Kamis, 29 Desember 2016

Broken Home



BROKEN HOME

A.    Pengertian Keluarga
Keluarga berarti nuclear family yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisahkan tetapi bahu-membahu dalam melaksanakan tanggungjawab.
Pengertian keluarga menurut para ahli:
1.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keluarga adalah bagian dari masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapak dan anak-anaknya (KBBI, 2013). 
2.      Menurut Murdock. Murdock dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) menguraikan bahwa “Keluarga kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi”.
3.      Menurut Reiss. Reiss dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) mengatakan bahwa “Keluarga suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru”.
4.      Menurut Sayekti Pujosowarno (1994:11): “keluarga merupakan sesuatu persetujuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki dan perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam rumah tangga.”
5.      Menurut Bustaman (2001:89): “keluarga adalah kelompok-kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan darah yang membentuk satu sama lain dan berikatan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang berlaku dan menciptakan kebudayaan itu sendiri.”
6.      Menurut Siti Meichati (dalam Sayekti Pujosuwarno, 1994:54): “keluarga adalah suatu ikatan sehuluan hidup atas dasar perkawinan antar orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak baik anak sendiri atau adopsi yang tinggal dalam sebuah rumah tangga.”
7.      Menurut Soerjono Soekanto (1992:1): “Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya”. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan pondasi pertama bagi perkembangan anak untuk selanjutnya.
8.      Menurut Kartini Kartono (2003:57): “keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak”.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang diikat  dengan tali perkawinan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak.

B.     Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak adalah keturunan yang kedua (KBBI, 2013). “Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masapubertas” (“Anak,” 2014).

C.    Pengertian Dan Keadaan Keluarga Broken Home
Menurut Matinka (2011, h. 6), Broken home adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalannya kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan dalam keluarga tersebut”.
Tidak luput dari kenyataan yang ada bahwa semakin hari semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup, atau sebab-sebab lainnya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal dari kedua belah pihak. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor kejiwaan termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu, sangatlah penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadianlah yang menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya. Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab itu saling pengertian antarpasangan juga sangatlah penting.
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif. Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara satu pasangan dengan pasangannya.
Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan kejiwaan anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian dari orang tuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orang tua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alas an untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita pekerja dengan beralih membantu perekonomian keluarga ataupun berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak ditemukan ibu menjadi seorang superwoman yang bekerja dua puluh empat jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih untuk bercerai. Namun, di saat orang tua dapat mempertahankan keluarganya secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara psikologis mereka pun bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orang tua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orang tua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga juga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orang tualah yang selalu membuat anak harus mengerti keadaan orang tuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dipungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu anak dalam menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan kewajiban orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.

D.    Ciri-Ciri Keluarga Broken Home
Keluarga broken home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja. Keluarga broken home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orang tua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orang tua pada dasarnya adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik dan buruk, sebagai motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang, dan sebagainya. Jika fungsi orang tua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa dimungkinkan tak terjadi.
Pada hakikatnya, anak membutuhkan orang tuanya untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figur sampel dalam internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orang tua sebagaimana mestinya, maka hal ini bisa terhambat. Proses pencarian identitas dalam kondisi serupa ini bisa jadi meriam bagi remaja itu. Remaja itu dimungkinkan membentuk kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan terisolasi. Proses pencarian identitas akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas. Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku yang delinquency atau bahkan patologis. Jika keadaan keluarga yang broken home itu dirasakannya sangat menekan dirinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh  Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi daripada rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga broken home. Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja. Jika dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan yang bias menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
Munculnya masalah broken home menimbulkan suatu perasaan menyesal pada remaja, dan melakukan identifikasi ulang. Ketiadaannya dukungan sosial menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk melakukan reidentifikasinya. Orang tua yang semulanya menjadi teladan, akan dianggap sebagai pembawa petaka baginya. Dari asumsi ini muncullah rasa ketidakpercayaan pada diri remaja itu. Munculnya rasa ketidakpercayaan ini menyebabkan cinta kepada orang tuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan dengan orang tua semakin kecil, sehingga asumsi-asumsi negatif kepada orang tua mulai muncul. Dari asumsi itu muncullah asumsi bahwa orang tuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Perkuatan muncul apabila tidak adanya perhatian secara fisikal yang ditujukan pada remaja itu.

E.     Penyebab Broken Home
Penyebab utama. Setiap keluarga selalu mendambakan sebuah keluarga yang utuh dan harmonis, jauh dari pertengkaran atau perpecahan. Namun, setiap keluarga memiliki masalah dan masalah itu tidak datang begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebabnya.
Penyebab utama terjadinya broken home, yaitu: (a) perceraian, terjadi akibat disorientasi antara suami istri dalam membangun rumah tangga; (b) kebudayaan bisu, ketika tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga; (c) ketidakdewasaan sikap orangtua, karena orangtua  hanya memikirkan diri mereka daripada anak; dan (d) orangtua yang kurang rasa tanggung jawab dengan alasan kesibukan bekerja. Mereka hanya terfokus  pada materi yang akan didapat dibandingkan dengan melaksanakan tanggung jawab di dalam keluarga.
Penyebab tambahan. Penyebab tambahan yang memicu terjadinya broken home, yaitu: (a) perang dingin dalam keluarga, karena adanya perselisihan atau rasa benci; (b) kurang mendekatkan diri pada Tuhan, yang membuat orangtua tidak dapat mendidik anaknya dari segi keagamaan; (c) masalah ekonomi, yang tidak jarang menjadi sebab pertengkaran maupun berakhir dengan perceraian;  dan (d) masalah pendidikan, kurangnya pengetahuan suami ataupun istri terhadap keluarga mereka sendiri.

F.     Dampak Broken Home terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak
Dampak pada anak-anak pada masa ketidakharmonisan, belum sampai bercerai namun sudah mulai tidak harmonis:
1.      Anak mulai menderita kecemasan yangtinggi dan ketakutan.
2.      Anak merasa terjepit ditengah-tengah, karena harus memilih antara ibu atau ayah.
3.      Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
4.      Kalau kedua orangtuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya.

Dampak psikologis. Setiap keluarga yang mengalami broken home biasanya akan berdampak anak-anaknya. Orang tua tidak pernah memikirkan konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Dampak paling utama yang akan melekat sampai anak tersebut dewasa adalah dampak psikologis. Seorang anak dapat berkembang dengan baik jika kebutuhan psikologisnya juga baik.  
Secara umum anak yang mengalami broken home memiliki: (a) ketakutan yang berlebihan, (b) tidak mau berinteraksi dengan sesama, (c) menutup diri dari lingkungan, (d) emosional, (e) sensitif, (f) temperamen tinggi, dan (g) labil. Sebenarnya, dampak psikologis yang diterima seorang anak berbeda-beda tergantung usia atau tingkatan perkembangan anak.
Dampak bagi prestasi anak. Akibat dari broken home juga mempengaruhi prestasi anak tersebut. Anak broken home cenderung menjadi malas dan tidak memiliki motivasi untuk belajar. Berdasarkan sampel penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa.
Dampak bagi perilaku remaja. Remaja broken home yang kurang perhatian membuat self esteem dan self confident rendah sehingga anak cenderung mencari perhatian dari lingkungan. Biasanya dengan memberontak, melakukan bullying, dan bersikap deduktif terhadap lingkungan, seperti merokok, free sex, dan minum minuman keras.
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran, bisa muncul 3 kategori anak:
1.      Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali.
2.      Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena:
·      Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.
·      Dia harus kehilangan hidup yang tentram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya karena memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
·      Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan ibu, itu berarti ada yang hilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
3.      Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.

G.    Gangguan Kejiwaan Pada Seorang Anak Broken Home
1.      Broken Heart
Jika seorang anak yang merupakan laki-laki merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk sang anak menjadi orang yang krisis kasih sayang dan biasanya lari kepada yang bersifat keanehan seksual. Contohnya adalah seks bebas, homoseksual, lesbian (jika anak tersebut adalah seorang wanita), menjadi simpanan orang serta tertarik dengan istri atau suami orang lain dan hal lainnya.

2.      Broken Relation
Sang anak merasa bahwa tidak ada orang yang perlu dihargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk anak menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan, mencari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain serta cenderung semaunya sendiri.

3.      Broken Values 
Si pemuda kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”. Pada intinya , dia akan melakukan apa yang menyenangkan hatinya dan dia akan menghindari hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya.

H.    Peran Orang Tua Terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak
Perceraian selalu berdampak buruk dan terasa amat pahit bagi anak-anak. Dan ini jelas memberikan perasaan sedih serta takut pada diri anak. Sehingga, ia akan tumbuh dengan jiwa yang tidak sehat. Berikut ini beberapa saran untuk mengatasi kesedihan anak dalam melewati proses perceraian orang tuanya:
1.      Dukungan untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik yang positif maupun negatif, mengenai apa yang sudah terjadi. Sangatlah penting bagi orang tua yang akan bercerai ataupun yang sudah bercerai untuk memberi dukungan kepada anak-anak mereka serta mendukung mereka untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Dalam hal ini kita tidak boleh melibatkan perasaan. Seringkali terjadi, perasaan akan kehilangan salah satu orang tua akibat perceraian menyebabkan anak-anak menyalahkan salah satu dari kedua orang tuanya (atau kedua-duanya) dan mereka merasa dikhianati. Jadi, harus betul-betulsiap untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan anak atau keprihatinan yang mereka miliki.
2.      Beri kesempatan pada anak untuk membicarakan mengenai perceraian dan bagaimana perceraian tersebut berpengaruh pada dirinya. Anak-anak yang usianya lebih besar, tanpa terduga, bisa mengajukan pertanyaan dan keprihatinan yang berbeda, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya. Meski mengejutkan dan terasa menyudutkan, tetaplah bersikap terbuka.
3.      Bila merasa tidak sanggup membantu anak, minta orang lain melakukannya. Misalnya, sanak keluarga yang dekat dengan si anak.
4.      Sangatlah wajar bagi anak-anak jika memiliki berbagai macam emosi dan reaksi terhadap perceraian orang tuanya. Bisa saja mereka merasa bersalah dan menduga-duga, merekalah penyebab dari perceraian. Anak-anak marah dan merasa ketakutan. Mereka khawatir akan ditelantarkan oleh orang tua yang bercerai.
5.      Ada anak-anak yang sanggup untuk menyuarakan perasaan mereka dan ada juga yang tidak. Hal ini tergantung dari usia dan perkembangan mereka. Untuk anak-anak usia sekolah, jelas sekali perceraian mengakibatkan turunnya nilai pelajaran mereka di sekolah. Walaupun untuk beberapa lama anak-anak akan berusaha mati-matian menghadapi perceraian orang tuanya, pengaruh nyata dari perceraian biasanya dirasakan anak berusia 2 tahun ke atas.
6.      Jangan menjelek-jelekan mantan pasangan di depan anak walaupun masih marah atau bermusuhan dengan bekas suami. Hal ini merupakan salah satu yang sulit untuk dilakukan tapi harus berusaha keras untuk mencobanya. Jika hal itu terus saja dilakukan, anak akan merasa, ayah atau ibunya jahat, pengkhianat, atau pembohong. Pada anak tertentu, hal itu akan menyebabkan ia jadi dendam dan bahkan bisa trauma untuk menikah karena takut diperlakukan serupa.
7.      Anak-anak tidak perlu merasa mereka harus bertindak sebagai “penyambung lidah” bagi kedua orangtuanya. Misalnya, kita berujar, “Bilang, tuh, sama ayahmu, kamu sudah harus bayaran uang sekolah.”
8.      Minta dukungan dari sanak keluarga dan teman-teman dekat. Orang tua tunggal memerlukan dukungan. Dukungan dari keluarga, sahabat, atau pemuka agama, yang dapat membantu kita dan anak kita untuk menyesuaikan diri dengan perpisahan dan perceraian. Hal lain yang juga dapat menolong adalah memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bertemu dengan orang lain yang telah berhasil melewati masa-masa perceraian dengan baik.
9.      Bilamana mungkin, dukung anak-anak agar memiliki pandangan yang positif terhadap kedua orang tuanya. Walaupun pada situasi yang baik, perpisahan dan perceraian dapat sangat menyakitkan dan mengecewakan bagi kebanyakan anak-anak. Dan tentu saja secara emosional juga sulit bagi para orang tua.

I.       Efek-Efek Kehidupan Seorang Anak Broken Home
1.      Academic Problem, seseorang yang mengalami broken home akan menjadi orang yang malas belajar dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi.
2.      Behavioural Problem, mereka mulai memberontak, kasar, masa bodoh, memiliki kebiasaan merusak, seperti mulai merokok, minum-minuman keras, judi dan lari ke tempat pelacuran.
3.      Sexual Problem, krisis kasih sayang mereka coba tutupi dengan mencukupi kebutuhan hawa nafsu.
4.      Spiritual Problem, mereka kehilangan Father’s figure sehingga Tuhan, pendeta atau orang-orang rohani hanya bagian dari sebuah sandiwara kemunafikan.

J.      Cara Membangkitkan Motivasi Anak Korban Broken Home
Tidak semua orang berpandangan bahwa broken home adalah hal yang negatif. Ada yang berpikir bahwa broken home adalah jalan yang terbaik bagi keluarganya. Ada beberapa cara untuk meminimalisir atau mengatasi broken home, antara lain (a) mendekatkan diri kepada Tuhan, (b) berpikir dan berperilaku positif, (c) saling berbagi, dan (d) mencari kegiatan positif.
Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan mengalami sebuah perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orang tuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orang tua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orang tuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orang tua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok, dan jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.  Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.


DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
            Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar