PUNAHNYA BAHASA DAERAH
Bahasa
adalah sarana yang paling berpengaruh terhadap kehidupan kita di lingkungan
masyarakat. Sehingga secara tidak langsung kita dituntut untuk dapat memahami
dan mengerti apa bahasa yang digunakan. Bahasa di setiap lingkungan
daerah tentunya berbeda-beda. Tetapi jika kita menengok lagi di daerah pedesaan
pastilah kita akan menemui atmosfir-atmosfir ketradisionalan yang masih kental
dan enggan meninggalkan tradisinya salah satunya yaitu bahasa daerah.
Hilangnya
bahasa daerah kita dikarenakan kita sendiri yang tidak pernah merawat dan
menularkannya kepada generasi penerus. Dewasa ini bahasa daerah semakin hari
semakin terkikis karena tanpa kita sadari kita menekan keluar dan menggantinya
dengan bahasa asing yang terus menerus masuk ke lingkungan kita. Adapun faktor
yang mempengaruhi hilangnya bahasa daerah yaitu bimbingan orang tua yang sejak
kecil telah mencetuskan dan mengajarkan kepada anaknya untuk berbicara bahasa
asing seperti bahasa Inggris sehingga tidak jarang terkadang bahasa Indonesia
pun juga ikut terpengaruh, pendidikan sekarang yang mengharuskan siswanya
memakai bahasa asing setiap harinya sehingga ini membiasakan untuk terus
menerus menggunakan bahasa asing sehingga bahasa daerah pun terlupakan, di
sekolah mulai dari SD, SMP sampai dengan SMA bahasa daerah hanya masuk
pelajaran muatan lokal bahkan ada di sebuah Sekolah Kejuruan bahasa daerah
tidak ada atau tidak di masukkan ke dalam mata pelajaran.
Peranan
bahasa daerah sangatlah penting karena kepunahan bahasa sama dengan kepunahan
peradaban manusia secara keseluruhan. Menurut penelitian, di Indonesia ada 169
bahasa etnis/daerah yang terancam punah. Inilah fokus dalam Seminar Nasional
bertopik “Pengembangan dan Perlindungan Bahasa, Kebudayaan Etnik Minoritas
untuk Penguatan Bangsa”. Buktinya banyak generasi muda yaitu generasi penerus
bangsa kita yang enggan menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang katanya malu
jika memakai bahasa daerahnya, ini merupakan suatu fakta yang tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa bangsa kita memang sudah dibutakan oleh bahasa-bahasa
gaul yang terlalu condong ke bahasa asing.
Peristiwa
ini terjadi bukan disebabkan oleh orang lain namun kita sendirilah yang
menjadikan bahasa daerah itu punah. Salah satu yang membuat kaget saat saya
membaca sebuah artikel yang menceritakan di sebuah kampung di Nganjuk, Jawa
Timur. Ada sebuah siaran radio lokal. Bukan soal isinya yang menurut saya biasa
saja, tetapi penggunaan bahasanya yang sangat mirip dengan radio lokal di
Jakarta, sebutan gue, elu, nyokap, bokap, jadi idiom yang disebut terus menerus
saat siaran oleh sang penyiar. Jujur ini membuat saya kaget, kalau begini apa
bedanya radio daerah dengan radio di Jakarta? Mulai dari lagu, gaya bahasa
penyiar hingga cara berguraunya pun mirip dengan gaya gaul anak Jakarta. Dari
sisi bisnis memang keberadaan jaringan radio (radio network) merupakan sesuatu
yang menggiurkan. Mereka meluaskan jangkauan mulai dari ibukota hingga ke
pelosok. Ini juga sekaligus ‘mengimpor’ banyak hal yang sedang menjadi tren di
ibukota, mulai dari teknologi, modal hingga itu tadi, gaya berbahasa. Mungkin
para penyiar radio daerah merasa bangga bisa bergaya bahasa persis seperti
rekan mereka dalam satu jaringan radio. Tetapi mereka agaknya lupa, apa yang
mereka lakukan sesungguhnya justru ‘membunuh’ keragaman bahasa daerah tempat
mereka berada sendiri. Karena para penyiar ini justru bangga dengan bahasa
Indonesia berdialek Betawi yang mereka gunakan. Mereka pelan-pelan secara tak
langsung tak lagi menggunakan bahasa daerah tempat mereka tinggal.
Dampaknya?
Selain makin menjauhkan para penyiar tadi dengan bahasa daerahnya, yang paling
parah adalah terpaan siaran radio itu yang membuat masyarakat perlahan
meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Ini tak bisa dibiarkan! Harusnya
keberadaan radio daerah dipantau sedemikian rupa untuk memelihara keberagaman
budaya lokal. Karena keberagaman inilah yang membentuk satu Indonesia. Radio
berjaringan tak salah, yang salah jika menyamakan semua gaya bahasanya menjadi
hanya satu, gaya bahasa kota, sehingga identitas lokal pun menghilang. Lalu
bagaimana agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di negeri ini? Peran
seorang ibu sangat jelas.
Pemakaian
bahasa daerah sangat erat kaitannya dengan kesopanan dan tata krama budaya,
terutama budaya Jawa. Bahasa Jawa mengenal beberapa tingkatan, yaitu ngoko,
krama madya, dan krama inggil. Pemakaian tingkatan itu tergantung kepada siapa
dan di lingkungan apa kita berbicara. Berbicara dengan seorang tua yang
dihormati, misalnya, mestilah dalam bahasa yang halus dan dengan sikap yang
sopan. Tetapi ada kecenderungan pemakaian bahasa Jawa halus ini juga mulai
memudar. Banyak anak muda di Jawa yang kini tidak mampu berbahasa Jawa halus.
Sebagai akibatnya, tata krama dan sopan santun berbahasa juga mulai berubah.
Lalu bagaimana
agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di negeri ini? Peran seorang ibu
sangat jelas dalam mengajarkan keterampilan berbahasa. Tak usah mencari contoh
jauh-jauh, kita sendiri bisa dan mengerti bahasa Jawa karena mungkin ibu kita
kerap mengajak bercakap dalam bahasa Jawa sejak kecil. Dan itu hanya dilakukan
dalam lingkup rumah saja. Jika bertemu dengan orang dari etnis lain, kita
selalu menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai jembatan
komunikasi.
Memperbanyak
guru-guru yang mengajarkan bahasa daerah. Mentraining mereka sehingga apa yang
mereka sampaikan kepada peserta didik menjadi menarik. Bukan hanya menguasai
materi, tetapi mereka juga mampu menguasai metode dan strategi pembelajaran.
Para kepala dinas di daerah harus membina mereka dan mensejahterakan
penghasilannya sehingga mereka mampu menjadi guru pemandu dalam bahasa
daerahnya masing-masing. Bila mereka mampu menjadi pemandu bahasa daerah, maka
Indonesia akan menjadi sebuah negara terunik di dunia, karena mampu memelihara
bahasa daerah atau bahasa ibunya dengan baik. Itu merupakan salah satu solusi
dalam mencegah terkikis, terkucilnya bahasa daerah dan punahnya bahasa daerah
di negeri kita. Penguasaan bahasa daerah harus tetap ada dalam diri setiap anak
negeri. Mereka harus menyadari dari mana asal-usul mereka dan menguasai bahasa
daerahnya, sehingga ketika ada orang yang sekampung atau serumpun, kita bisa
saling berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar