karakteristik Perkembangan Spiritual Anak
Meskipun para peneliti tentang spiritual yang sehat mencatat bahwa spiritual harus dipahami dalam multidimensional, namun Ingersoll (1994) menggambarkan spiritualitas dalam tujuh dimensi, yaitu makna (meaning), konsep tentang ketuhanan (conception of divinity), hubungan (relationship), misteri (mistery), pengalaman (experience), perbuatan atau permainan (play), dan integrasi (integration).
1.    Karakteristik Perkembangan Spiritual Anak Usia Sekolah Dasar
Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler (dalam Desmita, 2009: 281), bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai berpikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru. Pada tahap ini, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna dalam bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang sedang berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti Tuhan itu satu, Tuhan itu amat dekat, Tuhan ada dimana-mana, mulai dapat dipahami secara abstrak.
2.    Karakteristik Perkembangan Spiritual Remaja
Dibandingkan dengan masa awal kanak-kanak, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir, simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di langit, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman tentag keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orangtua mereka, namun pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya, mungkin mereka menanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.

C.      Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan moral dan spiritual, pendidikan sekolah formal yang dituntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religious. Sejatinya, pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreativitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat (Elmubarok, 2008: 30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik, yaitu sebagai berikut.
1.    Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadikan sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.    Memberikan pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3.    Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
4.    Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagaman.
5.    Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti dengan cara berikut.
·      Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari.
·      Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
·      Memberikan kesadaran terhadap anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun (Desmita, 2009: 287).

DAFTAR PUSTAKA
Hosnan, M. 2016. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bogor: Ghalia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar