TASAWUF DAN
KARAKTER BANGSA
A.
Mengenal Tasawuf
Para ulama berspekulasi tentang
terminologi tasawuf. Sebagian ulama berpendapat bahwa tasawuf
berasal dari kata shuffah (pelana
kuda), karena dinisbahkan kepada Ahlus
shuffah, yakni para sahabat nabi yang mempergunakan seluruh hidupnya hanya
untuk beribadah kepada Allah. Mereka tinggal di samping masjid nabi yang
berbantalkan pelana kuda (shuffah).
Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf
berasal dari kata Shuf (woll kasar),
karena dinisbahkan kepada para wali dan orang-orang yang dengan dengan sengaja
berpola hidup sangat sederhana dengan berpakaian kulit binatang (woll kasar)
sebagai simbol kesederhanaan hidup.
Tokoh yang pertama kali digelari dengan
kata al-Shufi adalah Abu Hasyim al-Kufi al-Shufi (267 H), seorang ahli tasawuf
yang sangat sederhana dengan selalu memakai baju dari woll kasar (shuf).
Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah, arti
tasawuf dan asal katanya secara bahasa disebutkan sebagai berikut :
1.
Berasal dari
kata suffah = segolongan
sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena
di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk
mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum
menerima fatwa itu.
2.
Berasal dari
kata sufatun = bulu binatang, sebab
orang yang memasuki tasawuf itu memakai
baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah
sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.
Berasal dari
kata suuf al sufa’ = bulu yang
terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi
itu bersifat lembut-lembut.
4.
Berasal dari
kata safa’ = suci bersih, lawan
kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih
lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang
dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
Pendapat
di atas menjadi khilaf (perbendaan
pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari
makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd Wahid Yahya, banyak perbedaan
pendapat mengenai kata “sufi” dan
telah ditetapkan ketentuan yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang
lebih utama dari pendapat lainnya karena semua itu bisa diterima.
Namun
secara umum, makna simbolik tasawuf menurut bahasa adalah
kebersihan, kesucian, dan kesederhanaan untuk mencapai ma’rifat menjadi insan kamil.
Tasawuf adalah proses pembersihan diri pada aspek batiniah melalui amaliah dan olah
jiwa atau terapi lahir batin.
Pada
awal Islam, pola hidup tasawuf terlihat jelas pada Ahl Suffah yang tinggal di
sudut masjid Nabi, seperti Abu Darda dan Abu Hurairah. Mereka hidup sederhana,
mengkhususkan diri dalam ibadah, sehingga tasawuf diartikan menempuh jalan
hidup sebagaimana ditempuh para sahabat Nabi SAW tersebut.
Para
ulama berbeda pandangan tentang akar kata tasawuf. Demikian juga dalam
mendefinisikan tasawuf, karena pengalaman yang bersifat rohaniah hampir tidak
mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Berikut definisi tasawuf
menurut para ahli :
1.
Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyyah
“Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan
dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya
dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan
tasawuf”
2.
Abd al-Husain al-Nur
“Tasawuf adalah
kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan”
Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut menunjukkan
bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak terpisah. Ruh ilahi merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang ber-tasawuf
selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim. Manusia mencapai puncak
ma’rifat melalui olah qalbu dan
pendidikan ruh, sebagaimana diajarkan Allah dalam hadis Qudsi :
“Allah
berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku
tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya
orang mukmin dapat memuat Aku”
Hadis Qudsi tersebut menggambarkan bahwa bumi dan langit
tidak dapat secara langsung dekat Allah SWT, bahkan andaikata Allah SWT akan
ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa
dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah SWT akan ditempatkan dan diletakkan
dalam qalbu-nya orang mukmin, niscaya
akan sanggup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi martabatnya,
dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Selain itu, manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian
mudah berhubungan, nur dengan nur.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan,
tasawuf merupakan jalan pembinaan karakter membentuk pribadi
yang sempurna. Dan, sebagai disiplin ilmu, tasawuf dicitrakan sebagai disiplin ilmu yang
bersifat personal, ilmu yang terbatas kepemilikannya. Tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni
atau psikologi murni yang mencangkup :
a.
Penyerahan diri
sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
b.
Penanggalan
secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat
jelek.
c.
Pemusatan pada
perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
Dari
segi akar, tasawuf muncul dari dimensi ihsan yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam totalitas agama Islam. Ihsan dalam hadis Nabi adalah
“Hendaklah kamu beribadah seolah-olah melihat-Nya, maka jika kamu tidak dapat
melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu”
Tasawuf
sebagai amaliah ada sejak awal Islam sebagaimana terlihat dalam gaya hidup Ahl
Suffah. Namun, sebagai sebuah gerakan, tasawuf adalah bentuk protes sosial
terhadap kehidupan elit yang serba mewah, jauh dari ajaran Islam yang otentik.
Gerakan ini menjadi populer atas Hasan al-Bashri di Bashrah, dengan simbol
gerakan : “Kembali kepada kehidupan zuhud”
Pada masa keemasan Islam,
gerakan tasawuf muncul sebagai antitesa dari trend masyarakat yang hedonistik dan materialistik.
Halaqah ilmu (lingkaran studi) dan gerakan alamiah semakin hari semakin
berkembang menjadi bidang ilmu yang mandiri. Pada masa ini, tokoh-tokoh sufi
besar muncul, seperti Abu Yazid al-Bustami, al-Kusyairi dan lain-lain.
Pada
masa kemunduran Islam, setelah kehancuran kota Baghdad (1258 M) sebagai pusat
pemerintahan dan peradaban Islam, gerakan tasawuf lebih berperan sebagai basis
integritas persaudaraan dan politik umat Islam yang telah porak poranda. Para
sufi memasyarakatkan ajaran tasawuf pada masyarakat awam. Para sufi besar
menghimpun masyarakat awam dalam suat persaudaraan sufi massal dalam bentuk tarekat-tarekat.
Karena umat Islam menghadapi hegemoni dunia Barat dengan tanpa integritas
politik yang memadai, umat Islam membutuhkan patronasi dan kedamaian
persaudaraan suci. Dan tarekatlah bentuk terakhir gerakan tasawuf sampai dewasa
ini.
B.
Pendidikan Karakter Berbasis Tasawuf
Menurut
Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Pendidikan
budi pekerti meliputi kemauan dan tindakan, sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills) untuk
melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri maupun sesama
manusia.
Pada ranah Islam
kita mengenal istilah filsafat akhlak yang sangat dekat dengan tasawuf. Tasawuf
sebagai akar dari filsafat akhlak memberikan pengaruh terhadap pembentukan
karakter. Tokoh
utama tasawuf dan pemikir akhlak yang memiliki pengaruh besar dalam tradisi
Indonesia adalah Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din. Pendidikan akhlak dipraktekan secara terus menerus
sebagai perwujudan iman, islam, dan ihsan.
Dalam kitab Al Risalat Al Qusyairiyyat Fi ‘Ilmi at Tawasuf karangan Abu al Qasim Abdul Karim Hawazin al Qusyairi
al Naisaburi mengelompokan nilai pendidikan karakter dalam empat kategori :
1.
Nilai pendidikan
karakter terhadap Tuhan, seperti Tobat, Taqwa, Dzikir, Tauhid,
dan
sebagainya.
2.
Nilai karakter
terhadap diri sendiri, seperti Zuhud, Khusyuk, menentang nafsu, Tawakkal, Syukur, Sabar, Ikhlas, Malu, dan sebagainya.
3.
Nilai karakter
terhadap sesama manusia, seperti kesopanan,
persahabatan, kemerdekaan, dermawan, murah hati, dan sebagainya.
4.
Nilai karakter
terhadap lingkungan yaitu dengan cara menjaga,
melestarikan dan memelihara lingkungan alam.
Inti dari teori dan latihan spiritual
melalui jalan muhasabah, muraqabah, dan musyahadah. Muhasabah adalah intropeksi diri yang terus menerus
agar tidak lalai dari jalan dn tujuan hidup. Muraqabah adalah mendekatkan diri,
baik lahir maupun batin, hati maupun perbuatan mencapai ma’rifat Allah.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh
eksistensi apapun jua, sehingga tidak silau dengan
gemerlap
kehidupan duniawi.
Pendidikan karakter berbasis tasawuf
dilakukan melelui tiga proses yang berkesinambungan yaitu :
1)
Proses takhalli adalah proses pembebasan diri
dari penyakit jiwa dan hati melalui kegiatan ta’abbudi, meliputi empat tahap yakni taubat, wara’, zuhud, dan tawakkal dalam arti membutuhkan Allah dan rasul-Nya
di setiap waktu dan tempat.
2)
Proses tahalli adalah proses pembangunan jiwa
dengan cara taqarrub (mendekatkan kualitas diri dengan Allah) tanpa mengharap kompensasi
dosa-pahala atau surga-neraka. Tujuan taqarrub adalah mendekatkan diri kepada Allah sampai menyatu
dengan-Nya. Terdapat empat tangga yang
harus ditempuh dalam kegiatan taqarrub
ini
yaitu tawakal, sabar, rida,
dan
syukur.
3)
Proses tajalli adalah proses pencerahan jiwa
yang bersifat ilahiah melalui
amal saleh dan kontemplasi. Proses tajalli
ini memiliki empat tahap yaitu mahabbah (cinta Tuhan), makrifah, hakikat, dan kasyaf (tersingkapnya tabir dengan sirr).
Membicarakan
tasawuf tak lengkap tanpa membicarakan maqamat.
Selama ini maqamat selalu dipahami
secara tradisional, yaitu pandangan bahwa maqamat
tersebut sekedar tahapan-tahapan sufistik. Amir
An-Najar memahami maqamat sebagai
sebuah metode konseling transpersonal atau metode psikoterapi sufistik modern. Dalam kaitannya
dengan pendidikan karakter
berbasis tasawuf, proses pembentukan karakter ditempuh melalui ta’alluq (relationship), tahaqquq
(realization), dan takhalluq
(adoption).
Maqamat
dengan segala perbedaan rumusan dari para ahli sufi, sejatinya adalah
langkah-langkah sistematis dalam Zero
Mind Process. Pembersihan hati dan stabilitas emosi dilakukan terlebih
dahulu agar tidak ada penghalang proses adopsi sifat-sifat Allah. Dengan meminjam sistematika maqamat yang dirumuskan
oleh Abu Nasr al-Sarraj yang meliputi :
-
Taubat, membersihkan diri dari perilaku nista yang
merugikan diri dan orang lain. Taubat sekaligus menjadi komitmen pelurusan misi hidup
seseorang untuk hanya mengorientasikan hidup kepada Allah.
-
Wara’, membersihkan diri dari sikap hidup yang ceroboh dan
gegabah yang tidak peduli dengan aturan Allah.
-
Zuhud, membersihkan diri dari sikap tamak, rakus dan
menggantungkan diri kepada orng lain.
-
Faqr, membersihkan diri dari sikap materialistis dan hedonis.
-
Sabar, membersihkan diri dari amarah dalam menghadapi
kesulitan.
-
Tawakal, membersihkan diri dari sikap pesimis.
-
Ridla, membersihkan diri dari sikap putus asa.
Demikianlah
maqamat sebagai proses penjernihan emosi yang akan mengawal langkah
relationship, realization dan adoption dalam proses pembentukan karakter.
Dalam
konteks Islam, pendidikan karakter sudah semestinya mengadopsi dan
mereduplikasi pola pendidikan tasawuf dalam sistem pendidikan formal. Model
pendidikan karakter dilakukan melalui metode ta’alluq (relationship),
tahaqquq (realization),
dan takhalluq
(adoption)
yang dibingkai dalam tangga maqamat sebagai proses
penyucian diri dan stabilisasi emosi yang dewasa ini
popular dengan sebutan Zero Mind Process. Metode yang digunakan adalah
ketauladanan, pembiasaan, kedisiplinan, nasehat
dan bimbingan menuju taqwa dengan cara beribadah
kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Editor : Fadlullah, S.Ag.,
M.SI. 2016. Khazanah Peradaban Islam
Nusantara. Serang : CV.
Tiara Kerta Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar