BATU MENANGIS
(Legenda Dari Kalimantan)
Darmi memandangi
wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya. “Ah aku memang
jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di
gubuk reot seperti ini.” Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan
itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian
pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak
orang kaya. Ibunya hanya
seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting
tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar
di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang
lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah
anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras
sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang
jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang
padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai
baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan
ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong
pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan
uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar. Terpaksa sang ibu memberikan uang
yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya
itu.
Begitulah, hari demi
hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah
yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli
baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk
memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi
meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak
apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut
saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau
malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan
sedih.
“Baiklah, ibu janji ya!
Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh
berbicara padaku!” katanya. Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu
mengiyakan.
Akhirnya mereka pun
berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik
dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang
sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan.
Ketika mereka mulai
memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona
melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak
puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang
berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat
orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak
gadis itu ? “Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !” Kedua ibu
dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi
seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang
terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin
hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran
air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu
malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini.
Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan
kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan.
Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku!
Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak
hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah
mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi
ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu
berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu,
lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia
berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya
dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu!
Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…”
teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada
yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak
bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih
memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya
menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua
matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu,
batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu
Menangis “.
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh
masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi.
Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan
membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar