1.
Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
2.
Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa
Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama.
3.
Keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600%
sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan
bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
4.
Reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi
menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya
diadili.
5.
Kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat
bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya
lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam
Gerakan 30 September 1965.
6.
Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan
gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA” (Tri Tuntutan Rakyat)
yang berisi :
·Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
·Pembersihan Kabinet Dwikora
·Penurunan Harga-harga barang.
7.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan
Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat
menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
Gerakan 30 September 1965.
8.
Wibawa dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah
upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub).
9.
Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah
yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto
guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang
semakin kacau dan sulit dikendalikan.
CIA Biang Keladi Tumbangnya Orde Lama
Akibat Politik Perang Dingin
Ada dugaan sejarah bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan desain besar (Grand Design) Soeharto dan CIA untuk menciptakan instabilisasi negara.
Akibat Politik Perang Dingin
Ada dugaan sejarah bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan desain besar (Grand Design) Soeharto dan CIA untuk menciptakan instabilisasi negara.
Indonesia merupakan kekuatan
terbesar di Asia Tenggara pada masa Orde Lama. Angkatan perang yang dibangun
Presiden Soekarno mengalami titik tertinggi kehebatan yang membuat negara
negara barat merasa perlu untuk menjadikan Indonesia sebagai poros sekutu di
kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, kiblat politik Soekarno lebih terarah pada
kekuatan Uni Sovyet dan Cina sehingga terbentuklah poros Jakarta - Beijing - Moskow. Inilah yang membuat AS khawatir
bahwa Indonesia akan menjadi pusat komunis, musuh bebuyutan paham demokrasi
liberal barat. Soekarno jelas menantang AS dengan slogan "Go to hell!"nya yang legendaris. Bahkan
Soekarno sudah mematangkan rencana untuk menasionalisasi perusahaan eksplorasi
minyak terbesar, Caltex (Sekarang bernama Chevron), raksasa minyak milik
perusahaan AS.
Di dalam negeri sendiri,
kekuatan partai komunis juga semakin mendekat ke lingkaran dalam kekuasaan.
kebijakan-kebijakan politik dan keamanan Soekarno banyak menguntungkan partai
komunis sehingga membuat kekuatan eksternal (AS) dan partai - partai Islam di
Indonesia ikut resah. Momentum itulah yang dimanfaatkan oleh AS melalui gurita
intelejennya, Central Intelegency Agency (CIA).
Mencari Seorang Sahabat
Tugas agen-agen CIA di
negara lain adalah melakukan propaganda terselubung agar tercipta instabilisasi
(ketidakstabilan). Selain itu juga untuk menghimpun informasi penting dari
negara sasaran agar dapat dijadikan bahan evaluasi strategi dan kebijakan luar
negeri mereka. salah satu langkah pentingnya adalah menggandeng oposisi
pemerintah yang sedang berkuasa atau sosok penting yang memiliki pengaruh dan
kekuatan bersenjata untuk menjadi "sahabat" dalam menggulingkan
kekuasaan. Strategi ini sangat jitu dan berhasil. Chili dan Iran merupakan dua
negara yang pernah diaduk-aduk oleh propaganda CIA sehingga kedua negara
tersebut sempat menjadi sahabat - sahabat AS. Di Indonesia, sosok yang
paling tepat ketika itu adalah Letjen Soeharto. Seorang perwira tinggi yang
menguasai beberapa batalion pasukan, khususnya Angkatan Darat. Karakter
oportunis (paham yang semata mata hendak mengambil keuntungan sendiri) Soeharto
juga menjadi pertimbangan bagi CIA untuk memilihnya menjadi sahabat.
Ada dugaan sejarah bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan grand design Soeharto dan CIA untuk menciptakan ketidakstabilan di Indonesia. Keterlibatan AS memang sudah terlihat jelas. Apalagi dengan terbitnya buku Foreign Relations of the United States yang tebalnya 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat dokumen-dokumen tentang keterlibatan AS. Skenario dirancang seolah-olah Partai Komunis Indonesia merencanakan sebuah coup d'etat (kudeta) untuk menggulingkan pemerintahan.
Nostalgia peristiwa PKI
Madiun 1948 menjadi bumbu penyedap bahwa partai ini ingin mengulang kembali
pemberontakan. Puncaknya adalah pembunuhan jendral-jendral di lingkaran
Soekarno yang difitnah sebagai dalang rencana kudeta. Meskipun kemudian ada
kecurigaan, mengapa Letnan Jendral Soeharto tidak ikut diculik? Padahal posisinya sangat
strategis, yaitu sebagai komandan tertinggi Kostrad. Inilah yang menjadi salah
satu alasan banyak orang mencurigai bahwa Soeharto justru yang berada di balik
rekayasa penculikan dan pembunuhan para jendral, serta pembantaian sekitar satu
juta orang yang dituduh sebagai komunis.
Mengubah Arah Kiblat Politik dan Ekonomi
Mengubah Arah Kiblat Politik dan Ekonomi
Setelah beberapa puluh
tahun setelah peristiwa G-30 S/PKI, akhirnya publik diperkenankan untuk membaca
dokumen-dokumen top secret (sangat rahasia) yang menunjukkan adanya peran CIA
di dalamnya. Namun, para sejarawan mengajak kita untuk mengamati apa yang
terjadi setelah Orde Lama yang pro-Uni Sovyet dan Cina tumbang. Lalu, berdiri
rezim yang bernama Orde Baru.
Segera setelah Soeharto
naik ke tampuk pimpinan negara, arah kiblat ekonomi pun berpaling. Mahzab
liberal menjadi pijakan para ekonom Soeharto yang dikenal dengan nama Mafia
Berkley. Mereka adalah para ekonom jebolan universitas-universitas AS, terutama
dari Berkley. Jika dulu Soekarno hendak menasionalisasi Caltex, pada rezim
Soeharto justru AS mendapatkan angin surga sumber daya alam tak terkira dengan
kontrak eksplorasi pertambangan Freeport. Kekayaan negeri dikuras habis-habisan
oleh AS yang hanya menyisakan sedikit kekayaan pada pejabat-pejabat Orde Baru
di Jakarta. Namun, meninggalkan kemiskinan parah di Irian Jaya (Papua
sekarang). Diduga, Freeport tidak hanya mengeksplorasi tembaga, mereka
juga menemukan emas dan uranium disana. Akan tetapi, tidak
diberitahukan kepada pemerintah Indonesia (setidaknya secara terbuka).
Tidak itu saja, AS pun
kemudian memprakarsai IMF, Bank Dunia dan Perkongsian (Persekutuan dagang)
negara-negara barat untuk menjadi pemberi hutang kepada Indonesia. Ditambah,
rezim (pemerintahan berkuasa) Orde Baru memberikan kesempatan seluas-luas
kepada perusahaan-perusahaan besar negeri barat untuk mengeruk kekayaan alam
Indonesia, terutama pada sektor pertambangan minyak, gas dan mineral.
Tentu saja Indonesia
menjadi kesayangan barat di kawasan Asia Tenggara. Hutang mengalir begitu
mudahnya, semudah pembelokan dana hutang dan hibah ke kantong-kantong para
rezim Orde Baru. Ironisnya, kebijakan menghidupi diri dari hutang itu menjadi
kebiasaan buruk hingga saat ini sehingga bangsa selalu tergantung nasibnya kepada
barat.
Sistem Pemerintahan
Kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik, semua proyek
diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar