Kamis, 29 Desember 2016

Tasawuf dan Karakter Bangsa



TASAWUF DAN KARAKTER BANGSA

A.    Mengenal Tasawuf
Para ulama berspekulasi tentang terminologi tasawuf. Sebagian ulama berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata shuffah (pelana kuda), karena dinisbahkan kepada Ahlus shuffah, yakni para sahabat nabi yang mempergunakan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mereka tinggal di samping masjid nabi yang berbantalkan pelana kuda (shuffah).
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Shuf (woll kasar), karena dinisbahkan kepada para wali dan orang-orang yang dengan dengan sengaja berpola hidup sangat sederhana dengan berpakaian kulit binatang (woll kasar) sebagai simbol kesederhanaan hidup.
Tokoh yang pertama kali digelari dengan kata al-Shufi adalah Abu Hasyim al-Kufi al-Shufi (267 H), seorang ahli tasawuf yang sangat sederhana dengan selalu memakai baju dari woll kasar (shuf).
Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah, arti tasawuf dan asal katanya secara bahasa disebutkan sebagai berikut :
1.      Berasal dari kata suffah = segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2.      Berasal dari kata sufatun = bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.      Berasal dari kata suuf al sufa’ = bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4.      Berasal dari kata safa’ = suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
Pendapat di atas menjadi khilaf (perbendaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd Wahid Yahya, banyak perbedaan pendapat mengenai kata “sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya karena semua itu bisa diterima.
Namun secara umum, makna simbolik tasawuf menurut bahasa adalah kebersihan, kesucian, dan kesederhanaan untuk mencapai ma’rifat menjadi insan kamil. Tasawuf adalah proses pembersihan diri pada aspek batiniah melalui amaliah dan olah jiwa atau terapi lahir batin.
Pada awal Islam, pola hidup tasawuf terlihat jelas pada Ahl Suffah yang tinggal di sudut masjid Nabi, seperti Abu Darda dan Abu Hurairah. Mereka hidup sederhana, mengkhususkan diri dalam ibadah, sehingga tasawuf diartikan menempuh jalan hidup sebagaimana ditempuh para sahabat Nabi SAW tersebut.
Para ulama berbeda pandangan tentang akar kata tasawuf. Demikian juga dalam mendefinisikan tasawuf, karena pengalaman yang bersifat rohaniah hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Berikut definisi tasawuf menurut para ahli :
1.      Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyyah
“Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf
2.      Abd al-Husain al-Nur
Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan”
            Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut menunjukkan bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah. Ruh ilahi merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang ber-tasawuf  selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim. Manusia mencapai puncak ma’rifat melalui olah qalbu dan pendidikan ruh, sebagaimana diajarkan Allah dalam hadis Qudsi :
“Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku”
            Hadis Qudsi tersebut menggambarkan bahwa bumi dan langit tidak dapat secara langsung dekat Allah SWT, bahkan andaikata Allah SWT akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah SWT akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin, niscaya akan sanggup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Selain itu, manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian mudah berhubungan, nur dengan nur. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, tasawuf  merupakan jalan pembinaan karakter membentuk pribadi yang sempurna. Dan, sebagai disiplin ilmu, tasawuf dicitrakan sebagai disiplin ilmu yang bersifat personal, ilmu yang terbatas kepemilikannya. Tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang mencangkup :
a.         Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
b.         Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
c.         Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
Dari segi akar, tasawuf muncul dari dimensi ihsan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam totalitas agama Islam. Ihsan dalam hadis Nabi adalah “Hendaklah kamu beribadah seolah-olah melihat-Nya, maka jika kamu tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu”
Tasawuf sebagai amaliah ada sejak awal Islam sebagaimana terlihat dalam gaya hidup Ahl Suffah. Namun, sebagai sebuah gerakan, tasawuf adalah bentuk protes sosial terhadap kehidupan elit yang serba mewah, jauh dari ajaran Islam yang otentik. Gerakan ini menjadi populer atas Hasan al-Bashri di Bashrah, dengan simbol gerakan : “Kembali kepada kehidupan zuhud”
Pada masa keemasan Islam, gerakan tasawuf muncul sebagai antitesa dari trend masyarakat yang hedonistik dan materialistik. Halaqah ilmu (lingkaran studi) dan gerakan alamiah semakin hari semakin berkembang menjadi bidang ilmu yang mandiri. Pada masa ini, tokoh-tokoh sufi besar muncul, seperti Abu Yazid al-Bustami, al-Kusyairi dan lain-lain.
Pada masa kemunduran Islam, setelah kehancuran kota Baghdad (1258 M) sebagai pusat pemerintahan dan peradaban Islam, gerakan tasawuf lebih berperan sebagai basis integritas persaudaraan dan politik umat Islam yang telah porak poranda. Para sufi memasyarakatkan ajaran tasawuf pada masyarakat awam. Para sufi besar menghimpun masyarakat awam dalam suat persaudaraan sufi massal dalam bentuk tarekat-tarekat. Karena umat Islam menghadapi hegemoni dunia Barat dengan tanpa integritas politik yang memadai, umat Islam membutuhkan patronasi dan kedamaian persaudaraan suci. Dan tarekatlah bentuk terakhir gerakan tasawuf sampai dewasa ini.

B.     Pendidikan Karakter Berbasis Tasawuf
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Pendidikan budi pekerti meliputi kemauan dan tindakan, sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills) untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri maupun sesama manusia.
Pada ranah Islam kita mengenal istilah filsafat akhlak yang sangat dekat dengan tasawuf. Tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter. Tokoh utama tasawuf dan pemikir akhlak yang memiliki pengaruh besar dalam tradisi Indonesia adalah Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din. Pendidikan akhlak dipraktekan secara terus menerus sebagai perwujudan iman, islam, dan ihsan.
Dalam kitab Al Risalat Al Qusyairiyyat Fi ‘Ilmi at Tawasuf karangan Abu al Qasim Abdul Karim Hawazin al Qusyairi al Naisaburi mengelompokan nilai pendidikan karakter dalam empat kategori :
1.      Nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan, seperti Tobat, Taqwa, Dzikir, Tauhid, dan sebagainya.
2.      Nilai karakter terhadap diri sendiri, seperti Zuhud, Khusyuk, menentang nafsu, Tawakkal, Syukur, Sabar, Ikhlas, Malu, dan sebagainya.
3.      Nilai karakter terhadap sesama manusia, seperti kesopanan, persahabatan, kemerdekaan, dermawan, murah hati, dan sebagainya.
4.      Nilai karakter terhadap lingkungan yaitu dengan cara menjaga, melestarikan dan memelihara lingkungan alam.
Inti dari teori dan latihan spiritual melalui jalan muhasabah, muraqabah, dan musyahadah. Muhasabah adalah intropeksi diri yang terus menerus agar tidak lalai dari jalan dn tujuan hidup. Muraqabah adalah mendekatkan diri, baik lahir maupun batin, hati maupun perbuatan mencapai ma’rifat Allah. Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi apapun jua, sehingga tidak silau dengan gemerlap kehidupan duniawi.
Pendidikan karakter berbasis tasawuf dilakukan melelui tiga proses yang berkesinambungan yaitu :
1)        Proses takhalli adalah proses pembebasan diri dari penyakit jiwa dan hati melalui kegiatan ta’abbudi, meliputi empat tahap yakni taubat, wara, zuhud, dan tawakkal dalam arti membutuhkan Allah dan rasul-Nya di setiap waktu dan tempat.
2)        Proses tahalli adalah proses pembangunan jiwa dengan cara taqarrub (mendekatkan kualitas diri dengan Allah) tanpa mengharap kompensasi dosa-pahala atau surga-neraka. Tujuan taqarrub adalah mendekatkan diri kepada Allah sampai menyatu dengan-Nya. Terdapat empat tangga yang harus ditempuh dalam kegiatan taqarrub ini yaitu tawakal, sabar, rida, dan syukur.
3)        Proses tajalli adalah proses pencerahan jiwa yang bersifat ilahiah melalui amal saleh dan kontemplasi. Proses tajalli ini memiliki empat tahap yaitu mahabbah (cinta Tuhan), makrifah, hakikat,  dan kasyaf (tersingkapnya tabir dengan sirr).
Membicarakan tasawuf tak lengkap tanpa membicarakan maqamat. Selama ini maqamat selalu dipahami secara tradisional, yaitu pandangan bahwa maqamat tersebut sekedar tahapan-tahapan sufistik. Amir An-Najar memahami maqamat sebagai sebuah metode konseling transpersonal atau metode psikoterapi sufistik modern. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter berbasis tasawuf, proses pembentukan karakter ditempuh melalui ta’alluq (relationship), tahaqquq (realization), dan takhalluq (adoption).
Maqamat dengan segala perbedaan rumusan dari para ahli sufi, sejatinya adalah langkah-langkah sistematis dalam Zero Mind Process. Pembersihan hati dan stabilitas emosi dilakukan terlebih dahulu agar tidak ada penghalang proses adopsi sifat-sifat Allah. Dengan meminjam sistematika maqamat yang dirumuskan oleh Abu Nasr al-Sarraj yang meliputi :
-            Taubat, membersihkan diri dari perilaku nista yang merugikan diri dan orang lain. Taubat sekaligus menjadi komitmen pelurusan misi hidup seseorang untuk hanya mengorientasikan hidup kepada Allah.
-            Wara’, membersihkan diri dari sikap hidup yang ceroboh dan gegabah yang tidak peduli dengan aturan Allah.
-            Zuhud, membersihkan diri dari sikap tamak, rakus dan menggantungkan diri kepada orng lain.
-            Faqr, membersihkan diri dari sikap materialistis dan hedonis.
-            Sabar, membersihkan diri dari amarah dalam menghadapi kesulitan.
-            Tawakal, membersihkan diri dari sikap pesimis.
-            Ridla, membersihkan diri dari sikap putus asa.
Demikianlah maqamat sebagai proses penjernihan emosi yang akan mengawal langkah relationship, realization dan adoption dalam proses pembentukan karakter.
Dalam konteks Islam, pendidikan karakter sudah semestinya mengadopsi dan mereduplikasi pola pendidikan tasawuf dalam sistem pendidikan formal. Model pendidikan karakter dilakukan melalui metode ta’alluq (relationship), tahaqquq (realization), dan takhalluq (adoption) yang dibingkai dalam tangga maqamat sebagai proses penyucian diri dan stabilisasi emosi yang dewasa ini popular dengan sebutan Zero Mind Process. Metode yang digunakan adalah ketauladanan, pembiasaan, kedisiplinan, nasehat dan bimbingan menuju taqwa dengan cara beribadah kepada Allah.




DAFTAR PUSTAKA
Editor : Fadlullah, S.Ag., M.SI. 2016. Khazanah Peradaban Islam Nusantara. Serang : CV.
            Tiara Kerta Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar