Jumat, 30 Desember 2016

Sebab Runtuhnya Pemerintahan Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru




1.        Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2.        Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
3.        Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.        Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
5.        Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
6.        Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA” (Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
·Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
·Pembersihan Kabinet Dwikora
·Penurunan Harga-harga barang.
7.        Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
8.        Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
9.        Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.


CIA Biang Keladi Tumbangnya Orde Lama
Akibat Politik Perang Dingin
Ada dugaan sejarah bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan desain besar (Grand Design) Soeharto dan CIA untuk menciptakan instabilisasi negara.
Indonesia merupakan kekuatan terbesar di Asia Tenggara pada masa Orde Lama. Angkatan perang yang dibangun Presiden Soekarno mengalami titik tertinggi kehebatan yang membuat negara negara barat merasa perlu untuk menjadikan Indonesia sebagai poros sekutu di kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, kiblat politik Soekarno lebih terarah pada kekuatan Uni Sovyet dan Cina sehingga terbentuklah poros Jakarta - Beijing - Moskow. Inilah yang membuat AS khawatir bahwa Indonesia akan menjadi pusat komunis, musuh bebuyutan paham demokrasi liberal barat. Soekarno jelas menantang AS dengan slogan "Go to hell!"nya yang legendaris. Bahkan Soekarno sudah mematangkan rencana untuk menasionalisasi perusahaan eksplorasi minyak terbesar, Caltex (Sekarang bernama Chevron), raksasa minyak milik perusahaan AS.
Di dalam negeri sendiri, kekuatan partai komunis juga semakin mendekat ke lingkaran dalam kekuasaan. kebijakan-kebijakan politik dan keamanan Soekarno banyak menguntungkan partai komunis sehingga membuat kekuatan eksternal (AS) dan partai - partai Islam di Indonesia ikut resah. Momentum itulah yang dimanfaatkan oleh AS melalui gurita intelejennya, Central Intelegency Agency (CIA).



Mencari Seorang Sahabat
Tugas agen-agen CIA di negara lain adalah melakukan propaganda terselubung agar tercipta instabilisasi (ketidakstabilan). Selain itu juga untuk menghimpun informasi penting dari negara sasaran agar dapat dijadikan bahan evaluasi strategi dan kebijakan luar negeri mereka. salah satu langkah pentingnya adalah menggandeng oposisi pemerintah yang sedang berkuasa atau sosok penting yang memiliki pengaruh dan kekuatan bersenjata untuk menjadi "sahabat" dalam menggulingkan kekuasaan. Strategi ini sangat jitu dan berhasil. Chili dan Iran merupakan dua negara yang pernah diaduk-aduk oleh propaganda CIA sehingga kedua negara tersebut sempat menjadi sahabat - sahabat AS. Di Indonesia, sosok yang paling tepat ketika itu adalah Letjen Soeharto. Seorang perwira tinggi yang menguasai beberapa batalion pasukan, khususnya Angkatan Darat. Karakter oportunis (paham yang semata mata hendak mengambil keuntungan sendiri) Soeharto juga menjadi pertimbangan bagi CIA untuk memilihnya menjadi sahabat.



Ada dugaan sejarah bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan grand design Soeharto dan CIA untuk menciptakan ketidakstabilan di Indonesia. Keterlibatan AS memang sudah terlihat jelas. Apalagi dengan terbitnya buku Foreign Relations of the United States yang tebalnya 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat dokumen-dokumen tentang keterlibatan AS. Skenario dirancang seolah-olah Partai Komunis Indonesia merencanakan sebuah coup d'etat (kudeta) untuk menggulingkan pemerintahan.
Nostalgia peristiwa PKI Madiun 1948 menjadi bumbu penyedap bahwa partai ini ingin mengulang kembali pemberontakan. Puncaknya adalah pembunuhan jendral-jendral di lingkaran Soekarno yang difitnah sebagai dalang rencana kudeta. Meskipun kemudian ada kecurigaan, mengapa Letnan Jendral Soeharto tidak ikut diculik? Padahal posisinya sangat strategis, yaitu sebagai komandan tertinggi Kostrad. Inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang mencurigai bahwa Soeharto justru yang berada di balik rekayasa penculikan dan pembunuhan para jendral, serta pembantaian sekitar satu juta orang yang dituduh sebagai komunis. 

Mengubah Arah Kiblat Politik dan Ekonomi
Setelah beberapa puluh tahun setelah peristiwa G-30 S/PKI, akhirnya publik diperkenankan untuk membaca dokumen-dokumen top secret (sangat rahasia) yang menunjukkan adanya peran CIA di dalamnya. Namun, para sejarawan mengajak kita untuk mengamati apa yang terjadi setelah Orde Lama yang pro-Uni Sovyet dan Cina tumbang. Lalu, berdiri rezim yang bernama Orde Baru.
Segera setelah Soeharto naik ke tampuk pimpinan negara, arah kiblat ekonomi pun berpaling. Mahzab liberal menjadi pijakan para ekonom Soeharto yang dikenal dengan nama Mafia Berkley. Mereka adalah para ekonom jebolan universitas-universitas AS, terutama dari Berkley. Jika dulu Soekarno hendak menasionalisasi Caltex, pada rezim Soeharto justru AS mendapatkan angin surga sumber daya alam tak terkira dengan kontrak eksplorasi pertambangan Freeport. Kekayaan negeri dikuras habis-habisan oleh AS yang hanya menyisakan sedikit kekayaan pada pejabat-pejabat Orde Baru di Jakarta. Namun, meninggalkan kemiskinan parah di Irian Jaya (Papua sekarang). Diduga, Freeport tidak hanya mengeksplorasi tembaga, mereka juga menemukan emas dan uranium disana. Akan tetapi, tidak diberitahukan kepada pemerintah Indonesia (setidaknya secara terbuka).
Tidak itu saja, AS pun kemudian memprakarsai IMF, Bank Dunia dan Perkongsian (Persekutuan dagang) negara-negara barat untuk menjadi pemberi hutang kepada Indonesia. Ditambah, rezim (pemerintahan berkuasa) Orde Baru memberikan kesempatan seluas-luas kepada perusahaan-perusahaan besar negeri barat untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, terutama pada sektor pertambangan minyak, gas dan mineral.
Tentu saja Indonesia menjadi kesayangan barat di kawasan Asia Tenggara. Hutang mengalir begitu mudahnya, semudah pembelokan dana hutang dan hibah ke kantong-kantong para rezim Orde Baru. Ironisnya, kebijakan menghidupi diri dari hutang itu menjadi kebiasaan buruk hingga saat ini sehingga bangsa selalu tergantung nasibnya kepada barat.
Sistem Pemerintahan 
Kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik, semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar