BROKEN
HOME
A. Pengertian
Keluarga
Keluarga berarti nuclear
family yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisahkan tetapi bahu-membahu
dalam melaksanakan tanggungjawab.
Pengertian
keluarga menurut para ahli:
1.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keluarga
adalah bagian dari masyarakat besar yang terdiri dari ibu bapak dan
anak-anaknya (KBBI, 2013).
2.
Menurut Murdock. Murdock
dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) menguraikan bahwa “Keluarga kelompok sosial
yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan
terjadi proses reproduksi”.
3.
Menurut Reiss.
Reiss dikutip dalam Lestari (2012, h. 6) mengatakan bahwa “Keluarga suatu
kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi
utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru”.
4.
Menurut
Sayekti Pujosowarno (1994:11): “keluarga merupakan
sesuatu persetujuan
hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki dan perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam rumah tangga.”
5.
Menurut
Bustaman (2001:89): “keluarga adalah kelompok-kelompok
orang yang
dipersatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan
darah yang membentuk satu
sama lain dan
berikatan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai anggota keluarga dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang
berlaku dan menciptakan kebudayaan
itu sendiri.”
6.
Menurut Siti
Meichati (dalam Sayekti Pujosuwarno, 1994:54): “keluarga adalah suatu ikatan sehuluan hidup atas
dasar perkawinan antar orang dewasa
yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau
tanpa anak-anak baik anak sendiri
atau adopsi yang tinggal dalam sebuah rumah tangga.”
7.
Menurut Soerjono Soekanto (1992:1): “Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya”.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan pondasi
pertama bagi perkembangan anak untuk
selanjutnya.
8.
Menurut
Kartini Kartono (2003:57):
“keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang memberikan
pondasi primer bagi perkembangan anak”.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
keluarga merupakan kelompok sosial
terkecil yang diikat dengan tali perkawinan
yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak.
B. Pengertian
Anak
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak
adalah keturunan yang kedua (KBBI, 2013). “Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masapubertas”
(“Anak,” 2014).
C.
Pengertian Dan Keadaan Keluarga Broken Home
Menurut Matinka
(2011, h. 6), “Broken home adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalannya
kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan terjadinya konflik
dan perpecahan dalam keluarga tersebut”.
Tidak luput dari kenyataan yang
ada bahwa semakin hari semakin banyak
keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh
perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup,
atau sebab-sebab lainnya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal dari kedua belah pihak. Akan
tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu sama halnya dengan kasus-kasus
sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral.
Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk.
Kedekatan fisikal juga menjadi
alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa
kedekatan fisik tidak mempengaruhi
kedekatan personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam
komunikasi ini, berbagai faktor kejiwaan termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat
perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara
suami istri ini
seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu, sangatlah penting rasa saling percaya,
saling terbuka, dan saling suka
diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadianlah yang menentukan
penerimaan peran dari pasangan komunikasinya.
Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab itu saling pengertian
antarpasangan juga sangatlah penting.
Dalam suasana keluarga yang
broken home
bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga
menyebabkan berkurangnya ketertarikan
antardiri pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif.
Dalam hal ini, dapat diuraikan
bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan
rasa saling
menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara
satu pasangan dengan pasangannya.
Dari semua fenomena di atas, akan
bisa berdampak pada perkembangan
kejiwaan anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti
yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Pengaruh
faktor broken home keluarga
menjadi faktor
negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga
bisa mengalami hambatan. Hal ini
dikarenakan adanya pengabaian dari orang tuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian
yang sehat yang terwujud dalam kepribadian
anak.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam
kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya,
keluarga merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan
mendapatkan pendidikan pertama mengenai
berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan
santun, aturan bermasyarakat, dan
aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan.
Keluarga juga yang akan menjadi motivator
terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat
saat ini,
fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orang tua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya
dengan alas an untuk
menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman
sekarang bekerja di luar kota dan hanya
pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam
mendidik serta mengatur seluruh
kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita pekerja
dengan beralih membantu perekonomian keluarga
ataupun berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak ditemukan ibu menjadi
seorang superwoman yang bekerja dua puluh empat jam sehari tanpa henti, barangkali
waktu istirahat ibu hanyalah beberapa
jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar rumah dan bekerja di rumah
tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan
dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi,
keluarga menjadi
pecah dan tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena kesibukan
masing-masing atau karena egonya,
maka mereka memilih untuk bercerai. Namun, di saat orang tua dapat mempertahankan keluarganya secara utuh tanpa ada
komunikasi yang hangat antara anggota
keluarganya, secara psikologis mereka pun
bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya
waktu banyak
untuk berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orang tua pulang bekerja, anak sudah
tertidur dengan lelapnya dan saat anak
terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan
mengeluh, orang tua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu
bekerja untuk kepentingan anak dan
keluarga juga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orang tualah yang selalu membuat anak harus mengerti keadaan orang tuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun
anak yang berasal dari keluarga
yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak
dapat dipungkiri
kebutuhan ekonomi
yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orang tua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama
pentingnya dengan memenuhi kebutuhan
hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan
hanya dari pengasuhnya atau pun dari
nenek kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak
dari orang
tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya
untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya.
Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di
sekolah yang merasa aneh, jika temannya
mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya
dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan
dari orang
tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya.
Selain itu, belaian, pelukan, ciuman,
kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu anak dalam menguasai
emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat ada aturan tidak tertulis
yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau budaya dan norma hukum
sebaiknya diberikan kepada anak sejak
masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan anak dapat menjadi warga
masyarakat yang baik, khususnya saat anak
mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma
tersebut, sudah
merupakan kewajiban orang tua
sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan
logis sesuai dengan perkembangan
usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma
masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan
kesibukan orang tua
serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter mudah emosi
(sensitif), kurang konsentrasi belajar,
tidak peduli terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika bermasyarakat, mudah marah
dan cepat tersinggung, senang
mencari perhatian orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak memiliki tujuan hidup, dan kurang
memiliki daya juang.
D. Ciri-Ciri Keluarga Broken Home
Keluarga broken
home bukan hanya keluarga dengan
kasus perceraian saja. Keluarga broken home secara
keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orang tua tidak berjalan baik secara
fungsional. Fungsi orang tua pada dasarnya
adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik dan buruk, sebagai motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk
mendapatkan kasih sayang, dan sebagainya.
Jika fungsi orang tua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa dimungkinkan tak terjadi.
Pada hakikatnya, anak membutuhkan orang tuanya untuk
mengembangkan kepribadian yang sehat.
Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figur sampel dalam internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak
berfungsinya peran orang tua sebagaimana
mestinya, maka hal ini bisa terhambat. Proses pencarian identitas dalam kondisi serupa ini bisa jadi meriam bagi
remaja itu. Remaja itu dimungkinkan
membentuk kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan terisolasi. Proses pencarian
identitas akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas. Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa
mengembangkan perilaku
yang delinquency atau bahkan patologis. Jika keadaan keluarga yang broken
home itu dirasakannya sangat menekan dirinya. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya,
menyimpulkan bahwa agresivitas
pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi
daripada rekannya yang
tidak mengalami kasus broken home.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam
keluarga broken home. Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja. Jika
dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan
sebagai tekanan yang bias menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
Munculnya masalah broken home menimbulkan suatu perasaan menyesal pada remaja, dan melakukan identifikasi
ulang. Ketiadaannya dukungan
sosial menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk melakukan reidentifikasinya. Orang tua yang
semulanya menjadi teladan, akan dianggap
sebagai pembawa petaka baginya. Dari asumsi ini muncullah rasa ketidakpercayaan pada diri remaja itu. Munculnya
rasa ketidakpercayaan ini menyebabkan
cinta kepada orang tuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan dengan orang tua semakin kecil, sehingga
asumsi-asumsi negatif kepada orang tua mulai
muncul. Dari asumsi itu muncullah asumsi bahwa orang tuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Perkuatan muncul apabila tidak
adanya perhatian secara fisikal
yang ditujukan pada remaja itu.
E. Penyebab
Broken Home
Penyebab
utama. Setiap keluarga selalu
mendambakan sebuah keluarga yang utuh dan harmonis, jauh dari pertengkaran atau
perpecahan. Namun, setiap keluarga memiliki masalah dan masalah itu tidak
datang begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebabnya.
Penyebab
utama terjadinya broken home, yaitu: (a) perceraian, terjadi akibat
disorientasi antara suami istri dalam membangun rumah tangga; (b) kebudayaan
bisu, ketika tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga; (c)
ketidakdewasaan sikap orangtua, karena orangtua hanya memikirkan diri mereka daripada anak; dan (d) orangtua yang
kurang rasa tanggung jawab dengan alasan kesibukan bekerja. Mereka hanya
terfokus pada materi yang akan didapat
dibandingkan dengan melaksanakan tanggung jawab di dalam keluarga.
Penyebab
tambahan. Penyebab tambahan yang memicu terjadinya broken
home, yaitu: (a) perang dingin dalam keluarga, karena adanya perselisihan atau
rasa benci; (b) kurang mendekatkan diri pada Tuhan, yang membuat orangtua tidak
dapat mendidik anaknya dari segi keagamaan; (c) masalah ekonomi, yang tidak
jarang menjadi sebab pertengkaran maupun berakhir dengan perceraian; dan (d) masalah pendidikan, kurangnya pengetahuan suami ataupun
istri terhadap keluarga mereka sendiri.
F. Dampak Broken Home terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak
Dampak pada anak-anak pada masa ketidakharmonisan, belum sampai bercerai namun
sudah mulai tidak harmonis:
1.
Anak mulai menderita kecemasan
yangtinggi dan ketakutan.
2.
Anak merasa terjepit ditengah-tengah, karena harus memilih
antara ibu atau ayah.
3.
Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
4.
Kalau kedua orangtuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci
salah satu orang tuanya.
Dampak
psikologis. Setiap keluarga yang mengalami broken home
biasanya akan berdampak anak-anaknya. Orang tua tidak pernah memikirkan konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Dampak
paling utama yang akan melekat sampai anak tersebut dewasa adalah dampak
psikologis. Seorang anak dapat berkembang dengan baik jika kebutuhan
psikologisnya juga baik.
Secara
umum anak yang mengalami broken home memiliki: (a) ketakutan yang berlebihan, (b) tidak mau
berinteraksi dengan sesama, (c) menutup diri dari lingkungan, (d) emosional,
(e) sensitif, (f) temperamen tinggi, dan (g) labil. Sebenarnya, dampak
psikologis yang diterima seorang anak berbeda-beda tergantung usia atau
tingkatan perkembangan anak.
Dampak
bagi prestasi anak. Akibat dari broken home juga
mempengaruhi prestasi anak tersebut. Anak broken home cenderung menjadi malas
dan tidak memiliki motivasi untuk belajar. Berdasarkan sampel penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan motivasi
belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar
siswa dari keluarga utuh, motivasi belajar siswa dari keluarga broken home
lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh, keadaan
keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi
belajar siswa.
Dampak
bagi perilaku remaja. Remaja broken home yang kurang
perhatian membuat self esteem dan self confident rendah sehingga anak
cenderung mencari perhatian dari lingkungan. Biasanya dengan memberontak, melakukan
bullying, dan bersikap deduktif
terhadap lingkungan, seperti merokok, free
sex, dan minum minuman keras.
Dalam rumah tangga yang tidak
sehat, yang bermasalah
dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran, bisa muncul 3 kategori anak:
1.
Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban
keluarga yang bercerai itu menjadi sangat
nakal sekali.
2.
Selain itu, anak korban
perceraian jadi gampang
marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena:
·
Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka
hidup dalam ketegangan.
·
Dia harus kehilangan hidup yang tentram, yang hangat,
dia jadi marah pada orang tuanya karena memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
·
Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan ibu, itu berarti ada yang hilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur
ayah.
3.
Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga
bisa kehilangan identitas sosialnya.
G.
Gangguan Kejiwaan Pada Seorang Anak Broken Home
1.
Broken Heart
Jika
seorang anak yang merupakan laki-laki merasakan kepedihan dan kehancuran hati
sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini
membentuk sang anak menjadi orang yang krisis kasih sayang dan biasanya lari
kepada yang bersifat keanehan seksual. Contohnya adalah seks bebas,
homoseksual, lesbian (jika anak tersebut adalah seorang wanita), menjadi
simpanan orang serta tertarik dengan istri atau suami orang lain dan hal
lainnya.
2.
Broken Relation
Sang
anak merasa bahwa tidak ada orang yang perlu dihargai, tidak ada orang yang
dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini
membentuk anak menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan,
mencari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain serta cenderung
semaunya sendiri.
3.
Broken Values
Si pemuda kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar.
Baginya dalam hidup ini tidak ada yang
baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”. Pada intinya , dia akan melakukan apa
yang menyenangkan hatinya dan dia akan menghindari hal yang tidak menyenangkan
bagi dirinya.
H. Peran Orang Tua Terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak
Perceraian selalu berdampak buruk dan terasa amat pahit bagi anak-anak. Dan ini jelas
memberikan perasaan sedih serta
takut pada diri anak. Sehingga, ia akan tumbuh dengan jiwa yang tidak sehat. Berikut ini beberapa saran untuk mengatasi
kesedihan anak dalam melewati proses
perceraian orang tuanya:
1.
Dukungan untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik yang
positif maupun negatif,
mengenai apa yang sudah terjadi. Sangatlah penting bagi orang tua yang akan bercerai ataupun yang sudah bercerai untuk
memberi dukungan kepada anak-anak
mereka serta mendukung mereka untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Dalam hal ini kita tidak boleh melibatkan perasaan. Seringkali terjadi, perasaan akan kehilangan salah
satu orang tua akibat perceraian
menyebabkan anak-anak menyalahkan salah satu dari kedua orang tuanya (atau kedua-duanya) dan mereka merasa dikhianati.
Jadi, harus betul-betulsiap untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan
anak atau keprihatinan
yang mereka miliki.
2.
Beri kesempatan pada anak untuk membicarakan mengenai
perceraian dan bagaimana perceraian
tersebut berpengaruh pada dirinya. Anak-anak yang usianya lebih besar, tanpa terduga, bisa mengajukan pertanyaan
dan keprihatinan yang berbeda, yang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya. Meski mengejutkan dan terasa menyudutkan, tetaplah bersikap terbuka.
3.
Bila merasa tidak sanggup membantu anak, minta orang
lain melakukannya. Misalnya,
sanak keluarga yang dekat dengan si anak.
4.
Sangatlah wajar bagi anak-anak jika memiliki berbagai macam
emosi dan reaksi terhadap perceraian
orang tuanya. Bisa saja mereka merasa bersalah dan menduga-duga, merekalah penyebab dari perceraian. Anak-anak marah
dan merasa ketakutan. Mereka
khawatir akan ditelantarkan oleh orang tua yang bercerai.
5.
Ada anak-anak yang sanggup untuk menyuarakan perasaan
mereka dan ada juga yang tidak.
Hal ini tergantung dari usia dan perkembangan mereka. Untuk anak-anak usia sekolah, jelas sekali perceraian mengakibatkan
turunnya nilai pelajaran mereka di
sekolah. Walaupun untuk beberapa lama anak-anak akan berusaha mati-matian menghadapi perceraian orang tuanya, pengaruh nyata dari perceraian biasanya dirasakan anak berusia 2 tahun ke atas.
6.
Jangan menjelek-jelekan mantan pasangan di depan anak
walaupun masih marah atau bermusuhan
dengan bekas suami. Hal ini merupakan salah satu yang sulit untuk dilakukan tapi harus berusaha keras untuk
mencobanya. Jika hal itu terus saja dilakukan, anak akan merasa, ayah atau ibunya jahat,
pengkhianat, atau pembohong.
Pada anak tertentu, hal itu akan menyebabkan ia jadi dendam dan bahkan bisa trauma untuk menikah karena takut
diperlakukan serupa.
7.
Anak-anak tidak perlu merasa mereka harus bertindak sebagai
“penyambung lidah” bagi kedua orangtuanya.
Misalnya, kita berujar,
“Bilang, tuh, sama ayahmu, kamu sudah harus
bayaran uang sekolah.”
8.
Minta dukungan dari sanak keluarga dan teman-teman dekat.
Orang tua
tunggal memerlukan dukungan.
Dukungan dari keluarga, sahabat, atau pemuka agama, yang dapat membantu kita dan anak
kita untuk menyesuaikan diri dengan perpisahan dan perceraian. Hal lain yang juga dapat menolong
adalah memberi kesempatan kepada anak-anak
untuk bertemu dengan orang lain yang telah berhasil melewati masa-masa perceraian dengan baik.
9.
Bilamana mungkin, dukung anak-anak agar memiliki pandangan
yang positif terhadap kedua orang
tuanya. Walaupun pada situasi yang baik, perpisahan dan perceraian dapat sangat menyakitkan dan mengecewakan bagi kebanyakan
anak-anak. Dan tentu saja secara
emosional juga sulit bagi para orang tua.
I. Efek-Efek Kehidupan Seorang Anak Broken Home
1.
Academic Problem, seseorang yang mengalami broken home akan
menjadi orang yang malas belajar
dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi.
2.
Behavioural Problem, mereka mulai memberontak, kasar, masa
bodoh, memiliki kebiasaan merusak,
seperti mulai merokok, minum-minuman keras, judi dan lari ke tempat pelacuran.
3.
Sexual Problem, krisis kasih sayang mereka coba tutupi dengan mencukupi
kebutuhan hawa nafsu.
4.
Spiritual Problem, mereka kehilangan Father’s figure sehingga Tuhan,
pendeta atau orang-orang
rohani hanya bagian dari sebuah sandiwara kemunafikan.
J. Cara Membangkitkan Motivasi Anak Korban Broken Home
Tidak semua orang berpandangan bahwa
broken home adalah hal yang negatif. Ada yang berpikir bahwa broken home adalah
jalan yang terbaik bagi keluarganya. Ada beberapa cara untuk meminimalisir atau
mengatasi broken home, antara lain (a) mendekatkan diri kepada Tuhan, (b)
berpikir dan berperilaku positif, (c) saling berbagi, dan (d) mencari kegiatan
positif.
Bagi anak-anak mempunyai keluarga
yang utuh
adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan mengalami sebuah perceraian dalam
keluarganya. Keadaan psikologi anak akan
sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung
menyalahkan diri sendiri atas apa
yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi
masa-masa sulit karena perceraian orang
tuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak
dapat menghilangkan kegundahan
hati anak-anaknya.
Beberapa psikolog menyatakan
bahwa bantuan
yang paling penting yang dapat diberikan oleh orang tua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan
anak-anak bahwa mereka tidak bersalah.
Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orang tuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orang
tua yang akan
bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah.
Jangan memaksa anak-anak untuk memihak
salah satu pihak yang sedang cekcok, dan jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.
Hal lain yang dapat membantu
anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati
mereka setelah ditinggal ayah atau
ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti
ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti
ketika belum ada perceraian.
DAFTAR
PUSTAKA
Lestari, Sri. 2012. Psikologi
Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar